BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadis
Rasulullah saw. adalah salah satu dari dua sumber pokok ajaran Islam, dan salah
satu dari dua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Hadis Rasulullah
saw. jika dilihat dari sisi kodifikasinya, maka ia telah dibukukan sejak zaman
Rasulullah saw, akan tetapi masih bersifat personal, adapun kodifikasi hadis
yang bersifat umum dan resmi dengan mendapat perintah dari seorang khalifah
terjadi pada masa tabi‟in, tepatnya pada masa khalifah Umar
bin Abdil Aziz.
Banyak
opini yang menyebar di kalangan sebagian publik akademis bahwa hadis nabi
selama satu abad penuh belum ditulis dan masih berupa hafalan yang ditransfer
dari masa ke masa. Opini tersebut mungkin disebabkan perkataan sebagian Ulama
Hadis yang menyatakan bahwa yang pertama kali mengkodifikasi hadis adalah Ibn
Shihab al-Zuhri (w.124 H) setelah mendapat perintah dari Khalifah Umar bin Abdul
Aziz.
Opini
tersebut menyebar kira-kira 5 abad berturut-turut hingga datang masa Khatib
al-Baghdadi yang telah meneliti dan mengumpulkan data otentik dari fakta-fakta
yang ada, sehingga ia dapat menjelaskan kepada umat bahwa hadis Rasulullah saw.
telah dibukukan sejak zaman pertama hijriyah. Penelitian tersebut ia tuangkan
dalam bukunya yang berjudul “Taqyid al-Ilmi”.[1]
Pada
masa Rasulullah saw. hadis nabi telah ditulis, banyak fakta dan data yang
membuktikannya yang dapat kita rujuk dari berbagai catatan sejarah. Kemudian
datang generasi tabi‟in. Pada masa ini hadis dikodifikasikan
secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[2]
Kemudian
datang generasi tabi’ut tabi’in. Pada masa ini muncullah mushannafât
yang ditulis oleh para ulama zaman tersebut, seperti kitab Muwattha’, Sunan, Musannaf, Jami’[3] dan kitab-kitab Ajza’.
Pada
periode berikutnya, yaitu periode Tabi’ul Athba’ sekitar abad ke III H, pada periode
ini kitab-kitab hadis dibukukan dengan memiliki corak yang berbeda dengan
periode sebelumnya, diantaranya adalah kitab-kitab Jawami’ seperti al-Jâmi’ al-Shahîh karya Imam Bukhâri dan al-Jami’ karya Imam al-Tirmidzi, dan lain
sebagainya.
Dari
sekilas runtutan sejarah kodifikasi hadis di atas dapat diketahui posisi Shahîh
Muslim. Kitab ini termasuk kitab yang ditulis pada abad ke-3 H.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Imam Muslim?
2.
Bagamana sejarah dan latar belakang
penulisan kitab Sahih Muslim?
3.
Bagaimana metodologi dan sistematika
penyusunanan/penulisan Kitab Imam Muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam Muslim
1.
Imam Muslim
Nama lengkapnya adalah Imam Abu>
al H>{usain Muslim bin al-Hajja>j al-Qusyairi>y
al-Naisa>bu>ri>y[4](Bani
Qusyair adalah sebuah Kabilah Arab yang cukup dikenal).[5]
Beliau dilahirkan di Naisabur pada tahun 204 H/820 M, yaitu kota kecil yang
terletak di negara Iran.[6]
Sedangkan menurut al-Hafidz Ibnu al-Ba’i di dalam kitabnya ‘Ulamau
al-Anshari’, bahwa Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H dan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga berpendidikan yang haus akan ilmu hadis.
Akibat karakternya yang terbentuk dalam keluarga yang demikian itu, telah
mendorongnya menuntut ilmu. Imam Muslim wafat pada malam hari Ahad, dan
dikebumikan pada malam hari Senin, 5 hari sebelum berakhirnya bulan Rajab tahun
261 H di Naisabur (dalam usia 55 tahun). [7]
Sejak kecil beliau belajar hadis ke
beberapa guru[8]
di berbagai negara Islam, seperti Irak, Hijaz, Syiria, Mesir,[9]
termasuk Baghdad yang di kunjunginya dengan berulang-ulang, Imam Muslim belajar
pada beberapa ahli hadis termasuk kepada Imam Bukhari yang ketika itu datang ke
Baghdad dan terakhir beliau berkunjung pada tahun 259 H. Muslim dikenal pula
mempunyai daya hafal yang tinggi, di samping kemampuan dalam mengarang.[10]
Beliau salah seorang ahli hadis terkemuka dan murid al-Bukhari.[11]
Imam muslim pertama kali mendengar hadis pada tahun 218 H usianya ketika itu
sekitar 12 atau 14 tahun.[12]
Al-Zahabiy berkata: “Imam Muslim
adalah pedagang dan muhsin (dermawan) Naisabur. Ia memiliki banyak harta
kekayaan” dia juga salah seorang muhaddis, hafiz, yang terpercaya. Dan merupakan
saudagar yang beruntung, ramah dan memiliki reputasi tinggi. Beliau banyak
menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadis maupun ulama-ulama lainnya.
Beliau tidak fanatik dengan
pendapatnya sendiri, murah senyum, toleran dan tidak gengsi untuk menerima
pendapat atau kebenaran dari orang lain.
Imam muslim merupakan seorang tulang punggung
hadis. Al-Khalil berkata: “Popularitasnya jauh lebih besar dari
keutamaan-keutamaan yang disebutkan orang tentang beliau.[13]
An-Nawawi berkata: “Imam Muslim seorang
yang sangat berhati-hati, teguh pendirian, wara’ dan Makrifa.
Adapun guru Imam Muslim diantaranya
adalah: Imam Ahamad bin Hanbal, dan Abdullah Ibn Maslamah (Baghdad). Perjalanan
ke Baghdad di lakukan berualang-ulang. Sa’id Ibn Manshur, Abu Mus’ab (Hijaz) dan
lainnya. Amr Ibn Sawwad, Harmalah Ibn Yahya, Ishak Ibn Ruhawaih (Mesir) dan
lain-lain. Muhammad Ibn Mahran, Abu Ghassan, (Ray) dan lain-lain.[14]
Yang meriwayatkan darinya ialah,
Al-Turmudzy (meriwayatkan satu hadis
dari beliau), Ibrahim bin Ishak, Ibrahim bin Abi T>halib, Yahya bin Muhammad
bin Sha’id, Ali bin Isma’i, al-Shaffar, dan sekelompok lainnya.[15]
Hubungannya dengan beliau Al-Khatib
al-Baghdadiy berkata: “Imam Muslim menempuh cara Bukhariy, sehingga ia
mengetahui ilmunya dan mengikuti langkahnya. Ketika Imam Bukhari bermukim di
Naisabur pada penghujung usianya, Muslim senantiasa mendampingi dan berada di
belakangnya.
Ahmad bin Hamadun al-Qushar berkata:
Muslim al-Hajja>j datang kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan
mencium antara dua matanya seraya berkata: “Wahai tokoh guru dan penghulu para
ahli hadis, serta dokter penyakit-penyakit hadis, izinkanlah aku mencium kakimu”.
Ketika terjadi perselisihan pendapat
antara al-Zuhaliy dan Bukhari dalam masalah lafadz, al-Zukhaliy melarang orang
yang menuntut ilmu untuk menghadiri majlis Bukhari, sehingga Bukhari berhijrah
dan keluar dari Naisabur. Sehubungan dengan cobaan tersebut, maka sebagian
besar orang mengisolir diri dari Bukahri, kecuali Muslim. Muslim tidak berhenti
menziarahinya, sehingga Muhammad bin Yahya berkesimpulan bahwa Muslim bin
Hajja>j mengikuti aliran Bukhari, baik dulu maupun sekarang, dan ia dicela
atas sikap tersebut, baik di Irak maupun di Hijaz, dan ia tidak menarik
pendapatnya”.
Pada hari berlangsunya majelis
Muhammad bin Yahya, ia berkata di akhir pertemuannya: “Ketahuilah, barangsiapa
yang mengatakan tentang lafazh, maka tidak halal baginya menghadiri majelis
kami”. Lalu Muslim mengambil selendangnya dari sorbannya, Lalu berdiri di
depan hadirin dan keluar dari majelis. Selanjutnya ia mengumpulkan segala yang
ia pernah tulis di majelis Muhammad bin Yahya, kemudian mengirimnya dengan unta
ke pintu Muhammad bin Yahya.
2.
Kitab Karangannya
Imam Muslim merupakan salah seorang ulama
hadis besar. Ijma’ menyatakan keagungan dan ketokohannya. Ia memiliki sejumlah
karya, meskipun sejumlah besar telah hilang. Walaupun Ibn al-Nadim menyebutkan
sebagian karyanya, namun yang menjadi rujukan dalam mengetahui karya-karyanya
adalah al-hakim. Informasi-informasi yang datang setelah al-Hakim semuanya
merujuk secara keseluruhan kepada apa yang disebutkan al-Hakim. Berikut ini
dikemukakan karya-karyanya yang namanya diketahui dengan memperhatikan
urut-urutannya secara alfabel.
a.
Al-Asma’ wa al-Kunniy (Kitab ini terdiri atas empat jilid
yang diriwayatkan oleh Makkiy bin ‘Abdan dari muslim, diterbitkan oleh Da>r
al-Kutub al-Za>hiriyah di Damaskus).[16]
b.
Afra>d al-Sya>miyyi>n
c.
Kitab al-Aqra>n
d.
Kitab al-Intifa’ bi Ahab
al-Siba>’
al-Kuttaniy menamakannya dengan Kita>b
al-Intifa>’ bi Julu>d al-Siba>’
e.
Kitab Awla>d al-Shaha>bah
f.
Kitab Awha>m al-Muhaddis\i>n
g.
Kitab al-Ta>ri>kh
h.
Kitab al-Tamyi>z
i.
Al-jami’ ‘Ala> al-Abwa>b. Al-Hakim al-Naisaburiy berkata:
saya telah melihat sebagian dari kitab tersebut.
j.
Kitab Hadi>s\ ‘Amru bin Syu’aib
k.
Rija>l Urwah bin al-Zubair wa
Jama>’at min al-Tabi’i>na wa Gairihim
l.
Kitab Sua>la>t Ahmad bin
Hambal
m.
Al-Shahih al-Musnad, (merupakan karyanya terbesar dan
lebih populer dari apa yang ditulis dalam keadaan tergesa-gesa ini. ungkapan
bahwa: “kitab tersebut dalam jilid besar karya Muslim al-Hajjaj yang berisi
tentang riwayat sahabat-sahabat Rasulullah saw. dan para tabi’in).
n.
Kitab al-‘Ilal
o.
Kita>b al-Musya>rikh
al-Tsauriy
p.
Kitab al-Masyayikh al-Syu’bah
q.
Kita>b al-Masya>yikh Ma>lik
s.
Kita>b al-Mukhadrami>n
B. Seting
Sosial Setting Sosial-Politik
Imam Muslim hidup pada masa Daulah
Abbasiyah, khususnya masa Daulah Abbasiyah II yaitu masa Khalifah al Mutawakkil
(232 H/847 M). Pada masa Abbasiyah keadaan politik dan militer mengalami
kemerosotan sementara ilmu pengetahuan semakin berkembang termasuk dalam bidang
hadis. Namun, perkembangan ilmu hadis sedikit terganggu terutama pada masa
Khalifah al Makmun hingga al Wasiq. Barulah pada masa al Mutawakkil, ulama
hadis mulai mendapat angin segar karena khalifah ini memiliki kepedulian kepada
al Sunnah.
Seiring dengan perkembangan hadis yang semakin pesat, ternyata pemalsuan hadis yang semakin merajalela pun tak dapat dihindari.[19]
Seiring dengan perkembangan hadis yang semakin pesat, ternyata pemalsuan hadis yang semakin merajalela pun tak dapat dihindari.[19]
Pada masa seperti inilah, mulai
bermunculan ulama hadis yang giat belajar, mencari, dan menyeleksi hadis serta
mengumpulkannya termasuk Imam Muslim.
Setidaknya ada dua alasan yang melatar belakangi
penyusunan kitab hadis oleh Imam Muslim, yakni:
1. Karena pada masanya masih sangat sulit mencari
referensi koleksi hadis yang memuat hadis-hadis shahih dengan kandungan yang
relative komprehensif dan sistematis.
2. Karena pada masanya terdapat kaum Zindiq yang selalu
berusaha membuat dan menyebarkan sejumlah cerita (hadis) palsu, dan mencampur
adukkan antara hadis-hadis yang shahih dan yang tidak. Jadi, jika memperhatikan
periodisasi sejarah dan perkembangan hadis, dapat dinyatakan bahwa kitab Shahih
Muslim muncul pada periode kelima (abad ke 3 H) yaitu masa pemurnian,
penyehatan, dan penyempurnaan hadis (‘Asr al-Tajrid wa al-Tashih wa al-Tanqih).[20]
C. Kitab
Shahih Muslim
Nama
lengkap kitab hadis karya Imam Muslim diberi nama al-Musnad al-Shahih
al-Mukhtasar min al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah saw,
namun lebih dikenal dengan Jami al-Sahih atau Sahih Muslim. Yang ia
tulis selama 12 tahun,[21]
dan aadapula yang mengatakan 15 tahun.[22]
Ketika menyusun kitabnya Imam Muslim berkata:
“Tidaklah aku letakkan sesuatu
dalam kitabku ini, kecuali dengan hujjah, dan tidaklah aku menggugurkannnya,
kecuali dengan hujjah pula. Tidak ada sesuatu pun yang menurutku sahih kecuali
aku meletakkannya berdasarkan kesepakatan (atas kesahihannya).[23]
Adapun
mengenai jumlah hadis pada kitab ini, terdapat pendapat yang berbeda-beda. Ada
yang mengatakan 4.000 hadis yang merupakan hasil penyeleksian dari 12.000 buah
hadis yang dihitung secara terulang-ulang, atau pendapat lain sebanyak 7.275
buah hadis secara terulang-ulang, dan 5632 hadis. Menurut Fuat Abdul Baqi
sebanyak 3.033 buah hadis tanpa diulang.[24]
Secara eksplisit Dr. Ajjaj al Khatib menyatakan bahwa
jumlah hadis pada kitab ini ada 3030 hadis dengan tidak termasuk hadis yang di
ulang-ulang, adapun jika termasuk yang terulang maka berjumlah sekitar 10.000
hadis dari hadis yang beliau ketahui dan hafalnya sebanyak 300.000 hadis.[25]
Imam Muslim sangat bangga akan kitab Shahih-nya, mengingat jerih-payah
yang telah ia curahkan ketika mengumpulkannya. Ia menyusunnya dari 300.000
hadis yang ia dengar. Oleh karena itu, ia berkata: “Andaikata para ahli
hadis selama 200 tahun menulis hadis, maka poros mereka adalah “al-Musnad” ini (yakni
kitab Shahih-nya).[26]
Perbedaan penghitungan tersebut
terjadi karena ada yang menghitung dengan hadis yang terulang-ulang dan ada
pula yang tidak.
Penyebaran kitab Shahih Muslim ini pada mulanya menggunakan model diperdengarkan kepada kaum muslimin secara garis besar, penyebaran atau periwayatannya melalui dua jalur, ke arah timur melalui jalur Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, dan kearah barat melalui Abu Muhammad Ahmad bin Ali.
Penyebaran kitab Shahih Muslim ini pada mulanya menggunakan model diperdengarkan kepada kaum muslimin secara garis besar, penyebaran atau periwayatannya melalui dua jalur, ke arah timur melalui jalur Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, dan kearah barat melalui Abu Muhammad Ahmad bin Ali.
Sama seperti Shahih al-Bukhari, para
ulama juga menulis Syarh dan Mukhtashar untuk kitab Shahih Muslim, di antara
kitab-kitab syarah itu adalah:
1.
Al- Al-Mu’lim bi Fawaidi Kitab
Muslim karya Abu ‘Abdillah bin ‘Ali al-Mazari (w. 536 H/1141 M).
2.
Ikmal al-Mu’lim fi Syarh Shahih
Muslim tulisan
Qadli ‘Iyadl bin Musa al-Yahshabi al-Maliki (w. 544 H/1149 M).
3.
Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim karya Imam al Hafiz Abu Zakaria
Muhyiddin bin Syaraf al Nawawi asy Syafi’i/al-Nawawi (w. 676 H/1244 M).
4.
Ikmalu Ikmal al-Mu’allim karya Imam Abu Abdullah Muhammad bin
Khalifah al-Wasyayani al-Maliki (w. 837 H/1433 M).
5.
Syarah karya Imam Abu Abdullah
Muhammad bin Yusuf al-Sanusi al-Hasani (w. 895 H/1490 M).
Sedangkan kitab-kitab ringkasan
(mukhtashar) Shahih Muslim antara lain:
1.
Mukhtashar oleh al-Syeikh Abi ‘Abdillah Syarf
al-Din bin ‘Abdillah al-Mursi (w. 656 H/1226 M).
2.
al-Mufham li Ma Asykala min
Talkhishi Shahih Muslim oleh Imam al-Qurthubi. (w. 656 H/ 1226 M)
3.
Mukhtashar oleh Imam al-Mundziri (w.
606 H/1226 M).
Adapun kitab-kitab indeks sebagai
pedoman untuk memudahkan untuk mencari hadis dalam kitab Shahih Muslim antara
lain:
1.
Miftah Shahih Muslim karya Saykh
Muhammad Syarif bin Mustafa al-Tuqadi.
2.
Indeks karya Syaikh Muhammad Fuad
‘abd al-Baqi.[27]
D. Metodologi
dan Sistematika Penyusunanan Kitab Shahih Muslim
Pokok pembahasan kitab Al-Jami’u
al-shalih karya Imam Muslim ialah hadis-hadis shahih yang berpusat pada
Rasulullah saw. saja. Metode dan sistematika penyusunannya sama seperti yang
digunakan al-Bukhari, beliau mengumpulkan hadis-hadis yang tersusun dari
perkataan sahabat dan fatwa-fatwa para tabi’in dalam hal menghimpun hadis-hadis
shahih saja, yang kemudian disusunnya sesuai dengan bab-bab ilmu, baik mengenai
persoalan fiqih maupun khilafah. Bedanya, dia banyak meringkas hadis-hadis yang
musnad, tanpa menyebutkan yang mauquf, kecuali sedikit sekali, dan dalam
sistematika penyusunannya, dia tidak menyebutkan judul-judul bab sebagaimana
yang dibuat oleh Ima>m Bukha>ri.[28]
Adanya judul-judul bab itu dibuat oleh orang-orang yang mensyarahi kitabnya. Di
antara susunan judul-judul bab yang dibuat dalam Shahih Muslim yang
paling baik ialah yang dibuat oleh Imam Muslim Muhyiddin Abu Zakariya Yahya
al-Nawawi.
Imam Nawawi berkata, “Bahwasanya
Imam Muslim pada dasarnya telah menyusun kitabnya secara tertib menurut bab per
bab, hanya saja tidak menyebutkan judul-judul babnya, hal itu dimaksudkan untuk
menghindari ketebalan kitabnya, atau karena ada alasan lain. “Selanjutanya,
Imam al-Nawawi berkata, “Bahwa segolongan ulama telah membuat judul-judul bab
dalam kitab Shahih Muslim dengan
baik, dan ada juga yang membuatnya kurang baik. Hal itu barangkali disebabkan oleh
kurangnya perbendaharaan kata, atau tidak ditemukan kata yang relefantif yang
bisa digunakan untuk judul-judul bab itu, atau mungkin oleh sebab lain. Meskipun
demikian, insya Allah akan berusaha membuat judul-judul bab dengan bahasa yang
kadar relefantifnya cukup kuat dan sesuai dengan kandungannya”.
Imam Nawawi dalan kitab syarah
Shahih Muslim.
Kitab ini dibuat dengan sistematika seperti model kitab sunan , yaitu kitab yang berjumlah 54 kitab dengan 3450 bab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, karena fikih sangat dominan pada masa itu. Urutan kitab nya dimulai dari kitab imana, ibadah, muamalah, jihad, makanan dan minuman, pakaian, adab dan keutamaan-keutamaan serta diakhiri dengan kitab tafsir. Dari sistematika tersebut, terlihat bahwa Imam Muslim menggunakan beberapa hal yang agak berbeda dengan sistematika kitab sunan, yaitu ia memisahkan kitab sfat al-munafiq dari kitab al iman, kitab al ‘ilm ditempatkan pada posisi akhir, hadis-hadis tentang adab diperinci menjadi beberapa kitab. Selain kitab al-adab, ada pula kitab al-salam, padahal dapat dimasukkan dalam kitab al-adab juga. Ada pula kitab al-birr wa al-silah wa al-adab.
Kitab ini dibuat dengan sistematika seperti model kitab sunan , yaitu kitab yang berjumlah 54 kitab dengan 3450 bab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, karena fikih sangat dominan pada masa itu. Urutan kitab nya dimulai dari kitab imana, ibadah, muamalah, jihad, makanan dan minuman, pakaian, adab dan keutamaan-keutamaan serta diakhiri dengan kitab tafsir. Dari sistematika tersebut, terlihat bahwa Imam Muslim menggunakan beberapa hal yang agak berbeda dengan sistematika kitab sunan, yaitu ia memisahkan kitab sfat al-munafiq dari kitab al iman, kitab al ‘ilm ditempatkan pada posisi akhir, hadis-hadis tentang adab diperinci menjadi beberapa kitab. Selain kitab al-adab, ada pula kitab al-salam, padahal dapat dimasukkan dalam kitab al-adab juga. Ada pula kitab al-birr wa al-silah wa al-adab.
Untuk mengetahui isi dan sistematika
kitab Shahih Muslim secara rinci berikut ini suatu rincian dalam bentuk tabel
yang di dalamnya terdapat nama-nama kitab (khusus bagian) jumlah bab dan hadis
dalam tiap-tiap kitabnya.
|
Muslim hanya memberikan judul
kitabnya, sedang judul bab menurut materi-materi hadis, diberikan oleh
pensyarah shahihnya. Maka apabila dikatakan, H.R Muslim 10:15, maksuudnya
ialah: hadis itu diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab kesepuluh, bab ke-lima
belas.[29]
E.
Keistimewaan Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim setelah menuliskan
pendahuluan dalam kitabnya, langsung menyebutkan hadis-hadis yang menjadi pokok
pembahasan. Dan atas dasar itu, dia telah membuat satu sistem yang lain dari
sistem yang digunakan al-Bukhari, di mana dalam Shahih al-Bukhari terlebih
dahulu dikemukakan abstaks hukum yang diiterpretasikan, potongan-potongan
hadis, dan judul-judul bab.
Imam Nawawi telah membuat satu pasal
tersendiri mengenai keistimewaan-keistimewaan kitab Shahih Muslim. Dia
berkata, ”Diantara keistimewaan karya Imam Muslim ialah bahwa dia membedakan
secara tegas dan jelas antara penggunaaan ungkapan اخبرنا dengan
ungkapan حدثنا di mana
perbedaan itu diaplikasikannya pula terhadap gurunya dalam meriwayatkan.[30]
Perbedaan-perbedaan yang dibuatnya ini merupakan metode yang paling istimewa dalam alirannya. Kata حدثنا tidak boleh
digunakan kecuali jika seorang rawi dalam kondisi berperan pasif. Artinya, rawi
itu hanya mendengar dari gurunya. Tidak membaca di depannya secara saksama.
Sedang kata اخبرنا digunakan
dalam kondisi rawi berperan aktif. Artinya, rawi itu membaca di depan gurunya
dengan didengarkan oleh gurunya itu secara seksama. Perbedaan penggunaan
istilah tersebut juga merupakan metode al-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya. Serta
kebanyak ahli-ahli ilmu dari negara-negara timur.[31]
Menurut sebagian ulama, jika rawi
itu berperan aktif, boleh menggunakan اخبرنا, atau kata حدثنا. Artinya, dalam hal rawi berperan aktif, mereka tidak
membedakan penggunaan kedua kata tersebut.
Di antara keistimewaan lain Imam
Muslim ialah ketelitiannya dalam memperhatikan lafadz hadis yang disampaikan
oleh rawi-rawi. Hal itu dapat diketahui melalui melalui ungkapannya dalam
meriwayatkan hadis. Seperti dia mengucapkan, حدثنا
فلانن و فلانن و لفذ لفلانن (telah
menceritakan kepadaku si Fulan dan si Fulan, sedang lafadz hadis adalah menurut
lafadz si Fulan ini). Juga ketelitiannya dalam memperhatikan perbedaan huruf
pada matan hadis, jika antara si Fulan dengan si Fulan ada perbedaan huruf.
Atau, perbedaan dalam sifat-sifat, nisbat-nisbat rawi, perbedaan lafal yang
diungkapkan perawi seperti حدثنا dan اخبرنا, maka beliau akan menjelaskannya, dan lain sebagainya. Jika
terjadi kondisi yang demikian, dia segera menjelaskan perbedaan-perbedaan itu,
meskipun perbedaan-perbedaan itu kadang tidak menimbulkan perubahan yang
signifikan. Atau, kadang menimbulkan perubahan arti, dan ini secara visual
sangat samar dan sulit diidentifikasi, kecuali oleh mereka yang memiliki
kecermatan dan ketelitian yang tinggi dalam ilmu fiqih dan mazhab-mazhabnya.
Keistimewaannya yang lain ialah
sistematika penulisannya yang kronologis, di mana jalinan hadis-hadisnya
memberikan kesan pembacanya untuk lebih mendalami pembahasan. Dan yang demikian
ini menunjukkan kesempurnaan pengetahuannya secara detail dalam mengaplikasikan
hadis pada objek pembahasan, rincian ilmu, pokok-pokok kaedah, kesamaran ilmu
sanad, derajat para rawi, dan lain sebgainya.
Imam Muslim tidak melakukan
pemotongan hadis di dalam kitab shahihnya sesuai dengan bab-babnya, sebagaimana
yang dilakukan oleh al-Bukhari. Tetapi,
dia meriwayatkan hadis itu secara lengkap dan utuh tanpa dibagi-bagi dengan
sanadnya yang berbeda-beda.
Di dalam kitab Tah{zi>b,
Imam Nawawi dan al-Syuyuthi mengatakan, “Bahwasanya Imam Muslim mempunyai
keistimewaan tersendiri, Metode yang digunakan Imam Muslim dalam menyusun kitab
ini yakni dengan menghimpun matan-matan hadis yang senada atau satu tema
lengkap dengan sanadnya pada satu tempat, tidak memisahkan dalam beberapa bab
yang berbeda, serta tidak mengulang-ulang penyebutan hadis kecuali dalam jumlah
sedikit karena ada kepentingan yang mendesak yang menghendaki adanya
pengulangan.[32]
Berbeda dengan al-Bukhari, dia telah memutus
lafadz-lafadz hadis dengan sanadnya yang berbeda-beda dalam bab-babnya dengan
maksud mengambil hukum-hukum dari hadis-hadis itu sesuai dengan ijtihadnya.
Di dalam pendahuluan kitab Syarah
Muslim, Imam al-Nawawi berkata, “Bahwasanya hanya Imam Muslim yang memiliki
kaedah yang baik dalam sistematika penyusunannya, sehingga orang bisa
memperoleh hadis yang dikehendakinya, karena dia telah menempatkan hadis pada
proporsi yang sebenarnya. Dia menghimpun dan menyebutkan semua sanad hadis yang
dianggapnya shahih dari sanad yang berbeda-beda, sehingga memudahkan orang yang
mencari hadis untuk meneliti secara detail terhadap sisi-sisi hadis itu. Dan
yang demikian itu secara psikologis memengaruhi tingkat kepercayaan orang yang
membacanya terhadap semua hadis yang disampaikan dengan sanad-sanadnya itu.
Berbeda dengan al-Bukhari, dia
menyebutkan secara detail sisi yang berbeda suatu hadis dalam bab yang
berbeda-beda, bahkan banyak pula penyebutan hadis dalam bab yang tidak
proporsinya, sehingga kadang bisa menimbulkan pemahaman yang keliru orang yang
membacanya. Tetapi, yang demikian itu menunjukkan tingkat ketelitian dan
kapabilitas pemahaman al-Bukhari terhadap hadis-hadis ini, sehingga orang yang
membacanya akan mengalami kesulitan untuk memindahkan dan mengumpulkan
sanad-sanad hadis itu, serta kesulitan pula untuk mendapatkan seluruh hadis
yang disebutkannya dari sanad-sanadnya.
Ibn Hajar berkata perbedaan metode
dan sistimatika penysunan antara keduanya itu tidak perlu dipertentangkan mana
diantara keduanya yang paling utama, karena masing-masing memiliki keutamaan
dari sisi yang berbeda, sebagaimana pernyataan seorang ulama dalam syairnya:
“Orang yang berbeda pendapat
terhadap al-Bukahri dan Muslim, siapa diantara keduanya yang paling utama, maka
aku berpendapat, jika Al-Bukahri lebih utama, itu dari segi kesahihan hadisnya,
dan jika Muslim lebih utama, itu dari segi sistem penyusunannya.[33]
Para ulama menyimpulkan bahwa syarat
yang digunakan Imam Muslim dalam kitabnya yaitu: (1) hanya meriwayatkan hadis
dari periwayat yang ‘adil dan dhabit (kuat hafalan dan daya ingatnya), dapat
dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah, dan (2) hanya meriwayatkan
hadis-hadis yang musnad (lengkap sanadnya), muttashil (sambung-menyambung
sanadnya) dan marfu’ (disandarkan kepada Nabi saw.). Beliau tidak meriwayatkan
hadis yang mauquf dan mu’allaq.
Dalam syarahnya Imam Nawawi
mengemukakan keterangan Imam Muslim dalam muqaddimah kitabnya mengenai syarat
yang dipakai dalam kitab Shahihnya. Beliau mengategorikan hadis kepada tiga
macam, yaitu:
1. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang ‘adil dan dhabit
2. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang tidak diketahui keadaannya (mastur) dan kekuatan hafalan/ingatannya sedang-sedang saja
3. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang lemah (hafalannya), dan para periwayat yang hadisnya ditinggalkan orang.
1. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang ‘adil dan dhabit
2. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang tidak diketahui keadaannya (mastur) dan kekuatan hafalan/ingatannya sedang-sedang saja
3. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang lemah (hafalannya), dan para periwayat yang hadisnya ditinggalkan orang.
Dari ketiga kategori tersebut,
apabila Imam Muslim telah selesai meriwayatkan hadis kategori pertama, beliau
senantiasa menyertakan hadis kategori kedua, sedangkan hadis kategori ketiga,
beliau tidak meriwayatkannya. Setelah selesai membukukan kitabnya, Imam Muslim
memperlihatkan kitabnya kepada para pakar hadis terkemuka yaitu seorang huffaz
Makki bin Abdan dari Naisabur. Ia berkata: “Saya mendengar Muslim berkata: “Aku
perlihatkan kitabku ini kepada Abu Zur’ah al-Razi. Semua hadis yang
diisyaratkan al-Razi ada kelemahannya, aku meninggalkannya. Dan semua hadis
yang dikatakannya shahih, itulah yang kuriwayatkan. Ini menunjukkan kerendahan
hatinya.
Imam Muslim pun sangat berhati-hati dalam memilih atau menyeleksi hadis. Ia senantiasa berdasar pada argumen yang jelas Beliau pernah menuturkan, “Aku tidak mencantumkan satu hadis pun ke dalam kitab ini melainkan ada alasannya. Dan aku tidak menggugurkan satu hadis pun melainkan karena ada alasannya.”
Imam Muslim pun sangat berhati-hati dalam memilih atau menyeleksi hadis. Ia senantiasa berdasar pada argumen yang jelas Beliau pernah menuturkan, “Aku tidak mencantumkan satu hadis pun ke dalam kitab ini melainkan ada alasannya. Dan aku tidak menggugurkan satu hadis pun melainkan karena ada alasannya.”
E. Penilaian
terhadap Shahih Muslim dan Nilai Hadis-hadisnya
Menurut para ulama ahli hadis, kitab
ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya: (1) susunan isinya sangat tertib
dan sistematis, (2) pemilihan redaksi (matan) hadisnya sangat teliti dan
cermat, (3) seleksi dan akumulasi sanadnya sangat teliti, tidak tertukar-tukar,
tidak lebih dan tidak kurang, (4) penempatan dan pengelompokan hadis-hadis ke
dalam tema atau tempat tertentu, sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan
penyebutan hadis.[34]
Para ulama menilai bahwa Shahih
Muslim sebagaimana Shahih Bukhari merupakan dua kitab ko leksi hadis yang
paling shahih di antara kitab-kitab hadis lainnya. Adapun nilai hadis yang
terdapat dalam kitab ini umumnya berkualitas shahih atau dinilai shahih oleh
sebagian besar ulama hadis.
Para ulama hadis umumnya menilai bahwa kualitas hadis dalam kitab ini menempati posisi kedua setelah kitab Shahih al Bukhari. Hal ini karena kriteria seleksi keshahihan hadis yang dipakai oleh Imam Muslim lebih longgar daripada yang dipakai oleh Imam Al-Bukhari. Jika Imam Al-Bukhati mensyaratkan pertemuan antara guru dan murid bagi hadis dalam kitabnya, maka Imam Muslim dapat menerima periwayatan hadis asalkan guru dan murid tersebut pernah hidup dalam satu masa tertentu, tanpa harus pernah bertemu.
Akan tetapi, walaupun hadis-hadis dalam kitab ini dinilai shahih, terdapat sejumlah hadis yang dikritik terutama berkaitan dengan matan atau teks hadis.
Para ulama hadis umumnya menilai bahwa kualitas hadis dalam kitab ini menempati posisi kedua setelah kitab Shahih al Bukhari. Hal ini karena kriteria seleksi keshahihan hadis yang dipakai oleh Imam Muslim lebih longgar daripada yang dipakai oleh Imam Al-Bukhari. Jika Imam Al-Bukhati mensyaratkan pertemuan antara guru dan murid bagi hadis dalam kitabnya, maka Imam Muslim dapat menerima periwayatan hadis asalkan guru dan murid tersebut pernah hidup dalam satu masa tertentu, tanpa harus pernah bertemu.
Akan tetapi, walaupun hadis-hadis dalam kitab ini dinilai shahih, terdapat sejumlah hadis yang dikritik terutama berkaitan dengan matan atau teks hadis.
BAB III
PENUTUP
1.
Nama lengkapnya adalah Imam Abu>
al H>{usain Muslim bin al-Hajja>j al-Qusyairi>y
al-Naisa>bu>ri>y, lahir di Naisabur pada tahun 204 H/820 M. Dan ada
pula yang mengatakan pada tahun 206 H, Sejak kecil beliau belajar hadis ke
beberapa guru, beliau pertama kali mendengar hadis pada usia 12 atau 14 tahun. Muslim
dikenal pula mempunyai daya hafal yang tinggi, di samping kemampuan dalam
mengarang. Beliau salah seorang ahli hadis terkemuka dan murid al-Bukhari.
wafat pada malam hari Ahad, dan dikebumikan pada malam hari Senin, 5 hari
sebelum berakhirnya bulan Rajab tahun 261 H di Naisabur dalam usia 55 tahun.
2.
Imam Muslim menyusun kiabnya dengan
beberapa sub bagian, dengan jumlah kitabnya 54 kitab dengan 3450 bab yang
disusun berdasarkan bab-bab fikih, karena fikih sangat dominan pada masa itu. Alasan
pembukuan hadisnya, (1) karena pada masanya masih sangat sulit mencari
referensi koleksi hadis yang memuat hadis-hadis shahih dengan kandungan yang
relative komprehensif dan sistematis. (2) Karena pada masanya terdapat kaum
Zindiq yang selalu berusaha membuat dan menyebarkan sejumlah cerita (hadis)
palsu, dan mencampur adukkan antara hadis-hadis yang shahih dan yang tidak.
3.
syarat yang digunakan Imam Muslim
dalam kitabnya yaitu: (1) hanya meriwayatkan hadis dari periwayat yang ‘adil
dan dhabit (kuat hafalan dan daya ingatnya), dapat dipertanggungjawabkan
kejujurannya, serta amanah, dan (2) hanya meriwayatkan hadis-hadis yang musnad
(lengkap sanadnya), muttashil (sambung-menyambung sanadnya) dan marfu’
(disandarkan kepada Nabi saw.). Beliau tidak meriwayatkan hadis yang mauquf dan
mu’allaq. Kemudian Jika Imam al Bukhati mensyaratkan pertemuan antara guru dan
murid bagi hadis dalam kitabnya, maka Imam Muslim dapat menerima periwayatan
hadis asalkan guru dan murid tersebut pernah hidup dalam satu masa tertentu,
tanpa harus pernah bertemu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhâri, Muhammad bin Ismail. Al-Ja>mi’
al-Shahih, Tahqiq Mustafa Dieb Bugha, Jilid I. Beirut: Dâr al-Ibnu Katsir.
1987.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Cet.
III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Al-Nawawi. Muqaddimah
Syarah Hadis.
Al-Nawawi>y, Abu>
Zakariyya> Mah{yiy al-Di>n bin Sya>rif. Tahz{i>b al-Asma>’
Walluga>t. Juz II, (t.dt).
Al-Sa>fi’iy. Ahmad bin ‘Ali bin H{ijr Abu> al-Fad{l
al-‘Asqala>niy. Tahz{i>b al-Tahz{i>b. Beirut: Da>r al-Fikr.
1984. Juz XXVII.
al-Umary, Akram Dhiya’. Buhu>s
fi Ta>rikh al-Sunan al Musyarrafah. Madinah; Maktabat al-Ulu>m wa
al-Hikam, 1994.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi Pokok-Pokok Ilmu Hadis Dirayah
Hadis. Cet. VII; Jakarta: Bulan
Bintang. 1987.
As-shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Cet.
I; Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993.
Ha>syim, Ah}mad
‘Umar. Maba>h}is\ fi al-Ha}di>s\ al-Syari>f, Cet. II; Mesir: Maktabah
al-Syuru>q al-Dawliyah. 1431 H.
Ilyas, Abustani. Metode Kritik dikalangan Ilmu Hadis. Cet
I; Makassar: Alauddin University Press. 2012. Lihat juga Abu Ya’la>. Tabaqat
al- Hana>bilah. Jilid I.
Khaeruman, Badri Otentitas Hadis (Studi Kritis Atas
Kajian Hadis Kontemporer). Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2004.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. II; Jakarta:
Amzah. 2013.
Matar, al-Zahrani Muhammad bin Tadwi>nus Sunnah.
Nasy’atuh wa Tat}awwuruh, Thaif; Maktabah al-Shiddiq. 1412
H.
--------------------Metode Kritik dikalangan
Ilmu Hadis. Cet I; Makassar: Alauddin University Press. 2
Sumarna, M.Abdurrahman dan Ehsan. Metode Kritik Hadis.
Cet. I; Bandung; PT Remaja Rosdakarya. 2011.
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta. Dosen. Studi
Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras. 2003.
Tariq Baghdad. Jilid XIII.
Wahid, Abd. Khasanah
Kitab Hadis. (Banda Aceh Bekerja sama dengan AK-Group). Yogyakarta:
Ar-raini. Press. 2008.
[1]Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadw>nus
Sunnah, Nasy’atuh wa Tathawwuruh, (Thaif; Maktabah al-Shiddiq, 1412
H), h. 72.
[2]Muhammad bin Ismail al-Bukha>ri, Al
Ja>mi’ al-Shahih, Tahqiq DR. Mustafa Dieb Bugha,
Jilid 1, (Beirut: Da>r al-Ibnu Katsir, 1987), h. 54.
[3]Akram Dhiya’ al-Umary, Buhu>s fi
Ta>rikh al-Sunan al-Musyarrafah, (Madinah: Maktabat al-Ulu>m wa al-Hikam,
1994), h. 301.
[4]Abu>
Zakariyya> Mah{yiy al-Di>n bin Sya>rif al-Nawawi>y,Tahz{i>b
al-Asma>’ Walluga>t, Juz II,
(t.dt), hlm. 109.
[5]Subhi Ash-Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 349.
[6]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,
(Cet. II; Jakarta: Amzah, 2013), hlm.
294.
[7]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu
Ushul Hadis, (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 263.
[8]Abu>
Zakariyya> Mah{yiy al-Di>n bin Sya>rif al-Nawawi>y,Tahz{i>b
al-Asma>’ Walluga>t, Juz II,
(t.dt), hlm. 109.
[10]Badri Khaeruman, Otentitas
Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer), (Cet. I; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 202.
[12]Abustani Ilyas, Metode Kritik
dikalangan Ilmu Hadis, (Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2012),
h. 201. Lihat juga Abu Ya’la>, Tabaqat
al- Hana>bilah, Jilid I, h. 337.
[13]Abustani Ilyas, Metode Kritik
dikalangan Ilmu Hadis, (Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2012),
h. 202.
[14]Badri Khaeruman, Otentitas
Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer), (Cet. I; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 200.
[15]Al-Sa>fi’iy, Ahmad bin ‘Ali bin
H{ijr Abu> al-Fad{l al-‘Asqala>niy,Tahz{i>b al-Tahz{i>b, Juz
XXVII, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1984), h. 499-507.
[16]Badri Khaeruman, Otentitas
Hadis/Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Cet. I; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 200.
[17]Abustani Ilyas, Metode Kritik
dikalangan Ilmu Hadis, (Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2012),
h. 204-207.
[18]Abdul Majid Khan, Ulumul
Hadis, (Cet. IV; Jakarta: Amzah, 2010), h. 261.
[20] Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Dosen, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta:
Teras, 2003).
[21]Badri Khaeruman, Otentitas
Hadis/Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Cet. I; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 200.
[22]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,
(Cet. II; Jakarta: Amzah, 2013), hlm.
294.
[22]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu
Ushul Hadis (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 264.
[23]Muhammad Ajjaj al-Khathib, h.
315.
[24]Abdul Majid Khon, Ulumul
hadis, (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2013), h.
[25]M.Abdurrahman dan Ehsan Sumarna,
Metode Kritik Hadis, (Cet. I; Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2011), h.
234.
[27] Badri Khaeruman, Otentitas
Hadis/Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Cet. I; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 202.
[28] Ah}mad ‘Umar Ha>syim, Maba>h}is\
fi al-Ha}di>s\ al-Syari>f, (Cet. II, Mesir; maktabah al-Syuru>q
al-Dawliyah, 1431 H) h. 41.
[29]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok
Ilmu Hadis Dirayah Hadis, (Cet. VII;
Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.
211-213.
[30]Zulmadi, Mengenal Kitab-kitab
Hadis (Yogyakarta: Teras 2003), h. 71.
[31]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu
Ushul Hadis, (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 265.
[32]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu
Ushul Hadis, (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 257.
[33]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu
Ushul Hadis, (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 269.
[34]Abd Wahid, Khasanah Kitab
Hadis, (Banda Aceh Bekerja sama dengan AK-Group), (Yogyakarta: Ar-raini,
Press, 2008), h. 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar