Senin, 10 Juli 2017

Utsman bin Affan (w. 35 H)

Tidak ada komentar:

Nama lengkapnya adalah ‘Utsman bin Affanbin Abi Ash bin Umayah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al Umawy al Qurasy, pada masa Jahiliyah ia dipanggil dengan Abu ‘Amr dan pada masa Islam nama julukannya (kunyah) adalah Abu ‘Abdillah. Dan juga ia digelari dengan sebutan “Dzunnuraini”, dikarenakan beliau menikahi dua puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Ibunya bernama Arwa’ bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin ‘Abdi Syams yang kemudian menganut Islam yang baik dan teguh.

Keutamaannya
Imam Muslim telah meriwayatkan dari ‘Aisyah, seraya berkata,” Pada suatu hari Rasulullah sedang duduk dimana paha beliau terbuka, maka Abu Bakar meminta izin kepada beliau untuk menutupinya dan beliau mengizinkannya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka). Kemudian Umar minta izin untuk menutupinya dan beliau mengizinkannnya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka), ketika Utsman meminta izin kepada beliau, amaka beliau melepaskan pakaiannya (untuk menutupi paha terbuka). Ketika mereka telah pergi, maka aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, Abu Bakar dan Umar telah meminta izin kepadamu untuk menutupinya dan engkau mengizinkan keduanya, tetapi engkau tetap berada dalam keadaan semula (membiarkan pahamu terbuka), sedangkan ketika Utsman meminta izin kepadamu, maka engkau melepaskan pakainanmu (dipakai untuk menutupinya). Maka Rasulullah menjawab,” Wahai Aisyah, Bagaimana aku tidak merasa malu dari seseorang yang malaikat saja merasa malu kepadanya”.
Ibnu ‘Asakir dan yang lainnya menjelaskan dalam kitab “Fadhail ash Shahabah” bahwa Ali bin Abi Thalib ditanya tentang Utsman, maka beliau menjawab,” Utsman itu seorang yang memiliki kedudukan yang terhormat yang dipanggil dengan Dzunnuraini, dimana Rasulullah menikahkannya dengan kedua putrinya.
Perjalanan hidupnya
Perjalanan hidupnya yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah umat islam adalah beliau membukukan Al-Qura’an dalam satu versi bacaan dan membuat beberapa salinannya yang dikirim kebeberapa negeri negeri Islam. Serta memerintahkan umat Islam agar berpatokan kepadanya dan memusnahkan mushaf yang dianggap bertentangan dengan salinan tersebut. Atas Izin allah Subhanahu wa ta’ala, melalui tindakan beliau ini umat Islam dapat memelihara ke autentikan Al-Qur’an samapai sekarang ini. Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang terbaik.
Diriwayatkan dari oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari yunus bahwa ketika al Hasan ditanya tentang orang yang beristirahat pada waktu tengah hari di masjid ?. maka ia menjawab,”Aku melihat Utsman bin Affan beristirahat di masjid, padahal beliau sebagai Khalifah, dan ketika ia berdiri nampak sekali bekas kerikil pada bagian rusuknya, sehingga kami berkata,” Ini amirul mukminin, Ini amirul mukminin..”
Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam kitabnya “Hulyah al Auliyah” dari Ibnu Sirin bahwa ketika Utsman terbunuh, maka isteri beliau berkata,” Mereka telah tega membunuhnya, padahal mereka telah menghidupkan seluruh malam dengan Al-Quran”.
Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, seraya ia berkata dengan firman Allah”. “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs Az-Zumar:9) yang dimaksud adalah Utsman bin Affan.
WafatnyaIa wafat pada tahun 35 H pada pertengahan tasyriq tanggal 12 Dzul Hijjah, dalam usia 80 tahun lebih, dibunuh oleh kaum pemberontak (Khawarij).
Diringkas dari Biografi Utsman bin affan dalam kitab Al ‘ilmu wa al Ulama Karya Abu Bakar al Jazairy. Penerbit Daar al Kutub as Salafiyyah. Cairo. ditulis tanggal 5 Rab’ul Awal di Madinah al Nabawiyah.

Jumat, 16 Desember 2016

Adab Muhaddis

Tidak ada komentar:

PENGERTIAN DAN SYARAT RAWI
1.                       Pengertian Rawi
Rawi berasal dari kata ,روي يروي ريا فهو راو  merupakan isim fa’il yang berarti  “ memindahkan atau meriwayatkan ‘’.[1]
Sedangkan menurut istilah, rawi ialah “ orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah di dengar atau di terimanya dari seseorang ( gurunya ).[2]
Dalam buku Ulumul Hadis karya Dr Nuruddin yang dimaksud dengan rawi adalah:
الراوى من تلقى الحد يث واداه بصيغة من صيغ الاداء .
Rawi adalah orang yang menerima hadi>s dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya.[3]
2.                       Syarat periwayat
“jumhur imam hadi>s dan fikih sepakat bahwa syarat bagi orang yang dapat dipakai hujah riwayatnya hendaknya adil dan dhabit hadi>s yang di riwayatkanya. Adapun syarat periwayat menurut jumhur imam hadi>s dan fikih ialah:
a.                        Muslim
b.                       Baligh
c.                        Berakal sehat
d.                       Tidak fasik
e.                        Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah)
f. Mampu menyampaikan hadis yang telah di hafalnya.
g.                       Sekiranya dia memiliki catatan hadi>s, maka catatan itu dapat di percaya.
h.                       Mengetahui dengan baik apa yang merusak maksud hadi>s yang diriwayatkanya secara makna.[4]
Jika di perhatikan, Dari Semua sifat diatas berpangkal pada dua hal, yaitu keadilan dan ke-dhabith-an. Berikut ini penjelasan  dari kedua hal tersebut.
1).  Keadilan ( al- ‘Adalah )
“Adalah” merupakan suatu watak dan sifat yang sangat kuat yang mampu mengarahkan orangnya kepada perbuatan takwa, menjauhi perbuatan mungkar dan segala sesuatu yang akan merusak harga dirinya.
Menurut Ali bin Muhammad al- jarjani ‘adalah ialah seorang rawi harus baligh, muslim, berakal, selamat dari sebab- sebab kefasikan dan yang merusak muru>ah.[5]
Adapun faktor- faktor “Adalah” ialah sebagai berikut:
a). Beragama Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah:
 مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء[6]
“Dari saksi- saksi yang engkau ridhai”.
Sementara orang yang tidak beragama Islam pasti tidak mendapatkan keridhaan seperti itu.
b). Balig. Hal ini karna merupakan suatu paradigma akan kesanggupan memikul tanggung jawab mengemban kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang di larang.
c)                       Berakal sehat. Sifat ini harus di miliki oleh seorang periwayat agar dapat berlaku jujur dan berbicara tepat.
d)                       Takwa. Yaitu menjauhi dosa-dosa besar dan tidak membiasakan perbuatan-perbuatan dosa kecil.
Dalil di syaratkanya takwa adalah firman Allah Swt, Qs. Al-Hujurat : 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman , jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti”
e)                       Berprilaku yang sejalan dengan muru’ah  ( harga diri yang agamais) serta meninggalkan hal-hal yang mungkin merusaknya, yakni meninggalkan sesuatu yang bisa menjatuhkan harga diri manusia menurut tradisi masyarakat yang benar seperti mencaci maki atau menghina seseorang.
2.                       Kuat Hafalan (dha>bith)
Dhabit ialah seorang rawi yang kuat hafalan dan tidak pelupa.[7] Dhabit-nya seorang rawi terbagi atas dua macam, yaitu: dha>bit shadr, yakni meriwayatkan hadi>s melalui apa yang dihafalnya, dan dha>bit kitab, yaitu meriwayatkan hadi>s melalui kitabnya.[8]
Maksudnya, para perawi itu memiliki daya ingat hafalan yang kuat dan sempurna. Daya ingat dan hafalan yang kuat ini sangat di perlukan, mengingat tidak seluruh hadi>s tercatat pada masa awal perkembangan islam. Atau jika tercatat, catatan tulisanya harus selalu benar, tidak terjadi kesalahan.[9]
Yang di maksud dengan dha>bith  oleh muhaddis\in adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan apabila hadi>s yang di riwayatkan berdasarkan hafalanya, benar tulisanya apabila hadi>s yang di riwayatkanya berdasarkan tulisan, sementara apabila ia meriwayatkan hadi>s secara makna maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk di gunakan.
Para ulama mengklasifikasikan para rawi dari segi banyak dan sedikitnya hadi>s yang mereka riwayatkan dan peran mereka dalam bidang imu hadi>s menjadi beberapa tingkat dan setiap tingkat diberi julukan secara khusus, yaitu sebagai berikut;
a.                        Al-Musnid
Al-Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadis beserta  sanadnya baik ia mengetahui kandungan hadi>s yang diriwayatkannya atau sekedar meriwayatkan.
b.                       Al-Muhaddis\
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sayyidi al-Nas ,al-Muhaddis\ adalah orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap hadi>s baik dari segi Riwayah maupun Dirayah, hafal identitas dan karakteristik para Rawi, mengetahui keadaan mayoritas Rawi zamannya beserta hadi>s-hadi>s yang mereka riwayatkan.
c.                        Al-Hafiz}
Gelar ini lebih tinggi daripada gelar al-Muhaddis\. Para Ulama menjelaskan bahwa al-Hafiz} adalah gelar orang yang sangat luas pengetahuannya tentang hadi>s dan ilmu-ilmunya sehingga hadi>s yang diketahuinya lebih banyak daripada yang tidak diketahui.
A.                     ADAB MUHADDIS|
Adab yang dimaksud di sini adalah adab yang di butuhkan oleh setiap orang yang akan memimpin suatu majelis ilmu atau mengajar. Para muhaddis\in menganggap penting adab ini, hususnya bagi orang yang akan mengajarkan hadi>s rasulullah Saw. Tata cara adab tersebut dapat di ringkas sebagai berikut.
1.                       Ikhlas dan niat benar
Membersihkan hati dari cinta dunia seperti halnya cinta kepemimpinan atau ke mashuran.[10] Ikhlas adalah ruh dan inti setiap amal para Nabi diutus dan di perintahkan untuk mendakwahkanya, sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Bayyinah : 5
وَمَا أُمِرُواالالِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

“Dan mereka tidak di perintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agama dengan lurus.”
Orang yang alim tentang hadi>s semestinya menjadi orang yang paling jauh dari sifat riya’ dan cinta dunia.
2.                       Hendaklah menghiasi diri dengan kemulian ahlak.[11]
Ilmu- ilmu syari’at adalah ilmu- ilmu mulia yang selaras dengan ahlak mulia dan perangai yang baik. Ilmu- ilmu tersebut menuntut pencarinya agar memiliki sifat istiqamah dan prilaku yang baik. Akan tetapi, ilmu hadi>s adalah ilmu yang paling berhak untuk menuntut semua itu. Sepatutnya, seorang muhaddis melebihi orang lain dalam hal ini sebagaimana yang di lakukan oleh ulama’ hadi>s terdahulu, agar ia pantas menyandang penisbatan itu. Seorang penyair berkata :
 ahli hadis adalah keluarga Nabi. Meskipun fisik mereka tidak bersama dengan beliau, tetapi jiwa mereka bersama beliau “
3.                       Menghormati orang yang lebih utama darinya (guru).[12]
Hal ini merupakan bagian dari kesempurnaan ahlak para ulama. Mereka menghindari untuk tidak mendahului orang-orang yang lebih banyak memiliki keutamaan daripada mereka, baik karena usianya yang lebih tua maupun ilmunya yang lebih tinggi.
Seperti halnya ketika Ibrahim al- Nakha’i dan al- sya’bi berkumpul, maka Ibrahim tidak mau berbicara sepatah katapun . demikian pula hendaknya apabila seorang alim di tanya tentang sesuatu dan pada saat yang sama ia mengetahui ada orang alim lain yang lebih tua dan lebih utama untuk menjawabnya, maka ia hendaknya menunjukkan yang bersangkutan untuk bertanya kepada ulama lain tersebut.
4.                       Mendatangi majelis pengkajian hadi>s dan menghormati hadi>s.[13]
Hadis adalah ucapan Rasulullah Saw. Oleh karena itu, hendaknya dalam hati seorang muhaddis\ tertanam rasa hormat kepadanya. Bentuknya, antara lain mendatangi majelis pengkajian hadis dengan penuh kesiagaan, termasuk yang berkenaan dengan pakaian dan kebersihan. Seorang muhaddis\ juga perlu memperhatikan gaya ungkap pembicaraanya karena hal ini di pandang sangat penting. Di samping itu, ia dan pengajar pada umumnya harus menela’ah beberapa karya ilmiah yang lain, dan mempersiapkan setiap metode pengajaran untuk menyampaikan setiap materi secara sistematis, bahkan  Seorang muhaddis\ harus menggunakan sarana dan metode yang mempermudah pemahaman dan memberikan kesan yang dalam, sebagaimana metode yang di tempuh Nabi Saw, dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat.
5.                       Berhenti atau diam jika takut salah
Hal ini merupakan suatu nilai yang jarang sekali kita jumpai. Norma seperti ini menunjukkan betapa tertatanya berbagai persoalan di bawah naungan islam Sebab para ulama lebih dahulu menetapkan suatu norma,
Mengingat begitu besar anugrah Allah bagi para muhaddis\in, berupa usia yang panjang, maka masa pensiun bagi mereka di tetapkan pada usia 80 tahun, karena pada umumnya orang yang telah mencapai usia ini tidak normal fisik dan daya ingatnya serta pola pikirnya berubah, maka hendaknya seorang muhaddis\ menghentikan kegiatany. Misalnya bilamana khawatir terjatuh kedalam kesalahan meskipun ia belum mencapai usia tersebut.[14]
6.                       Hendaklah menyibukkan diri untuk mentakhrij dan mengarang atau menulis.
Bagi orang yang memiliki keahlian menulis karya ilmiah, telah terbuka baginyasegala pintu ilmu. Medan segala ilmu terhampar luas di depan matanya tanpa ia duga dulu sebelumnya, mengingat bahwa setiap kurun waktu menuntut pembaruan metode, tema, dan pola pikir sejalan dengan perkembangan pemikiran, etika, dan ilmu manusia.[15] Bagi orang yang telah melangkah dalam bidang penulisan, hendaknya ia memberikan sesuatu yang baru, baik dengan mengemukakan ide yang baru berdasarnya ijtihadnya , dengan memecahkan masalah dan menjelaskan kesulitanya. Di samping itu, para penulis hendaknya tidak menulis sesuatu yang kurang ia kuasai dengan baik, meskipun belum ada yang menulisnya.
7.                       Memelihara kecakapan mengajarkan hadi>s
Arti menjaga kecakapan di sini adalah bahwa seorang muhaddis} semestinya tidak mau menghadiri suatu majelis untuk mengajarkan hadi>s kecuali apabila ia benar-benar siap untuk itu.
Ciri-ciri kecakapan terebut adalah seperti yang di jelaskan oleh Ibnu al-Shalah: “ apabila hadis yang ia kuasai itu di butuhkan, maka ia dengan senang dan siap untuk meriwayatkanya dan menyebarkanya, pada usia berapapun.”
Sedangkan menurut Imam al-Gahazali dalam bukunya al-Adab Piddin bahwa adab-adab muhaddis adalah pertama jujur, menghindari dosa, mengeluarkan hadi>s yang masyhur, meriwayatkan dari orang-orang yang jujur  dan meninggalkan kemungkaran- kemungkaran.[16]
B.                      ADAB BELAJAR HADIS
Yang di maksud  dalam bab ini sebenarnya tidak berbeda dengan adab belajar hadi>s pada umumnya, yakni tata cara yang harus di tempuh untuk mendapatkan ilmu yang di maksudkan. Hanya saja para muhaddis\in secara khusus membahas adab belajar hadi>s mengingat begitu pentingnya kedudukan hadi>s.
Adapun adab belajar hadis yaitu:
1.                       Ikhlas, niat karna Allah Swt
Keihlasan adalah sifat utama yang harus dimiliki oleh pelajar hadi>s. Oleh karna itu, ia harus menempatkan seluruh usahanya dalam belajar hadi>s itu semata- mata untuk mendapatkan ridha Allah Swt, dan pahala yang besar dari-Nya.[17] Sebagaimana hadis rasulullah Saw:
عنْ أَبِيَ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 
Artinya: 
“Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk Allah, namun ia tidak menuntutnya kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat ia tidak akan mendapatkan bau surga”.[18]
      2.  Mengambil manfaatan dari hadis tersebut .[19] Misalnya dengan cara menulis, atau meriwayatkanya.
      3. Belajar atau mengambil hadis dari orang yang siqah serta mengamalkan apa yang dia dengarkan dari hadi>s-hadi>s ibadah, adab dan fadilah-fadilah.[20] Para pencari hadis mesti meningkatkan kesungguhan dan ketekunannya dalam mempelajari hadi>s dari orang-orang yang masyhur ilmu, agama dan wara’nya. Al-Qur’an mengumpamakan orang yang tidak mengamalkan ilmunya dengan perumpamaan yang paling jelek. Selain itu, ia juga menjadi contoh (ibarat) yang abadi di dalam al- Qur’an. Qs Al-jumu’ah : 5
ã@sVtB tûïÏ%©!$# (#qè=ÏdJãm sp1uöq­G9$# §NèO öNs9 $ydqè=ÏJøts È@sVyJx. Í$yJÅsø9$# ã@ÏJøts #I$xÿór& 4 }§ø©Î/ ã@sWtB ÏQöqs)ø9$# tûïÏ%©!$# (#qç/¤x. ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# 4 ª!$#ur Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÎÈ

“Perumpamaan orang-orang yang dipukulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti seekor keledai yang membawa kita-kitab tebal.
4.      Menghiasi diri dengan akhlak mulia.
5.      Menghormati dan memuliakan gurunya. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ: " [21]«لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
Para pencari harus menghormati guru-guru dan setiap orang yang menjadi sumber hadi>s mereka. Hal ini harus mereka lakukan demi mengagungkan hadi>s dan ilmu. Selain itu, mereka harus menjaga nama baik para guru, baik ketika mereka ada maupun ketika tidak ada, dan jangan sekali-kali ia mencari-cari kesalahan mereka. Semua ini hendaknya dilakukan demi Allah. Jangan pula mereka terhalang oleh rasa malu atau kesombongan sehingga tidak mau mencari ilmu dan bertanya. Mujahid r.a berkata:"Orang yang pemalu dan orang yang sombong tidak dapat mempelajari ilmu.” Sehingga mereka tidak dapat mencari ilmu yang berada ditangan orang yang lebih rendah daripadanya.
      6. Memberikan ilmu yang di kuasainya kepada sesama rekan pencari hadi>s.[22]
Tindakan ini merupakan faedah pertama mencari hadis dan ilmu. Barang siapa menyembunyikan suatu ilmu yang dikuasainya dan tidak mau mengerjakannya kepada teman-temannya dengan tujuan agar ia tidak ada duanya dalam bidang ilmu yang bersangkutan, maka sikapnya menunjukkan bahwa ia tidak dapat memenfaatkan ilmunya itu. Demikan disebutkan oleh para ulama. Malik r.a berkata, “ Salah satu berkah hadis adalah apabila ahli hadis saling mengajarkan hadis kepada sebagian yang lain.”
7.  Memakai metodologi yang berlaku dalam pencarian hadis
Suatu hal yang paling penting untuk di perhatikan oleh pencari hadis adalah bilamana ia menemukan hadis yang tidak ia ketahui, maka ia harus mencari, meneliti, dan mengkajinya.
  






DAFTAR PUSTAKA
‘Ali> bin Abu> Bakr Abu> al-H}asan. Mujma’ al-Zawa>id wa Manba’ al-Fawa>id,  juz 1. Qa>hirah: Maktabah al-Qudsi>, 1414 H
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulu>mul Hadis. Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
Abdurrahman M. dan Sumarna Elan. Metode Kritik Hadis. Cet.1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Al-‘Ira>qi Zainuddin Abdurrahim bin Husain >, Al-takyi>d wa al-I<d}oh Beirut : Da>r al-Kutubi al- Alamiyah,1420
Al-Bughda>di>, Abu> Bakr Ahmad bin Ali.  Al- Ja>mi’ Li> Akhla>q al- Ra>wi> Wa A<da>b al- Sa>mi’. Riyad : Maktabah al- Ma’arif, t.th.  
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahanya Jakarta: CV Darus Sunnah
Dimaskhi>, Al- Hafi>z Ibnu Katsi>r al- Baitsul al- Hatsisu. Sya>rh Ikhtishoril ulu>m al- Hadi>s Da>r al- Kitab Alami>ah, t.th.
Ghalf,  S>yaikh. Kitab Shorof  . Bonde: Sholih, 2005.
Ha>syim, Ah}ma>d ‘Umar. Maba>h}is\ fi> al-H}adi>s\ al-Syari>f . Cet. 2; Mesir: Maktabah al-Syaru>k al-Dawliyah, 1431 H.
Ismail M. Syuhudi, Ilmu Hadis . Cet.10; Bandung: Angkasa, 1994.
Jarjani, Ali> bin Muhammad al-Zain. Al- Di>ba>j al- Muz\ahhab fi> Mustalah Al- Hadis.  Mesir: Matba>’ah Mustafa al- Ba>bi> al- Hali> wa Auladi>h, 1350 H.
Al-Kha>tib Muhammad ‘Ajja>j. Usu>l Al- Hadis.  Da>r al-Fikr, 1409.
Al-Khat}i>b Muh}ammad ‘Ajja>j, Us}u>l al-H}adi>s\ ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}ah Beirut: Da>r al-Fikr, t. th.
Khon,  Abdul Majid. Ulu>mul Hadis . Cet.2; Jakarta: Amzah, 2013.
Al-Nawa>wi, Abu> Zakariya> Muh}yiddi>n. Al- Taqri>b wa al-Taysi>r li> Ma’rifah Sunan al- Basyi>r al- Nazi>r fi> Us}u>l al- Hadi>s. Beirut: Da>r al- Kutub al-‘Arabi>, 1405 H.
Al-Qazu>ni,  Ibnu Ma>jah Abu> Abdullah Muh}ammad bin Ya>zi>d. Sunan Ibn Ma>jah, juz 1,  Da>r Ih}ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.
Al-Qo>simi, Muhammad Jama>l al- Di>n. Qawa>’id al- Tahdi>s. Da>r Ihya>’al- Kutub al- ‘Arabiyah, 1380 H.
Al-Shalih, S{abih. ‘Ulu>m al-Hadis} wa musthalaha, Beirut: Da>r al’’ilm, 1384
Al-Suyu>t}i Jala>luddi>n Abdurrahma>n. Tadri>b al- Rawi> fi> Syarh Taqri>b al- Nawa>wi> Beirut : Da>r al- Fikr, 1427 H           
Syakir, Ahmad Muhammad, Al- Ba’i>s Al- H{as\i>s\ Beirut: Da>r Al-Kutub al-‘Alamiyah, t.th.
Tohan,  Muhammad. Mus{t}alah} al-H}}adi>s. Da>r al-Fikr, 2000.


[1]S>yaikh Ghalf, Kitab Shorof (Bonde-Sholih, 2005), h.15.
[2]M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis (Cet.10; Bandung: Angkasa, 1994), h. 17.
[3]Nuruddin ‘Itr, ‘Ulu>mul Hadis (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 66.
[4]Ibid., h. 69
[5]Ali> bin Muhammad al- Zain Jarjani>, Al- Di>ba>j al- Muz\ahhab fi> Mustalah Al- Hadis(Mesir: Matba’ah Mustafa Al- Ba>bi> Al- Hali> Wa Auladi>h, 1350 H), h. 49.
[6]Departemen Agama RI, Al- Qur’an Dan Terjemahanya (Jakarta: CV Darus Sunnah ), h. 49.
[7]Ali> bin Muhammad al- Zain Jarjani>, op, cit., h. 49.
[8]M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Cet.1; Bandung: Remaja Rosdakarya,2011), h. 49.
[9]Abdul Majid Khon, Ulu>mul Hadis (Cet.2; Jakarta: Amzah, 2013), h. 170.
[10]Muhammad Tohan, Mus{t}alah} al-H}}adi>s (Da>r al-Fikr, 2000), h. 176.      
[11]Abu> Bakr Ahmad bin ‘Ali al- Bughda>di>, Al- Ja>mi’ Li> Akhla>q al- Ra>wi> Wa A<da>b al- Sa>mi’ (Riyad : Maktabah al- Ma’arif, t.th), h. 92. 
[12]Zainuddin Abdurrahim bin Husain Al- ‘Ira>qi>, Al-takyi>d wa al-I<d}oh (Beirut : Da>r al-Kutubi al- Alamiyah,1420), h. 190.
[13]Muhammad ajja>j al- kha>tib, Usu>l Al- Hadis (Da>r al-Fikr, 1409), h. 440.
[14]Jala>luddi>n Abdurrahma>n al- Suyu>t}i>, Tadri>b al- Rawi> fi> Syarh Taqri>b al- Nawa>wi> (Beirut : Da>r al- Fikr, 1427 H), h. 568.          
[15]Abu> Zakariya> Muh}yiddi>n al- Nawa>wi>, Al- Taqri>b Wa al-Taysi>r li> Ma’rifah Sunan al- Basyi>r al- Nazi>r fi> Usu>l al- Hadi>s (Beirut : Da>r al- Kutub al-‘Arabi>, 1405 H), h. 82.
[16]Muhammad Jama>l al- Di>n al- Qo>simi>, Qawa>’id al- Tahdis (Da>r Ihya>’al- Kutubi al- ‘Arabiyah,1380), h. 233.
[17]Ahmad Muhammad Syakir, Al- Ba’i>s Al- H{as\i>s\ (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Alamiyah), h. 152.
[18]Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>s\ ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t. th), h. 441.

[19]Ah}ma>d ‘Umar Ha>syim, Maba>h}is\ fi> al-H}adi>s\ al-Syari>f (Cet. 2; Mesir: Maktabah al-Syaru>k al-Dawliyah, 1431 H), h. 31. Lihat juga Dr. S{abih al-Shalih, ‘Ulu>m al-Hadis} wa musthalaha, (Beirut: Da>r al’’ilm, 1384), h. 53.
[20]Ibnu Ma>jah Abu> Abdullah Muh}ammad bin Ya>zid al-Qazu>ni>, Sunan Ibn Ma>jah, juz 1 (Da>r Ih}ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), h. 92.

[21] Abu> al-H}asan ‘Ali> bin Abu> Bakr, Mujma’ al-Zawa>id wa Manba’ al-Fawa>id , juz 1(Qa>hirah: Maktabah al-Qudsi>, 1414 H), h. 127.
[22]Al- Hafi>z Ibnu Katsi>r Dimaskhi>, Al- Baitsul Al- Hatsisu Sya>rh Ikhtishoril ulu>m al- Hadi>s (Darul kitab Alami>ah, t.th), h. 33.

Total Tayangan Halaman

Translate

Pengikut

 
back to top