BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib
dilakukan bagi semua umat muslim bila sudah pada kadar kemampuannya. Seperti
halnya dengan rukun Islam yang keempat yaitu puasa, rukun Islam yang kelima ini
juga terdapat waktu pelaksanaannya. Jika pelaksanaan puasa dilaksanakan pada
bulan Ramadhan, seperti pula yang terdapat dalam Haji namun pada bulan yang
berbeda, diantaranya bulan Syawal, bulan Zulqaidah dan bulan Zulhijjah.
Dengan mengetahui bulan-bulan waktu pelaksanaan haji
diatas, hal ini tidak menutup kemungkinan apakah haji dilaksanakan ada’
(tepat pada waktunya) atau qada’ (di luar waktu dan tidak sah
melakukannya). Dengan kemungkinan ini, Rasulullah telah menyediakan tanda-tanda
dalam menentukan kapan dimulainya dan berakhirnya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Seperti apakah defenisi haji baik
secara bahasa maupun istilah ?
2.
Bagaimana tafsiran ayat tentang
waktu pelaksanaan haji?
3.
Bagaiamana hikmah dari pensyariatan haji?
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Haji
Secara
etimologi kata Haji ( حجّ) diambil
dari kata حجج( ح
ج ج ) yang mempunyai beberapa makna antara lain:
القصد artinya niat, maksud atau tujuan, السنة :
الحِجَّة artinya tahun,[1] : الحُجَّة artinya pusat sasaran,:
الحِجَاجُ artinya perdebatan dan الحَجْحَجة
:
النُّكوص artinya berdiam.[2]
Kata yang terbentuk dari huruf ح ج ج di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 35 kali yang
diambil dalam al-Mu’jam al-Fahras pada halaman 246,[3]
dalam berbagai bentuknya, yaitu :
Yang berarti membantah, hujjah dan alasan terulang di
dalam al-Qur’an sebanyak 22 kali.
1. Seperti dalam QS. Al An’am ayat 80
وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ
أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ وَلَا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ
إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا أَفَلَا
تَتَذَكَّرُونَ
Terjemah:
Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim)
berkata, ”apakah kamu hendak membantuku tentang Allah, padahal dia benar-benar
telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa
yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu
Tuhanku meliputi sesuatu.tidakkah kamu daoat mengambil pelajaran.? [4]
2. Pada QS. al-An’am /6: 83
وَتِلْكَ
حُجَّتُنَا آَتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ
نَشَاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيم
Terjemah:
Dan itulah hujjah kami yang
kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapai kaumnya. Kami tinggikan siapa
yang kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu maha bijaksana lagi
maha mengetahui.
3.
Berarti tahun yang disebutkan hanya
satu kali dalam al-Qur’an yaitu QS. al-Qas}as}/28 :27
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى
أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا
أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Terjemah:
Berkatalah dia (Syu’aib): “
Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua
anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan
jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu,
maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan memdapatiku
termasuk orang-orang yang baik”.
4.
Yang bermakna haji terulang dua
belas kali dalam al-Qur’an, berikut dua diantaranya:
Satu kali dalam QS.al-Hajj/22 : 27
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ
ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Terjemah:
Dan s`eluruh
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
bejalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari
segenap penjuruh yang jauh.[5]
5.
Satu kali dalam QS. al-Baqarah/2 :
158
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ
أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Terjemah:
Sesungguhnya
S}afa dan Marwah merupakan sebagian Syi’ar (agama) Allah. Maka barangsiapa
beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan
sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka Allah maha mensyukuri, maha mengetahui.[6]
6.
Satu kali dalam QS.al-Baqarah/2: 189
(haji memiliki waktu pelaksanaan tertentu)
7.
Tiga kali dalam QS. al-Baqarah/2:196
(petunjuk dalam melaksanakan haji)
8.
Tiga kali dalam QS. al-Baqarah/2 :
197(waktu pelaksanaan dan larangan dalam haji)
9.
Satu kali dalam QS.Ali Imran/3 : 97
(Syarat wajib haji)
10. Dua
kali dalam QS.al-Taubah/9 masing-masing satu kali pada ayat 3 (pengumuman
putusnya perjanjian pada hari haji akbar) dan satu kali pada ayat 19 (kecaman
bagi yang menyamakan orang yang memakmurkan Masjid al-Haram baik dari mukminin
maupun musyrikin).
Adapun didalam al Qur’an yang juga bermakna
haji menurut istilah adalah:
1. Manasik (مناسك), dalam Qs. al Baqarah 2: 128.
$uZ/u $uZù=yèô_$#ur Èû÷üyJÎ=ó¡ãB y7s9 `ÏBur !$uZÏFÍhè Zp¨Bé& ZpyJÎ=ó¡B y7©9 $tRÍr&ur $oYs3Å$uZtB ó=è?ur !$oYøn=tã ( y7¨RÎ) |MRr& Ü>#§qG9$# ÞOÏm§9$# ÇÊËÑÈ
Terjemah:
Ya Tuhan
Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan
tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji Kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya engkaulah
yang maha penerima taubat lagi maha Penyayang.
2. Hurum (حرم, dalam QS. al Ma’idah 5:1)
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
Terjemah:
Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang ihram.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.
Penggunaan kata manasik dan hurum untuk menunjukkan makna haji juga
memiliki keterkaitan dengan makna haji secara terminologi. hal ini dikarenakan
dalam haji memang memiliki tata cara (manasik haji) tersendiri dan orang yang
melaksanakan haji disebut orang yang sedang ihram (hurum),[7] memiliki
Larangan tersendiri pada saat
ihram antara lain, memotong rambut dan kuku, mengenakan wangi-wangian, menutup
kepala bagi laki-laki, memakai pakaian berjahit bagi laki-laki, membunuh
binatang darat, menebang pohon, meminang (menikahf atau menikahkan), berbicara
kotor (mencaci maki) dan lain-lain. Ketentuan ini sejalan dengan hadis Nabi
saw. berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَجُلاً نَادَةونمةوو ى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَجْتَنِبُ الْمُحْرِمُ
مِنَ الثِّيَابِ فَقَالَ « لاَ يَلْبَسُ السَّرَاوِيلَ وَلاَ الْقَمِيصَ وَلاَ الْبُرْنُسَ
وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ ثَوْباً مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ لاَ وَرْسٌ وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ
فِى إِزَارٍ وَرِدَاءٍ وَنَعْلَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ
وَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُونَا أَسْفَلَ مِنَ الْعَقِبَيْنِ ».
Artinya:
Dari Ibnu Umar
bahwa seseorang laki-laki menyapa dan bertanya kepada Rasul saw: wahai
Rasulullah, pakaian apa yang harus dijauhi oleh orang yang sedang berihram?
Rasul menjawab: Janganlah orang yang sedang berihram memakai celana, janganlah
ia memakai baju kurung, janganlah ia memakai topi, janganlah ia memakai jubah,
surban dan kain yang dilumuri dengan kuma-kuma atau oleh warasy. Dan hendaklah
seseorang mengerjakan ihram dengan memekai sebelah kain pinggang, sebelah kain
selendang dan dua kasut (sandal). Jika ia tidak memperoleh dua kasut, maka
hendaklah ia memakai sepatu yang dipotong (terlebih dahulu bagian atasnya)
hingga sepatu itu pendek dari kedua mata kakinya Nomor hadis 5012.[8]
Jamaah haji yang sedang berihram hendaklah mematuhi semua
larangan di atas. Untuk itu, mereka di tuntut senantiasa sabar, menahan diri
untuk tidak melanggarnya sampai tiba waktu tahallul. Apabila melanggar salah
satu dari larangan-larangan tersebut , maka mereka diwajibkan membayar dam
(denda).
Menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang
itu,khususnya yang berkaitan dengan makhluk, memberi pelajaran bahwa manusia
berfungsi memelihara makhluk-makhluk Allah serta memberinya kesempatan seluas
mungkin untuk mencapai tujuan penciptaannya, sementara larangan yang berkaitan
dengan birahi, memberikan pelajaran supaya jamaah sadar bahwa manusia bukan
materi semata, bukan pula nafsu birahi; dan hiasan yang dinilai oleh Allah swt.
adalah hiasan ruhani.[9]
Adapun haji secara terminologi menurut berbagai pakar
ulama fiqih:
Sayyid Sabiq, ahli fikih kontemporer mesir (lahir 1915),
mendefenisikan haji, yakni; “Dengan sengaja pergi ke Mekah untuk
melaksanakan tawaf, sa’i, wukuf di Arafah, dan rangkaian manasik haji lainnya,
dalam rangka memenuhi panggilan (kewajiban dari) Allah dan mengharapkan
keridhaan Allah.” [10]
Al Khalid
berkata “Haji artinya sering pergi keorang yang kau agungkan.”[11]
Haji dari segi
bahasa dan istilah memiliki keterkaitan Al Hajj, secara bahasa ialah
“sengaja” Sedangkan menurut istilah ibadah, berarti maksud mendatangi Masjidil
Haram untuk menunaikan ibadah haji sebagaimana yang telah kita kenal. Di dalam Mu’jam
dijelaskan bahwa حج dengan difathahkan ha’-nya dan dikasrahkan ialah al-qashdu
(menuju, sengaja). Yakni melaksanakan sejumlah amalan secara khusus (a’maal
makhshuushah) ditanah haram mekah dan sekitarnya pada waktu-waktu tertentu
disertai dengan niat. Niat maksudnya, menyengaja sesuatu disertai dengan
perbuatannya yakni ikhlas[12] dan
syarat-syarat yang telah ditentukan.[13]
Waktu tertentu
adalah bulan-bulan haji, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, serta sepuluh
hari pertama Dzulhijjah. Masing-masing amalan punya waktu khusus. Misalnya,
waktu thawaf (menurut jumhur) adalah sejak terbit fajar dihari kurban sampai
akhir umur, waktu wukuf di Arafah sejak condongnya matahari pada hari Arafah
hingga terbitnya fajar pada hari kurban.[14]
B. Tafsiran Ayat (mengenai
waktu Pelaksanaan haji)
Qs. al-Baqarah: 189
* tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur Vqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ
Terjemah:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia
dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah
agar kamu beruntung.[15]
C. Syarah
Kosa-kata
1.
Al-Ahillatu (الاهلة):
bentuk tunggalnya adalah hila>lun (هلال), artinya ialah bulan ketika muncul
pada bulan 2 atau 3 awal bulan. Orang-orang berzikir mengangkat suaranya kepada
Allah tatkala melihatnya. Asalnya diambil dari perkataan orang Arab yang
berbunyi:Istahallas} S{abiyyu (ايتهل الصبي )
= (bayi itu menangis ketika lahir). Juga Wa ahallalqaumu bil hajji (واهل القوم بالحج)
= (jika mereka mengangkat suaranya atau mengumandangkan talbiyah).
2.
Al Mawa>qitu
(المواقيت)
: tunggalnya adalah miqat, artinya adalah tanda waktu atau waktu tertentu.[16]
D.
Asba>bul Nuzu>l
Adapun asba>bul nuzu>l yang terdapat dalan Q.S
al-Baqarah: 189, yaitu:
Yas-alu>naka
‘anil ahillah... (Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit...) sampai ... lin na>si wal
hajj... (...bagi manusia dan [bagi ibadat] haji...) (Q.S. al-Baqarah:189)
diturunkan sebagai jawaban terhadap banyaknya pertanyaan kepada Rasulullah saw.
tentang peredaran bulan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari al-‘Aufi yang
bersumber dari Ibnu Abbas.
Menurut riwayat lain, orang-orang bertanya kepada
Rasulullah saw: “Untuk apa diciptakan bulan sabit?” Maka turun ayat tersebut di
atas ( Q.S. al-Baqarah:189) sebagai penjelasan.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang
bersumber dari al-Barra’.
Menurut riwayat lain, orang-orang
Quraisy yang diberi julukan al-hams (kesatria) menganggap baik apabila
melakukan ihram, masuk dan keluar melalui pintunya. Akan tetapi kaum Ansar dan
orang-orang Arab lainnya masuk dan keluar tidak melalui pintunya. Pada suatu
hari, orang-orang melihat Quthabah bin’Amir (dari kaum Ansar) keluar melalui
pelanggaran tersebut, sebagai Rasulullah segera menegurnya. Quthabah menjawab:
“Saya hanya mengikuti apa yang tuan lakukan.” Rasulullah bersabda: “Aku ini
seorang kesatria.” Qutbah menjawab: “Sayapun penganut agama tuan.”Maka
turunlah, ... wa laisal birru bi an ta’tul buyu>t ... (... dan bukan
kebajikan memasuki rumah-rumah ...) sampai akhir ayat (Q.S al-Baqarah:189)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan
al-Hakim yang bersumber dari Jabir. Menurut al-Hakim, Hadis ini sahih. Ibnu
Jarir meriwayatkan pula dari al-‘Aufi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas.
Menurut riwayat lainnya, ayat ini
(Q.S al-Baqarah:189) turun berkenaan dengan kaum Ansar, yang apabila pulang
dari perjalanan, tidak masuk rumah melalui pintuya.[17]
E. Penjelasan Ayat
Pembicaraan pada ayat sebelumnya menjelaskan tentang
hukum puasa di bulan Ramadhan. Kemudian dikaitkan di dalam ayat ini yang
membicarakan masalah hilal. Seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut
ini:
صَومُوا
لِرُؤيَتِهِ وَاَفطِروا لِرُؤيَتِه
Artinya:
“Berpuasalah
kalian karna melihat hilal, dan berhentilah karena kalian melihat hilal.”
Abu Nuaim dan Ibnu Asakir
meriwayatkan sebuah hadis dari AbuSalih dari Abdullah Ibn Abbas, bahwa Mu’az
bin Jabal dan Sa’labah bn Ganimah bertanya kepada Rasulullah saw:
Artinya:
Wahai
Rasulullah, apa sebenarnya hilal itu? Ia tampak begitu tipis pada permulaannnya
seperti benang, kemudian membesar sampai berbentuk bulat. Setelah itu bentuknya
terus berkurang sampai tipis lagi seperti semula, bentukya tidak tetap.”
Kemudia turun
ayat ini.
* tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang hikmah berbeda-bedanya bentuk hilal dan faedahnya. Kemudian Rasulullah
menjawab, hilal itu adalah tanda-tanda bagi ummat manusia di dalam
menentukan urusan dunia mereka. Dengan hilal tersebut mereka mengetahui waktu mana yang
paling tepat untuk melakukan cocok tanam atau berdagang.[18] Waktu dalam penggunaan al-Qur’an batas akhir peluang
untuk menyelesaikan suatu aktivitas. Ia dalah kadar tertentu dari satu masa.
Dengan keadaan bulan seperti itu, manusia dapat mengetahui dan merancang aktivitasnya
sehingga dapat terlaksana sesuai dengan masa penyelesaian (waktu yang
tersedia), tidak terlambat, apalagi terabaikan dengan berlalunya waktu.[19] Disamping
itu hilal merupakan tanda-tanda waktu ibadah. Dengan melihat hilal ini, mereka
bisa menentumkan awal bulan Ramadhan dan saat berakhirnya kewajiban puasa.
Terutama sekali, hilal ini dipakai untuk menentukan waktu haji.[20]
Setelah Allah menjelaskan masalah waktu
haji, selanjutnya Allah menjelaskan apa yang mereka lakukan sebelum datangnya
islam.
Dalam hal ini Allah berfirman:
3 }§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß
Ayat ini membatalkan berbagai
perbuatan yang mereka lakukan ketika masa jahiliyyah, yakni tatkala mereka
melakukan ihram. Mereka mengharamkan seseorang memasuki rumah dari depan, dan
mereka mengharuskan memasuki rumahnya dari pintu belakang.
Imam Bukhari dan Ibnu Jarir dari Al
Barra’ menceritakan bahwa orang-orang Arab di masa jahiliyyah jika melakukan ihram harus memasuki rumahnya
dari pintu belakang, kemudian turunlah ayat ini.
Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim dari
sahabat Jabir mengatakan bahwa orang-orang quraisy terkenal dengan hums-nya.[21]
Mereka memasuki rumah rumah dari depannya diwaktu ihram, sedang kaum Ansar dan
orang Arab lainnya tidak memasuki rumah dari depan diwaktu ihram.
Ketika Rasulullah saw. berada di
kebun, kemudian beliau keluar dari depan pintu rumahnya yang disusul oleh
Qutbah ibnu Amir, salah seorang sahabat Ansar. Para sahabat berkata kepada
beliau:
Artinya:
Wahai
Rasulullah! Sesungguhnya Qutbah ibnu Amir adalah orang yang fajir (fasik)
karena ia keluar bersama Anda dari satu pintu.” Lalu Rasulullah bertanya
kepadanya, “Apa yang mendorong anda berbuat demikian?” Ibnu Amir menjawab,
“Saya melihat Anda berbuat demikian, maka saya menuruti perbuatan anda.”
Rasulullah saw bersabda, saya adalah orang ahmasi (kuat memegang agama).”
Kemudian Ibnu Amir menjawab, “Tetapi agamaku juga agama Anda.” Kemudian
turunlah ayat ini.[22]
£`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur Vqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè?
Setelah Allah memberitahukan
kesalahan yang mereka lakukan, yakni dalam hal memasuki rumah dari belakang.
Kemudian Allah menjelaskan kepada mereka tentang kebajikan yang hakiki.
Kebajikan yang hakiki adalah takwa kepada Allah dengan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan maksiat dan kotor; serta menghiasi diri dengan keutamaan-keutamaan,
dan mengikuti kebenaran dan beramal kebajikan. Datangilah rumah kalian dari
depan, dan hendaklah batin kalian adalah cermin lahiriah, dan bertakwalah
kepada Allah jika kaliam mengharapkan keberhasilan dalam amaliah dan mencapai
tujuan yang dicita-citakan. Orang-orang yang bertakwa kepada Allah selalu
mendapatkan ilham menuju jalan keberhasilan, sebagaimana firman Allah berikut
ini:
وَمَن
يَتَّقِ الله يَجعَل لَهُ مِن اَمرِه يُسرً
Terjemah:
Dan
barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan
baginya dalam urusannya.” (At}-T{alaq/65: 4).[23]
F.
Hikmah Disyariatkan Ibadah Haji
Setiap ibadah yang disyariatkan jelas mempunyai
hikmah-hikmah tertentu, yaitu individual dan komunal. Hikmah bersifat
individual antara lain:
1.
Ibadah haji yang dilakukan dengan
niat ikhlas, dan memenuhi ketentuannya, Allah menghapuskan dosa orang yang
menunaikannya[24]
baik menghapus dosa-dosa kecil maupun membersihkan jiwa orang Muslim dari
akses-akses dosa agar jiwa layak menerima kemuliaan Allah Ta’ala.[25]
Berdasarkan sabda Rasulullah saw:
Terjemah:
Siapa yang melaksanakan ibadah haji,
dia tidak melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan tidak pula mengeluarkan
kata-kata yang kotor, maka ia akan kembali ke negeri asalnya tanpa dosa,
sebagaimana ia dilahirkan ibunya pertama kali. (H.R Bukhari)
2.
Haji memperkuat iman, memperbarui
janji Allah, membantu terlaksananya tobat yang tulus, mendidik jiwa,
mengahaluskan perasaan, dan merangsang emosi kerinduan kepada Baitullah.
3.
Seperti perjalanan-perjalanan yang
lain, haji membiasakan manusia untuk bersabar menanggung kesusahan, mengajarkan
sikap disiplin dan komitmen terhadap perintah, sehingga seseorang dapat
menikmati kesusahan di jalan Allah dan mendorongnya untuk berkurban dan berlaku
itsar (mengutamakan orang lain atas diri sendiri).
Adapun hikmah bersifat komunal
antara lain:
1.
Haji tidak diragukan lagi, menyebabkan
terjadinya saling perkenalan antarindividu umat ini yang berbeda-beda warna
kulit, bahasa, dan negeri mereka. Haji juga memungkin terjadinya pertukaran
keuntungan dari ekonomi bebas diantara mereka, serta memungkinkan mereka untuk
membahas urusan-urusan kaum Muslimin. Firman Allah swt:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ...
Terjemahan:
“Agar mereka menyaksikan berbagai
manfaat untuk mereka..” (Q.S Al-Hajj: 28)
2.
Dalam haji, semua orang merasa bahwa
mereka sederajat, orang Arab tidak lebih utama daripada orang non-Arab, yang
berkulit putih tidak lebh utama daripada yang berkulit hitam, kecuali dengan
ketakwaan.[27]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Haji dari segi bahasa dan istilah memiliki keterkaitan Al
Hajj, secara bahasa ialah “sengaja” Sedangkan menurut istilah ibadah,
berarti maksud mendatangi Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah haji
sebagaimana yang telah kita kenal. Di dalam Mu’jam dijelaskan bahwa حج
dengan difathahkan ha’-nya dan dikasrahkan ialah al-qashdu (menuju,
sengaja). Yakni melaksanakan sejumlah amalan secara khusus (a’maal
makhshuushah) ditanah haram mekah dan sekitarnya pada waktu-waktu tertentu
disertai dengan niat. Niat maksudnya, menyengaja sesuatu disertai dengan
perbuatannya yakni ikhlas dan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2.
Hilal itu adalah tanda-tanda bagi ummat
manusia di dalam menentukan urusan dunia mereka.Waktu dalam penggunaan al-Qur’an batas akhir peluang
untuk menyelesaikan suatu aktivitas. Ia dalah kadar tertentu dari satu masa.
Dengan keadaan bulan seperti itu, manusia dapat mengetahui dan merancang
aktivitasnya.[28]
Disamping itu hilal merupakan tanda-tanda waktu ibadah. Dengan melihat hilal
ini, mereka bisa menentumkan awal bulan Ramadhan dan saat berakhirnya kewajiban
puasa. Terutama sekali, hilal ini dipakai untuk menentukan waktu haji.
3.
Hikmah melaksanakan haji terdapat
dua sifat, yaitu bersifat invidual dan bersifat komunal. Bersifat individual
mencakup : haji mampu menghapus dosa, menyucikan jiwa, memperkuat iman dan mengajarkan
sikap disiplin serta komitmen terhadap perintah. Adapun bersifat komunal yaitu
saling mengenal antar individu tanpa memandang perbedaan baik dari warna kulit,
bahasa maupun negeri mereka dan merasa derajat mereka sama melainkan ketakwaan yang
membedakan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazairi, Abu Bakr Ensiklopedi
Muslim. Cet. XIX; Bekasi: Darul Falah. 2013.
Abdul Baqi, Muhammad Fuad.
Mu'jam Mufahras li Alfaaz Al-Qur'an Al-Karim. Indonesia: Maktabah
Dahlan. t.th.
Al Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah
Tafsir al Maragi. Juz II. Semarang: Toha Putra. t.th.
Al Munawar, Said Agil Husain dan
Abdul Halim. Fikih Haji. Cet. I; Jakarta: Ciputat Press. 2003.
Al-Mishry, Muhammad bin
Mukrim bin Mandzur Al-Afriqi.
Lisan al-Arab. Juz
XV, Cet. I; Beirut: Darun Shadirun, t.th.
Ash Shiddieqhy, M. Hasbi Pedoman
Haji. Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009.
Assyaiba>ni, Ah}mad Ibn Hamba>l
Ibn ‘Abdillah. Musnad al-Ima>m Ah}mad bin Hamba>l. Juz II. Bairut
Libanon: Mau’susah Arrisa>lah. t.th.
Az-Zuhaili, Wahbah Fiqih Islam Wa
Adillatuhu. Jilid III. Cet. X; Jakarta: Darul Fikr. 2007.
Burhanudin, M. Dhuha Abdul Jabbar. N. Ensiklopedia Makna
al-Qur’an. Cet I. Bandung: CV. Media Fitrah Rabbani. 2012.
Dahlan, Shaleh, H.A.A. Asba>bul
Nuzu>l . Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat al-Qura’an. Cet. X;
Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2009.
Departemen Agama RI. al-Qura’an
dan Terjemah. Juz VII. Cet. I; Jawa Barat: Syamil Qur’an. 2012.
Rasjid, Sulaiman Fikih Islam.
Cet. XVII; Jakarta: Attahiriyah. t. th.
Shihab, M. Quraish Tafsir Al
Misbah. Cet. V; Jakarta: Lentera Hati. 2012. Jilid I.
Zakariyya, Abi> al H>{usain
Ah}mad bin Fa>ris bin>. Mak{ayis al Luga>h. Juz VI: 1423
H -2002 M.
[1] Abi> al H>{usain Ah}mad bin
Fa>ris bin Zakariyya>, Mak{ayis
al Luga>h, Juz VI: 1423 H -2002 M. h. 24.
[2] Muhammad bin
Mukrim bin Mandzur Al-Afriqi Al-Mishry,
Lisan al-Arab, Juz
XV, Cet. I; (Beirut: Darun Shadirun, t.th.h). 226.
[3] Muhammad Fuad Abdul Baqi. Mu'jam
Mufahras li Alfaaz Al-Qur'an Al-Karim. Indonesia: Maktabah Dahlan,
t.th. h. 246.
[4] Departemen Agama RI, al-Qura’an
dan Terjemah, Juz VII, Cet. I; (Jawa Barat: Syamil Qur’an, 2012), h. 137.
[5] Departemen Agama RI, al-Qura’an
dan Terjemah, Juz XVII, Cet. I; (Jawa Barat: Syamil Qur’an, 2012), h. 335.
[6] Departemen Agama RI, al-Qura’an
dan Terjemah, Juz II, Cet. I; (Jawa Barat: Syamil Qur’an, 2012), h. 24.
[7] Ihram adalah salah satu rukun haji
atau umrah. Maknanya ialah meniatkan untuk haji, atau untuk umrah, atau
meniatkan untuk kedua-duanya. Dinamakan ihram adalah karena dia menghalangi para
muhrim (orang yang telah memulai ihram) dari mengerjakan beberapa
pekerjaan yang dibolehkan sebelum ihram. M. Hasbi Ash Shiddieqhy, Pedoman
Haji, Cet. I; (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 85.
[8] Ah}mad Ibn Hamba>l Ibn ‘Abdillah
Assyaiba>ni, Musnad al-Ima>m Ah}mad bin Hamba>l, Juz II,
(Bairut Libanon: Mau’susah
Arrisa>lah, t.th), H. 46.
[9] Said Agil Husain al Munawar dan
Abdul Halim, Fikih Haji, Cet. I; (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 68.
[10] Said Agil Husain al Munawar dan
Abdul Halim, Fikih Haji, Cet. I; (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 1.
[11] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam
Wa Adillatuhu. Jilid III. Cet. X; (Jakarta: Darul Fikr. 2007), H. 368.
[12] M. Dhuha Abdul Jabbar, N.
Burhanudin, Ensiklopedia Makna al-Qur’an, (Cet I. Bandung: CV. Media
Fitrah Rabbani, 2012), h.167.
[13] Sulaiman Rasjid, Fikih Islam,
Cet. XVII; (Jakarta: Attahiriyah, t. th), h. 240.
[14]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu. Jilid III. (Cet. X;
Jakarta: Darul Fikr. 2007), H. 368.
[15] Departemen Agama RI, al-Qura’an
dan Terjemah, Juz II, h. 29
[17] Shaleh, H.A.A. Dahlan, Asba>bul
Nuzu>l ( Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat al-Qura’an), Cet. X;
(Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2009), h. 55.
[18]
Ahmad Mustafa al Maragi, Terjemah Tafsir al Maragi, Juz II,
Semarang: Toha Putra, h. 121.
[19]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Cet. V; (Jakarta: Lentera
Hati, 2012), Jilid I, H. 503.
[20] Ahmad Mustafa al Maragi, Terjemah
Tafsir al Maragi, Juz II, Semarang: Toha Putra, h. 121.
[21] Hums; adalah kata jamak dari
ahmasa dari hama>sah, artinya kuat dan keras. Dikatakan
demikian karena kekuatan dan kekerasan mereka dalam memegang agama atau
keyakinan)
[22] Muh}ammad
Ibn Isma>’il Abu> ‘Abd al-Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h}
al-Bukha>ri, juz I (Cet. II; Bai>ru>t: Da>r Ibnu Kas\i>r,
1987/1407).
[23] Ahmad Mustafa al Maragi, Terjemah
Tafsir al Maragi, Juz II, Semarang, Toha Putra, h. 126.
[24] Said Agil Husin al-Munawar,
Abdul Halim, Fikih Haji (Menuntut Jama’ah Mencapai Haji Mabrur), (Cet.
I; Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 14
[25] Abu Bakr Al-Jazairi, Ensiklopedi
Muslim, (Cet. XIX; Bekasi: Darul Falah, 2013), h. 436
[26] al-Imam Abi> Abdillah
Muhammad bin Isma>’il bin Ibrahim Ibn Mughirah Ju’fi al-Bukhari, :
al-Ja>mi’u al-Shahih al-Mukhtas}ir, Juz 2, (Cet. III; Bairut: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987),
h. 553
[27] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih
Islam wa Adillatuhu, h. 371
[28]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Cet. V; (Jakarta: Lentera
Hati, 2012), Jilid I, H. 503.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar