Rabu, 20 Januari 2016

SISTEMATIKA PENYUSUNANAN KITAB SHAHIH IMAM MUSLIM

Tidak ada komentar:
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Hadis Rasulullah saw. adalah salah satu dari dua sumber pokok ajaran Islam, dan salah satu dari dua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Hadis Rasulullah saw. jika dilihat dari sisi kodifikasinya, maka ia telah dibukukan sejak zaman Rasulullah saw, akan tetapi masih bersifat personal, adapun kodifikasi hadis yang bersifat umum dan resmi dengan mendapat perintah dari seorang khalifah terjadi pada masa tabiin, tepatnya pada masa khalifah Umar bin Abdil Aziz.
Banyak opini yang menyebar di kalangan sebagian publik akademis bahwa hadis nabi selama satu abad penuh belum ditulis dan masih berupa hafalan yang ditransfer dari masa ke masa. Opini tersebut mungkin disebabkan perkataan sebagian Ulama Hadis yang menyatakan bahwa yang pertama kali mengkodifikasi hadis adalah Ibn Shihab al-Zuhri (w.124 H) setelah mendapat perintah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Opini tersebut menyebar kira-kira 5 abad berturut-turut hingga datang masa Khatib al-Baghdadi yang telah meneliti dan mengumpulkan data otentik dari fakta-fakta yang ada, sehingga ia dapat menjelaskan kepada umat bahwa hadis Rasulullah saw. telah dibukukan sejak zaman pertama hijriyah. Penelitian tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul “Taqyid al-Ilmi”.[1]
Pada masa Rasulullah saw. hadis nabi telah ditulis, banyak fakta dan data yang membuktikannya yang dapat kita rujuk dari berbagai catatan sejarah. Kemudian datang generasi tabiin. Pada masa ini hadis dikodifikasikan secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[2]
Kemudian datang generasi tabiut tabiin. Pada masa ini muncullah mushannafât yang ditulis oleh para ulama zaman tersebut, seperti kitab Muwattha, Sunan, Musannaf, Jami[3] dan kitab-kitab Ajza.
Pada periode berikutnya, yaitu periode Tabiul Athba sekitar abad ke III H, pada periode ini kitab-kitab hadis dibukukan dengan memiliki corak yang berbeda dengan periode sebelumnya, diantaranya adalah kitab-kitab Jawami seperti al-Jâmi al-Shahîh karya Imam Bukhâri dan al-Jami karya Imam al-Tirmidzi, dan lain sebagainya.
Dari sekilas runtutan sejarah kodifikasi hadis di atas dapat diketahui posisi Shahîh Muslim. Kitab ini termasuk kitab yang ditulis pada abad ke-3 H.
B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Imam Muslim?
2.      Bagamana sejarah dan latar belakang penulisan kitab Sahih Muslim?
3.      Bagaimana metodologi dan sistematika penyusunanan/penulisan Kitab Imam Muslim?




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Imam Muslim
1.      Imam Muslim
Nama lengkapnya adalah Imam Abu> al H>{usain Muslim bin al-Hajja>j al-Qusyairi>y al-Naisa>bu>ri>y[4](Bani Qusyair adalah sebuah Kabilah Arab yang cukup dikenal).[5] Beliau dilahirkan di Naisabur pada tahun 204 H/820 M, yaitu kota kecil yang terletak di negara Iran.[6] Sedangkan menurut al-Hafidz Ibnu al-Ba’i di dalam kitabnya ‘Ulamau al-Anshari’, bahwa Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga berpendidikan yang haus akan ilmu hadis. Akibat karakternya yang terbentuk dalam keluarga yang demikian itu, telah mendorongnya menuntut ilmu. Imam Muslim wafat pada malam hari Ahad, dan dikebumikan pada malam hari Senin, 5 hari sebelum berakhirnya bulan Rajab tahun 261 H di Naisabur (dalam usia 55 tahun). [7]
Sejak kecil beliau belajar hadis ke beberapa guru[8] di berbagai negara Islam, seperti Irak, Hijaz, Syiria, Mesir,[9] termasuk Baghdad yang di kunjunginya dengan berulang-ulang, Imam Muslim belajar pada beberapa ahli hadis termasuk kepada Imam Bukhari yang ketika itu datang ke Baghdad dan terakhir beliau berkunjung pada tahun 259 H. Muslim dikenal pula mempunyai daya hafal yang tinggi, di samping kemampuan dalam mengarang.[10] Beliau salah seorang ahli hadis terkemuka dan murid al-Bukhari.[11] Imam muslim pertama kali mendengar hadis pada tahun 218 H usianya ketika itu sekitar 12 atau 14 tahun.[12]         
Al-Zahabiy berkata: “Imam Muslim adalah pedagang dan muhsin (dermawan) Naisabur. Ia memiliki banyak harta kekayaan” dia juga salah seorang muhaddis, hafiz, yang terpercaya. Dan merupakan saudagar yang beruntung, ramah dan memiliki reputasi tinggi. Beliau banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadis maupun ulama-ulama lainnya.
Beliau tidak fanatik dengan pendapatnya sendiri, murah senyum, toleran dan tidak gengsi untuk menerima pendapat atau kebenaran dari orang lain.
 Imam muslim merupakan seorang tulang punggung hadis. Al-Khalil berkata: “Popularitasnya jauh lebih besar dari keutamaan-keutamaan yang disebutkan orang tentang beliau.[13]  
An-Nawawi berkata: “Imam Muslim seorang yang sangat berhati-hati, teguh pendirian, wara’ dan Makrifa.
Adapun guru Imam Muslim diantaranya adalah: Imam Ahamad bin Hanbal, dan Abdullah Ibn Maslamah (Baghdad). Perjalanan ke Baghdad di lakukan berualang-ulang. Sa’id Ibn Manshur, Abu Mus’ab (Hijaz) dan lainnya. Amr Ibn Sawwad, Harmalah Ibn Yahya, Ishak Ibn Ruhawaih (Mesir) dan lain-lain. Muhammad Ibn Mahran, Abu Ghassan, (Ray) dan lain-lain.[14]    
Yang meriwayatkan darinya ialah, Al-Turmudzy (meriwayatkan  satu hadis dari beliau), Ibrahim bin Ishak, Ibrahim bin Abi T>halib, Yahya bin Muhammad bin Sha’id, Ali bin Isma’i, al-Shaffar, dan sekelompok lainnya.[15]
Hubungannya dengan beliau Al-Khatib al-Baghdadiy berkata: “Imam Muslim menempuh cara Bukhariy, sehingga ia mengetahui ilmunya dan mengikuti langkahnya. Ketika Imam Bukhari bermukim di Naisabur pada penghujung usianya, Muslim senantiasa mendampingi dan berada di belakangnya.
Ahmad bin Hamadun al-Qushar berkata: Muslim al-Hajja>j datang kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan mencium antara dua matanya seraya berkata: “Wahai tokoh guru dan penghulu para ahli hadis, serta dokter penyakit-penyakit hadis, izinkanlah aku mencium kakimu”.
Ketika terjadi perselisihan pendapat antara al-Zuhaliy dan Bukhari dalam masalah lafadz, al-Zukhaliy melarang orang yang menuntut ilmu untuk menghadiri majlis Bukhari, sehingga Bukhari berhijrah dan keluar dari Naisabur. Sehubungan dengan cobaan tersebut, maka sebagian besar orang mengisolir diri dari Bukahri, kecuali Muslim. Muslim tidak berhenti menziarahinya, sehingga Muhammad bin Yahya berkesimpulan bahwa Muslim bin Hajja>j mengikuti aliran Bukhari, baik dulu maupun sekarang, dan ia dicela atas sikap tersebut, baik di Irak maupun di Hijaz, dan ia tidak menarik pendapatnya”.
Pada hari berlangsunya majelis Muhammad bin Yahya, ia berkata di akhir pertemuannya: “Ketahuilah, barangsiapa yang mengatakan tentang lafazh, maka tidak halal baginya menghadiri majelis kami”. Lalu Muslim mengambil selendangnya dari sorbannya, Lalu berdiri di depan hadirin dan keluar dari majelis. Selanjutnya ia mengumpulkan segala yang ia pernah tulis di majelis Muhammad bin Yahya, kemudian mengirimnya dengan unta ke pintu Muhammad bin Yahya.            
2.    Kitab Karangannya
Imam Muslim merupakan salah seorang ulama hadis besar. Ijma’ menyatakan keagungan dan ketokohannya. Ia memiliki sejumlah karya, meskipun sejumlah besar telah hilang. Walaupun Ibn al-Nadim menyebutkan sebagian karyanya, namun yang menjadi rujukan dalam mengetahui karya-karyanya adalah al-hakim. Informasi-informasi yang datang setelah al-Hakim semuanya merujuk secara keseluruhan kepada apa yang disebutkan al-Hakim. Berikut ini dikemukakan karya-karyanya yang namanya diketahui dengan memperhatikan urut-urutannya secara alfabel.
a.         Al-Asma’ wa al-Kunniy (Kitab ini terdiri atas empat jilid yang diriwayatkan oleh Makkiy bin ‘Abdan dari muslim, diterbitkan oleh Da>r al-Kutub al-Za>hiriyah di Damaskus).[16]
b.        Afra>d al-Sya>miyyi>n
c.         Kitab al-Aqra>n
d.        Kitab al-Intifa’ bi Ahab al-Siba>’  al-Kuttaniy menamakannya dengan Kita>b al-Intifa>’ bi Julu>d al-Siba>’
e.         Kitab Awla>d al-Shaha>bah
f.          Kitab Awha>m al-Muhaddis\i>n
g.        Kitab al-Ta>ri>kh
h.        Kitab al-Tamyi>z  
i.          Al-jami’ ‘Ala> al-Abwa>b. Al-Hakim al-Naisaburiy berkata: saya telah melihat sebagian dari kitab tersebut.
j.          Kitab Hadi>s\ ‘Amru bin Syu’aib
k.        Rija>l Urwah bin al-Zubair wa Jama>’at min al-Tabi’i>na wa Gairihim
l.          Kitab Sua>la>t Ahmad bin Hambal
m.      Al-Shahih al-Musnad, (merupakan karyanya terbesar dan lebih populer dari apa yang ditulis dalam keadaan tergesa-gesa ini. ungkapan bahwa: “kitab tersebut dalam jilid besar karya Muslim al-Hajjaj yang berisi tentang riwayat sahabat-sahabat Rasulullah saw. dan para tabi’in).
n.        Kitab al-‘Ilal
o.        Kita>b al-Musya>rikh al-Tsauriy
p.        Kitab al-Masyayikh al-Syu’bah
q.        Kita>b al-Masya>yikh Ma>lik
r.          Kita>b Wahda>n[17]
s.         Kita>b al-Mukhadrami>n
t.          Al-Musnad al-Kabi>r ‘Ala> al-Rija>l.[18]

B.   Seting Sosial Setting Sosial-Politik
Imam Muslim hidup pada masa Daulah Abbasiyah, khususnya masa Daulah Abbasiyah II yaitu masa Khalifah al Mutawakkil (232 H/847 M). Pada masa Abbasiyah keadaan politik dan militer mengalami kemerosotan sementara ilmu pengetahuan semakin berkembang termasuk dalam bidang hadis. Namun, perkembangan ilmu hadis sedikit terganggu terutama pada masa Khalifah al Makmun hingga al Wasiq. Barulah pada masa al Mutawakkil, ulama hadis mulai mendapat angin segar karena khalifah ini memiliki kepedulian kepada al Sunnah.
Seiring dengan perkembangan hadis yang semakin pesat, ternyata pemalsuan hadis yang semakin merajalela pun tak dapat dihindari.[19]
Pada masa seperti inilah, mulai bermunculan ulama hadis yang giat belajar, mencari, dan menyeleksi hadis serta mengumpulkannya termasuk Imam Muslim.
Setidaknya ada dua alasan yang melatar belakangi penyusunan kitab hadis oleh Imam Muslim, yakni:
1. Karena pada masanya masih sangat sulit mencari referensi koleksi hadis yang memuat hadis-hadis shahih dengan kandungan yang relative komprehensif dan sistematis.
2. Karena pada masanya terdapat kaum Zindiq yang selalu berusaha membuat dan menyebarkan sejumlah cerita (hadis) palsu, dan mencampur adukkan antara hadis-hadis yang shahih dan yang tidak. Jadi, jika memperhatikan periodisasi sejarah dan perkembangan hadis, dapat dinyatakan bahwa kitab Shahih Muslim muncul pada periode kelima (abad ke 3 H) yaitu masa pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan hadis (‘Asr al-Tajrid wa al-Tashih wa al-Tanqih).[20]
C.   Kitab Shahih Muslim
Nama lengkap kitab hadis karya Imam Muslim diberi nama al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah saw, namun lebih dikenal dengan Jami al-Sahih atau Sahih Muslim. Yang ia tulis selama 12 tahun,[21] dan aadapula yang mengatakan 15 tahun.[22] Ketika menyusun kitabnya Imam Muslim berkata:
Tidaklah aku letakkan sesuatu dalam kitabku ini, kecuali dengan hujjah, dan tidaklah aku menggugurkannnya, kecuali dengan hujjah pula. Tidak ada sesuatu pun yang menurutku sahih kecuali aku meletakkannya berdasarkan kesepakatan (atas kesahihannya).[23]
            Adapun mengenai jumlah hadis pada kitab ini, terdapat pendapat yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan 4.000 hadis yang merupakan hasil penyeleksian dari 12.000 buah hadis yang dihitung secara terulang-ulang, atau pendapat lain sebanyak 7.275 buah hadis secara terulang-ulang, dan 5632 hadis. Menurut Fuat Abdul Baqi sebanyak 3.033 buah hadis tanpa diulang.[24]
Secara eksplisit Dr. Ajjaj al Khatib menyatakan bahwa jumlah hadis pada kitab ini ada 3030 hadis dengan tidak termasuk hadis yang di ulang-ulang, adapun jika termasuk yang terulang maka berjumlah sekitar 10.000 hadis dari hadis yang beliau ketahui dan hafalnya sebanyak 300.000 hadis.[25] Imam Muslim sangat bangga akan kitab Shahih-nya, mengingat jerih-payah yang telah ia curahkan ketika mengumpulkannya. Ia menyusunnya dari 300.000 hadis yang ia dengar. Oleh karena itu, ia berkata: “Andaikata para ahli hadis selama 200 tahun menulis hadis, maka poros mereka adalah “al-Musnad” ini (yakni kitab Shahih-nya).[26]
Perbedaan penghitungan tersebut terjadi karena ada yang menghitung dengan hadis yang terulang-ulang dan ada pula yang tidak.
Penyebaran kitab Shahih Muslim ini pada mulanya menggunakan model diperdengarkan kepada kaum muslimin secara garis besar, penyebaran atau periwayatannya melalui dua jalur, ke arah timur melalui jalur Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, dan kearah barat melalui Abu Muhammad Ahmad bin Ali.
Sama seperti Shahih al-Bukhari, para ulama juga menulis Syarh dan Mukhtashar untuk kitab Shahih Muslim, di antara kitab-kitab syarah itu adalah:
1.      Al- Al-Mu’lim bi Fawaidi Kitab Muslim karya Abu ‘Abdillah bin ‘Ali al-Mazari (w. 536 H/1141 M).
2.      Ikmal al-Mu’lim fi Syarh Shahih Muslim tulisan Qadli ‘Iyadl bin Musa al-Yahshabi al-Maliki (w. 544 H/1149 M).
3.      Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim karya Imam al Hafiz Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf al Nawawi asy Syafi’i/al-Nawawi (w. 676 H/1244 M).
4.      Ikmalu Ikmal al-Mu’allim karya Imam Abu Abdullah Muhammad bin Khalifah al-Wasyayani al-Maliki (w. 837 H/1433 M).
5.      Syarah karya Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi al-Hasani (w. 895 H/1490 M).
Sedangkan kitab-kitab ringkasan (mukhtashar) Shahih Muslim antara lain:
1.      Mukhtashar oleh al-Syeikh Abi ‘Abdillah Syarf al-Din bin ‘Abdillah al-Mursi (w. 656 H/1226 M).
2.      al-Mufham li Ma Asykala min Talkhishi Shahih Muslim oleh Imam al-Qurthubi. (w. 656 H/ 1226 M)
3.      Mukhtashar oleh Imam al-Mundziri (w. 606 H/1226 M).
Adapun kitab-kitab indeks sebagai pedoman untuk memudahkan untuk mencari hadis dalam kitab Shahih Muslim antara lain:
1.      Miftah Shahih Muslim karya Saykh Muhammad Syarif bin Mustafa al-Tuqadi.
2.      Indeks karya Syaikh Muhammad Fuad ‘abd al-Baqi.[27]
D.  Metodologi dan Sistematika Penyusunanan Kitab Shahih Muslim
Pokok pembahasan kitab Al-Jami’u al-shalih karya Imam Muslim ialah hadis-hadis shahih yang berpusat pada Rasulullah saw. saja. Metode dan sistematika penyusunannya sama seperti yang digunakan al-Bukhari, beliau mengumpulkan hadis-hadis yang tersusun dari perkataan sahabat dan fatwa-fatwa para tabi’in dalam hal menghimpun hadis-hadis shahih saja, yang kemudian disusunnya sesuai dengan bab-bab ilmu, baik mengenai persoalan fiqih maupun khilafah. Bedanya, dia banyak meringkas hadis-hadis yang musnad, tanpa menyebutkan yang mauquf, kecuali sedikit sekali, dan dalam sistematika penyusunannya, dia tidak menyebutkan judul-judul bab sebagaimana yang dibuat oleh Ima>m Bukha>ri.[28] Adanya judul-judul bab itu dibuat oleh orang-orang yang mensyarahi kitabnya. Di antara susunan judul-judul bab yang dibuat dalam Shahih Muslim yang paling baik ialah yang dibuat oleh Imam Muslim Muhyiddin Abu Zakariya Yahya al-Nawawi.
Imam Nawawi berkata, “Bahwasanya Imam Muslim pada dasarnya telah menyusun kitabnya secara tertib menurut bab per bab, hanya saja tidak menyebutkan judul-judul babnya, hal itu dimaksudkan untuk menghindari ketebalan kitabnya, atau karena ada alasan lain. “Selanjutanya, Imam al-Nawawi berkata, “Bahwa segolongan ulama telah membuat judul-judul bab dalam kitab Shahih Muslim  dengan baik, dan ada juga yang membuatnya kurang baik. Hal itu barangkali disebabkan oleh kurangnya perbendaharaan kata, atau tidak ditemukan kata yang relefantif yang bisa digunakan untuk judul-judul bab itu, atau mungkin oleh sebab lain. Meskipun demikian, insya Allah akan berusaha membuat judul-judul bab dengan bahasa yang kadar relefantifnya cukup kuat dan sesuai dengan kandungannya”.       
Imam Nawawi dalan kitab syarah Shahih Muslim.
Kitab ini dibuat dengan sistematika seperti model kitab sunan , yaitu kitab yang berjumlah 54 kitab dengan 3450 bab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, karena fikih sangat dominan pada masa itu. Urutan kitab nya dimulai dari kitab imana, ibadah, muamalah, jihad, makanan dan minuman, pakaian, adab dan keutamaan-keutamaan serta diakhiri dengan kitab tafsir. Dari sistematika tersebut, terlihat bahwa Imam Muslim menggunakan beberapa hal yang agak berbeda dengan sistematika kitab sunan, yaitu ia memisahkan kitab sfat al-munafiq dari kitab al iman, kitab al ‘ilm ditempatkan pada posisi akhir, hadis-hadis tentang adab diperinci menjadi beberapa kitab. Selain kitab al-adab, ada pula  kitab al-salam, padahal dapat dimasukkan dalam kitab al-adab juga. Ada pula kitab al-birr wa al-silah wa al-adab.
Untuk mengetahui isi dan sistematika kitab Shahih Muslim secara rinci berikut ini suatu rincian dalam bentuk tabel yang di dalamnya terdapat nama-nama kitab (khusus bagian) jumlah bab dan hadis dalam tiap-tiap kitabnya.
No. Kitab
Nama Kitab
Bilangan Hadis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

28
29
30

31
32
33
34
35
36
37
38
39
40

41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
Al-Iman
Al-T{aha>rah (masalah bersuci)
Al-h{aid{u (menstruasi)
Al-s}alatu
Al-masajidu (mesjid-mesjid)
S{alatul Musa>firi>na (sembahyang orang-orang msafir)
Al-jum’ah
Shalatul Idaini (Shalah dua hari raya)
Shalatul Istisqa>i  (shalat minta hujan)
Al-Kusuf (gerhana)
Al-jana’iz
Al-Zakatuh
Al-Syiam
Al-i’tikafu
Al-h}ajju
Al-nika>hu
Al-t}ala>qu
 Al-rad{a>u (penyusun)
Al-li’anu (bersumpah karena menuduh istri berzina)
Al-‘itqu (memerdekakan budak)
Al-Buyu>u
Al-musaqtu wa al-muzara’atu
Al-Fara>id{u
Al-hibatu
Al-wasyiyyatu
Al-naz{ru
Al-aimanu
Al-qasamatu (bersumpah 50 orang daripenduduk kampung bahwa mereka tidak membunuh seseorang dari pihak penuduh)
Al-hudud
Al-aqd{iyatu (perkata-perkata yang dihadapkan) kepada hakim (putusan-putusan hakim)
Al-luqat}u
Al-jihad
Al-imarah (pemerintah)
Al-Shaidu (pemburu)
Al-ad{a>hi (penyembelihan kurban)
Al-asyribah (masalah-masalah munuman)
Al-libas (masalah-masalah pakaian)
Al-adab (soal-soal  tatasusilah)
Al-salam (masalah-masalah salam)
Al-alfadh minal adab (beberapa macam lafadz dari bagian tatasusila)
Asy-syi’ru (syair)
Al-ru’ya (mimpi)
Al-fad{a>ilu (keutamaan-keutamaan)
Fad{a>ilu al-shahabah
Al-birru wa al-s}ilatu (berbuat kebajikan dan hubungan kekeluargaan)
Al-qadaru
Al-ilmu
Al-z}ikru wa al-du’a>u (zikir dan do’a)
Al-taubatu (taubat)
Shifatul munafiqina (sifat-sifat orang munafik)
Al-jannatu (surga)
Al-fitanu (kekacauan)
Al-zuhdu (kezahidan)
Al-tafsi>r
380
101
136
285
316
312
13
22
17
29
108
177
222
10
522
110
32
134
20
26
123
143
21
32
22
13
59

39
46
21

19
150
185
30
45
188
127
145
155
21

10
23
174
232
166
34
16
101
60
83
84
142
75
34
            Muslim hanya memberikan judul kitabnya, sedang judul bab menurut materi-materi hadis, diberikan oleh pensyarah shahihnya. Maka apabila dikatakan, H.R Muslim 10:15, maksuudnya ialah: hadis itu diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab kesepuluh, bab ke-lima belas.[29]  
E.    Keistimewaan Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim setelah menuliskan pendahuluan dalam kitabnya, langsung menyebutkan hadis-hadis yang menjadi pokok pembahasan. Dan atas dasar itu, dia telah membuat satu sistem yang lain dari sistem yang digunakan al-Bukhari, di mana dalam Shahih al-Bukhari terlebih dahulu dikemukakan abstaks hukum yang diiterpretasikan, potongan-potongan hadis, dan judul-judul bab.
Imam Nawawi telah membuat satu pasal tersendiri mengenai keistimewaan-keistimewaan kitab Shahih Muslim. Dia berkata, ”Diantara keistimewaan karya Imam Muslim ialah bahwa dia membedakan secara tegas dan jelas antara penggunaaan ungkapan اخبرنا dengan ungkapan حدثنا di mana perbedaan itu diaplikasikannya pula terhadap gurunya dalam meriwayatkan.[30] Perbedaan-perbedaan yang dibuatnya ini merupakan metode  yang paling istimewa dalam alirannya. Kata حدثنا tidak boleh digunakan kecuali jika seorang rawi dalam kondisi berperan pasif. Artinya, rawi itu hanya mendengar dari gurunya. Tidak membaca di depannya secara saksama. Sedang kata اخبرنا digunakan dalam kondisi rawi berperan aktif. Artinya, rawi itu membaca di depan gurunya dengan didengarkan oleh gurunya itu secara seksama. Perbedaan penggunaan istilah tersebut juga merupakan metode al-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya. Serta kebanyak ahli-ahli ilmu dari negara-negara timur.[31]
Menurut sebagian ulama, jika rawi itu berperan aktif, boleh menggunakan اخبرنا, atau kata حدثنا. Artinya, dalam hal rawi berperan aktif, mereka tidak membedakan penggunaan kedua kata tersebut.
Di antara keistimewaan lain Imam Muslim ialah ketelitiannya dalam memperhatikan lafadz hadis yang disampaikan oleh rawi-rawi. Hal itu dapat diketahui melalui melalui ungkapannya dalam meriwayatkan hadis. Seperti dia mengucapkan, حدثنا فلانن و فلانن و لفذ لفلانن (telah menceritakan kepadaku si Fulan dan si Fulan, sedang lafadz hadis adalah menurut lafadz si Fulan ini). Juga ketelitiannya dalam memperhatikan perbedaan huruf pada matan hadis, jika antara si Fulan dengan si Fulan ada perbedaan huruf. Atau, perbedaan dalam sifat-sifat, nisbat-nisbat rawi, perbedaan lafal yang diungkapkan perawi seperti حدثنا dan اخبرنا, maka beliau akan menjelaskannya, dan lain sebagainya. Jika terjadi kondisi yang demikian, dia segera menjelaskan perbedaan-perbedaan itu, meskipun perbedaan-perbedaan itu kadang tidak menimbulkan perubahan yang signifikan. Atau, kadang menimbulkan perubahan arti, dan ini secara visual sangat samar dan sulit diidentifikasi, kecuali oleh mereka yang memiliki kecermatan dan ketelitian yang tinggi dalam ilmu fiqih dan mazhab-mazhabnya.
Keistimewaannya yang lain ialah sistematika penulisannya yang kronologis, di mana jalinan hadis-hadisnya memberikan kesan pembacanya untuk lebih mendalami pembahasan. Dan yang demikian ini menunjukkan kesempurnaan pengetahuannya secara detail dalam mengaplikasikan hadis pada objek pembahasan, rincian ilmu, pokok-pokok kaedah, kesamaran ilmu sanad, derajat para rawi, dan lain sebgainya.
Imam Muslim tidak melakukan pemotongan hadis di dalam kitab shahihnya sesuai dengan bab-babnya, sebagaimana yang dilakukan  oleh al-Bukhari. Tetapi, dia meriwayatkan hadis itu secara lengkap dan utuh tanpa dibagi-bagi dengan sanadnya yang berbeda-beda.
Di dalam kitab Tah{zi>b, Imam Nawawi dan al-Syuyuthi mengatakan, “Bahwasanya Imam Muslim mempunyai keistimewaan tersendiri, Metode yang digunakan Imam Muslim dalam menyusun kitab ini yakni dengan menghimpun matan-matan hadis yang senada atau satu tema lengkap dengan sanadnya pada satu tempat, tidak memisahkan dalam beberapa bab yang berbeda, serta tidak mengulang-ulang penyebutan hadis kecuali dalam jumlah sedikit karena ada kepentingan yang mendesak yang menghendaki adanya pengulangan.[32]
Berbeda  dengan al-Bukhari, dia telah memutus lafadz-lafadz hadis dengan sanadnya yang berbeda-beda dalam bab-babnya dengan maksud mengambil hukum-hukum dari hadis-hadis itu sesuai dengan ijtihadnya.
Di dalam pendahuluan kitab Syarah Muslim, Imam al-Nawawi berkata, “Bahwasanya hanya Imam Muslim yang memiliki kaedah yang baik dalam sistematika penyusunannya, sehingga orang bisa memperoleh hadis yang dikehendakinya, karena dia telah menempatkan hadis pada proporsi yang sebenarnya. Dia menghimpun dan menyebutkan semua sanad hadis yang dianggapnya shahih dari sanad yang berbeda-beda, sehingga memudahkan orang yang mencari hadis untuk meneliti secara detail terhadap sisi-sisi hadis itu. Dan yang demikian itu secara psikologis memengaruhi tingkat kepercayaan orang yang membacanya terhadap semua hadis yang disampaikan dengan sanad-sanadnya itu.
Berbeda dengan al-Bukhari, dia menyebutkan secara detail sisi yang berbeda suatu hadis dalam bab yang berbeda-beda, bahkan banyak pula penyebutan hadis dalam bab yang tidak proporsinya, sehingga kadang bisa menimbulkan pemahaman yang keliru orang yang membacanya. Tetapi, yang demikian itu menunjukkan tingkat ketelitian dan kapabilitas pemahaman al-Bukhari terhadap hadis-hadis ini, sehingga orang yang membacanya akan mengalami kesulitan untuk memindahkan dan mengumpulkan sanad-sanad hadis itu, serta kesulitan pula untuk mendapatkan seluruh hadis yang disebutkannya dari sanad-sanadnya.
Ibn Hajar berkata perbedaan metode dan sistimatika penysunan antara keduanya itu tidak perlu dipertentangkan mana diantara keduanya yang paling utama, karena masing-masing memiliki keutamaan dari sisi yang berbeda, sebagaimana pernyataan seorang ulama dalam syairnya:
“Orang yang berbeda pendapat terhadap al-Bukahri dan Muslim, siapa diantara keduanya yang paling utama, maka aku berpendapat, jika Al-Bukahri lebih utama, itu dari segi kesahihan hadisnya, dan jika Muslim lebih utama, itu dari segi sistem penyusunannya.[33]
Para ulama menyimpulkan bahwa syarat yang digunakan Imam Muslim dalam kitabnya yaitu: (1) hanya meriwayatkan hadis dari periwayat yang ‘adil dan dhabit (kuat hafalan dan daya ingatnya), dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah, dan (2) hanya meriwayatkan hadis-hadis yang musnad (lengkap sanadnya), muttashil (sambung-menyambung sanadnya) dan marfu’ (disandarkan kepada Nabi saw.). Beliau tidak meriwayatkan hadis yang mauquf dan mu’allaq.
Dalam syarahnya Imam Nawawi mengemukakan keterangan Imam Muslim dalam muqaddimah kitabnya mengenai syarat yang dipakai dalam kitab Shahihnya. Beliau mengategorikan hadis kepada tiga macam, yaitu:
1.    Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang ‘adil dan dhabit
2.    Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang tidak diketahui keadaannya (mastur) dan kekuatan hafalan/ingatannya sedang-sedang saja
3.    Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang lemah (hafalannya), dan para periwayat yang hadisnya ditinggalkan orang.
Dari ketiga kategori tersebut, apabila Imam Muslim telah selesai meriwayatkan hadis kategori pertama, beliau senantiasa menyertakan hadis kategori kedua, sedangkan hadis kategori ketiga, beliau tidak meriwayatkannya. Setelah selesai membukukan kitabnya, Imam Muslim memperlihatkan kitabnya kepada para pakar hadis terkemuka yaitu seorang huffaz Makki bin Abdan dari Naisabur. Ia berkata: “Saya mendengar Muslim berkata: “Aku perlihatkan kitabku ini kepada Abu Zur’ah al-Razi. Semua hadis yang diisyaratkan al-Razi ada kelemahannya, aku meninggalkannya. Dan semua hadis yang dikatakannya shahih, itulah yang kuriwayatkan. Ini menunjukkan kerendahan hatinya.
Imam Muslim pun sangat berhati-hati dalam memilih atau menyeleksi hadis. Ia senantiasa berdasar pada argumen yang jelas Beliau pernah menuturkan, “Aku tidak mencantumkan satu hadis pun ke dalam kitab ini melainkan ada alasannya. Dan aku tidak menggugurkan satu hadis pun melainkan karena ada alasannya.”
E.   Penilaian terhadap Shahih Muslim dan Nilai Hadis-hadisnya
Menurut para ulama ahli hadis, kitab ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya: (1) susunan isinya sangat tertib dan sistematis, (2) pemilihan redaksi (matan) hadisnya sangat teliti dan cermat, (3) seleksi dan akumulasi sanadnya sangat teliti, tidak tertukar-tukar, tidak lebih dan tidak kurang, (4) penempatan dan pengelompokan hadis-hadis ke dalam tema atau tempat tertentu, sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan penyebutan hadis.[34]
Para ulama menilai bahwa Shahih Muslim sebagaimana Shahih Bukhari merupakan dua kitab ko leksi hadis yang paling shahih di antara kitab-kitab hadis lainnya. Adapun nilai hadis yang terdapat dalam kitab ini umumnya berkualitas shahih atau dinilai shahih oleh sebagian besar ulama hadis.
Para ulama hadis umumnya menilai bahwa kualitas hadis dalam kitab ini menempati posisi kedua setelah kitab Shahih al Bukhari. Hal ini karena kriteria seleksi keshahihan hadis yang dipakai oleh Imam Muslim lebih longgar daripada yang dipakai oleh Imam  Al-Bukhari. Jika Imam Al-Bukhati mensyaratkan pertemuan antara guru dan murid bagi hadis dalam kitabnya, maka Imam Muslim dapat menerima periwayatan hadis asalkan guru dan murid tersebut pernah hidup dalam satu masa tertentu, tanpa harus pernah bertemu.
Akan tetapi, walaupun hadis-hadis dalam kitab ini  dinilai shahih, terdapat sejumlah hadis yang dikritik terutama berkaitan dengan matan atau teks hadis.

BAB III
PENUTUP
1.      Nama lengkapnya adalah Imam Abu> al H>{usain Muslim bin al-Hajja>j al-Qusyairi>y al-Naisa>bu>ri>y, lahir di Naisabur pada tahun 204 H/820 M. Dan ada pula yang mengatakan pada tahun 206 H, Sejak kecil beliau belajar hadis ke beberapa guru, beliau pertama kali mendengar hadis pada usia 12 atau 14 tahun. Muslim dikenal pula mempunyai daya hafal yang tinggi, di samping kemampuan dalam mengarang. Beliau salah seorang ahli hadis terkemuka dan murid al-Bukhari. wafat pada malam hari Ahad, dan dikebumikan pada malam hari Senin, 5 hari sebelum berakhirnya bulan Rajab tahun 261 H di Naisabur dalam usia 55 tahun.
2.      Imam Muslim menyusun kiabnya dengan beberapa sub bagian, dengan jumlah kitabnya 54 kitab dengan 3450 bab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, karena fikih sangat dominan pada masa itu. Alasan pembukuan hadisnya, (1) karena pada masanya masih sangat sulit mencari referensi koleksi hadis yang memuat hadis-hadis shahih dengan kandungan yang relative komprehensif dan sistematis. (2) Karena pada masanya terdapat kaum Zindiq yang selalu berusaha membuat dan menyebarkan sejumlah cerita (hadis) palsu, dan mencampur adukkan antara hadis-hadis yang shahih dan yang tidak.
3.      syarat yang digunakan Imam Muslim dalam kitabnya yaitu: (1) hanya meriwayatkan hadis dari periwayat yang ‘adil dan dhabit (kuat hafalan dan daya ingatnya), dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah, dan (2) hanya meriwayatkan hadis-hadis yang musnad (lengkap sanadnya), muttashil (sambung-menyambung sanadnya) dan marfu’ (disandarkan kepada Nabi saw.). Beliau tidak meriwayatkan hadis yang mauquf dan mu’allaq. Kemudian Jika Imam al Bukhati mensyaratkan pertemuan antara guru dan murid bagi hadis dalam kitabnya, maka Imam Muslim dapat menerima periwayatan hadis asalkan guru dan murid tersebut pernah hidup dalam satu masa tertentu, tanpa harus pernah bertemu.


















DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhâri, Muhammad bin Ismail. Al-Ja>mi’ al-Shahih, Tahqiq Mustafa Dieb Bugha, Jilid I. Beirut: Dâr al-Ibnu Katsir. 1987.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Al-Nawawi.  Muqaddimah Syarah Hadis.
Al-Nawawi>y, Abu> Zakariyya> Mah{yiy al-Di>n bin Sya>rif. Tahz{i>b al-Asma>’ Walluga>t. Juz  II, (t.dt).   
Al-Sa>fi’iy. Ahmad bin ‘Ali bin H{ijr Abu> al-Fad{l al-‘Asqala>niy. Tahz{i>b al-Tahz{i>b. Beirut: Da>r al-Fikr. 1984. Juz XXVII.
al-Umary, Akram Dhiya’. Buhu>s fi Ta>rikh al-Sunan al Musyarrafah. Madinah; Maktabat al-Ulu>m wa al-Hikam, 1994.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi Pokok-Pokok Ilmu Hadis Dirayah Hadis.  Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang. 1987.
As-shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993.
Ha>syim, Ah}mad ‘Umar. Maba>h}is\ fi al-Ha}di>s\ al-Syari>f, Cet. II; Mesir: Maktabah al-Syuru>q al-Dawliyah. 1431 H.
Ilyas, Abustani. Metode Kritik dikalangan Ilmu Hadis. Cet I; Makassar: Alauddin University Press. 2012. Lihat juga Abu Ya’la>. Tabaqat al- Hana>bilah. Jilid I.
Khaeruman, Badri Otentitas Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer). Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2004.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. II; Jakarta: Amzah. 2013.
Matar, al-Zahrani Muhammad bin Tadwi>nus Sunnah. Nasyatuh wa Tat}awwuruh, Thaif; Maktabah al-Shiddiq. 1412 H.
­­­­­­­­­--------------------Metode Kritik dikalangan Ilmu Hadis. Cet I; Makassar: Alauddin University Press. 2
Sumarna, M.Abdurrahman dan Ehsan. Metode Kritik Hadis. Cet. I; Bandung; PT Remaja Rosdakarya. 2011.
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta. Dosen. Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras. 2003.
Tariq Baghdad. Jilid XIII.
Wahid, Abd. Khasanah Kitab Hadis. (Banda Aceh Bekerja sama dengan AK-Group). Yogyakarta: Ar-raini. Press. 2008.




[1]Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadw>nus Sunnah, Nasyatuh wa Tathawwuruh, (Thaif; Maktabah al-Shiddiq, 1412 H), h. 72.
[2]Muhammad bin Ismail al-Bukha>ri, Al Ja>mi al-Shahih, Tahqiq DR. Mustafa Dieb Bugha, Jilid 1, (Beirut: Da>r al-Ibnu Katsir, 1987), h.  54.
[3]Akram Dhiya al-Umary, Buhu>s fi Ta>rikh al-Sunan al-Musyarrafah, (Madinah: Maktabat al-Ulu>m wa al-Hikam, 1994), h. 301.
[4]Abu> Zakariyya> Mah{yiy al-Di>n bin Sya>rif al-Nawawi>y,Tahz{i>b al-Asma>’ Walluga>t, Juz  II, (t.dt), hlm. 109.  
[5]Subhi Ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 349.
[6]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2013),  hlm. 294.
[7]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 263. 
[8]Abu> Zakariyya> Mah{yiy al-Di>n bin Sya>rif al-Nawawi>y,Tahz{i>b al-Asma>’ Walluga>t, Juz  II, (t.dt), hlm. 109.   
[9]Tariq Baghdad, Jilid XIII, hlm. 100.
[10]Badri Khaeruman, Otentitas Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer), (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 202.
[11]Muqaddimah al-Fath Juz I, hlm. 8.
[12]Abustani Ilyas, Metode Kritik dikalangan Ilmu Hadis, (Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 201.  Lihat juga Abu Ya’la>, Tabaqat al- Hana>bilah, Jilid I, h. 337.
[13]Abustani Ilyas, Metode Kritik dikalangan Ilmu Hadis, (Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 202.  
[14]Badri Khaeruman, Otentitas Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer), (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 200. 
[15]Al-Sa>fi’iy, Ahmad bin ‘Ali bin H{ijr Abu> al-Fad{l al-‘Asqala>niy,Tahz{i>b al-Tahz{i>b, Juz XXVII, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1984), h. 499-507.
[16]Badri Khaeruman, Otentitas Hadis/Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 200. 
[17]Abustani Ilyas, Metode Kritik dikalangan Ilmu Hadis, (Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 204-207.
[18]Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis, (Cet. IV; Jakarta: Amzah, 2010), h. 261.
[20] Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Dosen, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003).
[21]Badri Khaeruman, Otentitas Hadis/Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.  200.
[22]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2013),  hlm. 294.
[22]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 264.
[23]Muhammad Ajjaj al-Khathib, h. 315.
[24]Abdul Majid Khon, Ulumul hadis, (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2013), h.  
[25]M.Abdurrahman dan Ehsan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Cet. I; Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 234.
 [26]Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 350.
[27] Badri Khaeruman, Otentitas Hadis/Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 202.
[28] Ah}mad ‘Umar Ha>syim, Maba>h}is\ fi al-Ha}di>s\ al-Syari>f, (Cet. II, Mesir; maktabah al-Syuru>q al-Dawliyah, 1431 H) h. 41.
[29]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Hadis Dirayah Hadis,  (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.  211-213.
[30]Zulmadi, Mengenal Kitab-kitab Hadis (Yogyakarta: Teras 2003), h. 71.
[31]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 265.
[32]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 257.
[33]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 269.
[34]Abd Wahid, Khasanah Kitab Hadis, (Banda Aceh Bekerja sama dengan AK-Group), (Yogyakarta: Ar-raini, Press, 2008), h. 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Translate

Pengikut

 
back to top