Jumat, 16 Desember 2016

Makalah : Tahammul al- Hadis dan Ada' al-hadis

Tidak ada komentar:


BAB I
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tah}ammul al-H}adi>s\ dan Ada>' al-H}adi>s\
hadis yang termaktub dalam kitab-kitab hadis, misalnya S}ahi>h al-Bukho>ri>, S}ahi>h Muslim, Sunan Abi> Da>ud, Sunan at-Turmu>zi>, Sunan Ibnu Ma>jah} dan Musnad al-Imam Ah}mad Ibn H}ambal adalah hasil dari proses kegiatan yang diberi nama periwayatan.[1]
Secara etimologi, al-Riwa>yah (periwayatan).[2] Berarti, "kabar, berita, kisah, cerita, keterangan , penjelasan." Adapula yang mengartikan, “menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain”.[3] Sedangkan yang dimaksud periwayatan adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian serta penyandarannya kepada rangkaian periwayatan periwayatannya (sanadnya) dengan bentuk-bentuk tertentu.
Secara etimologi, tah}ammul merupakan masdar dari fi'il mad}i  tah}mala (تحمل-يتحمل-تحمل) yang mempunyai arti menaggung, membawa, dan menerima, juga dapat bermakna “sesuatu yang diperbincangkan secara terus-menerus”.[4] Berarti tah}ammul al-h}adi>s\ menurut bahasa adalah menerima hadis atau menanggung hadis. Sedangkan tah}ammul al-ha>di>s\ menurut istilah ulama ahli hadis, sebagaimana tertulis dalam kitab Taisi>r Must}alah H}adi>s\ adalah Tah}ammul artinya menerima hadis dan mengambilnya dari para Syaikh atau guru."
اتحمل:معناه تلقي الحديث واخذه عن الشيوخ

Sedangkan pengertian ada>’ secara etimologi merupakan asal kata dari ( يؤدى اداء ادى) yang berarti menyerap sesuatu dari sesuatu atau pemberian yang melahirkan keindahan.[5] Secara terminelogi adalah
الاداء: رواية الحديث واعطاؤه الطلاب
"meriwayatkan hadis dan memberikannya pada para murid."
            Ulama hadis sejak dahulu telah menjelaskan bagaimana hadis itu bisa didapat oleh seorang rawi dari gurunya, syarat-ayarat apa saja yang harus dipenuhi oleh orang yang mendengar hadis dan menyampaikannya kembali, serta lafadz yang digunakan dalam menyampaikan hadis
            Hal ini tidak lain untuk memastikan bersambungnya hadis sampai kepada Nabi saw., sehingga akan hilang keraguan dalam diri dan yakin bahwa suatu hadis benar-benar datang dari Nabi saw. Hal itu menunjukkan bahwa begitu telitinya ulama hadis dalam menyeleksi kebenaran datangnya suatu hadis.  
1.      Syarat-syarat Tah}ammulul h}adi>s\
1)      Penerima harus d}abit
2)      Berakal sempurna
3)      Tamyi>z
Syarat yang pertama perawi dalam tah}ammul al-h}adi>s\ adalah tamyi>z. Menurut al-H}a>fidz Musa bin Ha>run al-H}amal seorang anak disebut tamyi>z  jika sudah mampu untuk membedakan antara Sapi dan Khimar. Menurut Imam Ah}mad, ukuran tamyi>z  adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Adapun juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyi>z  adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.
Jumhur ulama hadis memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyi>z. Untuk batasan minimal seseorang bias dikatakan tamyi>z  dalam hal ini ulama hadis pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia lima tahun atau sepuluh tahun, atau berusia dua puluh tahun, bahkan ada yang mengatakan minimal berusia tiga puluh tahun.
Beberapa ulama hadis masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadis, mayoritas ulama hadis menganggap mereka boleh menerima riwayat hadis, sementara yang lain berpendapat bahwa hadis yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan oleh jumhur ulama dikarenakan banyak para sahabat atau tabi'in yang menerima hadis yang diriwayatkan oleh H}asan, H}usein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dan lain-lain. Tanpa membedakan mana hadis yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
2.      Sedangkan syarat-syarat ada>' al-h}adi>s\ yaitu:
1)      Islam
Pada waktu periwayatan hadis, seorang perawi harus muslim. Menurut ijma', periwayatan orang kafir dianggap tidak sah. Terhadap perawi yang fasik. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Allah swt., berfirman dalam QS. Al-Hujura>t/49: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Jika orang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecorobohan), yang akhirnya kamu menyesali per buatan itu." (Departemen Agama RI.)
2)      Baligh
Baligh yang dimaksud ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis walaupun dalam periwayatannya itu sebelum baligh, hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ , عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ , وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ , وَعَنِ الصَّبِيِّ[6]
Artinya: "Hilanglah kewajiban menjalankan syariat Ialam dari tiga gelongan, yaitu orang gila sampai ia sembuh, orang yang lupa sampai ingatannya kembali, dan orang tidur sampai ia bangung."
3)      'Ada>lah
'Ada>lah yang dimaksud ialah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga ia tetap takwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, menjauhkan diri dari hal-hal mubah yang tergolong kurang baik, dan selalu menjaga kepribadiannya.
4)      D}abit
D}abit ialah teringat perawi ketika ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya dan dihafal sejak ia menerima sampai menyampaikannya. Cara untuk mengetahui ke-d}abit-an perawi adalah dengan jalan i'tiba>r terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang s\iqat dan memberi keyakinan.
Ada yang mengatakan bahwa di samping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas, ada persyaratan lainnya, yaitu lantara suatu perawi dan perawi lain harus bersambung dan muttasilus sanad, hadis yang disampaikan itu tidak sya>dz, tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tingkat kepercayaannya lebih tinggi.[7]
Periwayat yang belajar atau menerima hadis dari periwayat yang lain, tetapi tidak mengajarkannya atau tidak menyampaikannya kepada periwayat lain tidak dapat disebut periwayat hadis. Kalau periwayat hadis kemudian menyampaikannya kepada periwayat lain tetapi tidak disampaikan bersama dengan sanadnya, maka periwayat tersebut tidak dapat dikatakan periwayat hadis. Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam proses kegiatan periwayat hadis, yaitu:
ü  Kegiatan belajar atau menerima hadis
ü  Kegiatan mengajar atau menyampaikan hadis
ü  Kegiatan ketika mengajarkan atau menyampaikan hadis- hadis yang disertakan dengan sanad.
 Belajar atau penerimaan hadis disebut oleh ulama hadis dengan istilah al-tah}a>mmul dan mengajar atau menyampaikan hadis disebut al-ada>'.
Orang yang menyampaikan hadis disebut periwayat (ra>wi>). Sesuatu yang disampaikan disebut ma>ta>n. Sedangkan sanad (isna>d) adalah rangkaian nama orang yang meriwayatkan hadis. Aktivitas penyampaian dan penerimaan (belajar mengajar) hadis disebut tah}ammul wa ada>'. Karena itu, aktivitas dapat dikatakan periwayatan hadis apabila periwayat melakukan taha>mmul wa ada>' al-Hadis| dan yang disampaikan itu lengkap sanad dan matanya. 
B.     Metode yang Digunakan Nabi saw., dalam Menyampaikan Hadisnya
Nabi saw., menjadi sumber hadis sebagai figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktivitas beliau seperti perkataan, perbuatan, dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi saw., tak jarang mereka bergantian mewakili yang lain kemudian disampaikan apa yang telah diperolehnya di majelis tersebut karena tidak seluruhnya dapat menemani Nabi.[8] Seperti yang pernah dikatakan Anas bin Malik, kami banyak berada disekitar Nabi., sehingga kami banyak mendengar hadis darinya, dan jika kami meninggalkannya kami akan mengulanginya sehingga hadis itu kami hafalkan.[9] Oleh karena itu, dalam menyampaikan hadisnya Nabi mempunyai beberapa metode. Diantara metode yang dipakai Nabi Muhammad Saw. Dalam mengajarkan atau menyampaikan (al-ada>') hadisnya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1.      Pengajaran Secara Verbal (lisan)
Nabi Muhammad Saw. Pada hakekatnya adalah guru dari hadisnya. Nabi sering mengulang-ulangi masalah penting yang diajarkan kepada sahabatnya. Anas Ibnu Ma>lik menginformasikan dengan katanya,
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ «إِذَا سَلَّمَ سَلَّمَ ثَلاَثًا، وَإِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَعَادَهَا ثَلاَثا[10]
Artinya: Nabi Saw. Apaila memberi salam mengulangi tiga kali dan apabila berbicara mengulangi tiga kali.
Sesudah Nabi Saw. Mengajar sahabatnya sering kali mengevaluasi apa yang mereka telah pelajari dari Nabi Saw. Juga Nabi Saw., Sering kali menanyakan kepada mereka apa yang mereka telah pelajari dan ketahui.
2.      Pengajaran Secara Terulis
Semua surat-surat Nabi Saw., Yang dikirim kepada raja-raja, panglima pasukan, komandang tentara dan gubernur dapat dikategorikan pengajaran hadis Nabi Saw. Secara tertulis, isi surat-surat Nabi Saw. Banyak terkait dengan masalah hukum seperti zakat dan ibadah. Sebagaiman diketahui bahwa Nabi Saw. Mempunyai sekretaris yang jumlahnya lebih dari empat puluh orang yang menuliska untuknya dalam suatu kesempatan. Dalam hal ini termasuk hasil tulisan 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash dan 'Ali> bin Abi> T}a>lib dan khutbah Nabi Saw. Yang ditulis untuk Abu Syah al-Anbari>, penguasa Yaman.  Pengajaran Secara Demonstrasi.
Semua amal perbuatan dan aktivitas Nabi Saw., mulai diangkat menjadi nabi dan rasul sampai meninggal adalah hadisnya. Nabi Saw., mengajarkannya dan memberi contoh tata cara berwud}u, s}alat, h}a>ji, puasa dan lain-lain sebagainya. Nabi Saw., memberi pengajaran agar diikuti segala aktivitasnya. Diantara Nabi Saw. Pernah bersabda,
صلوا كما رأيتموني أصلي[11]
Artinya: “S}alat kalian sebagaimana kamu melihat saya s}alat.”
Nabi saw., juga besabda,
لتأخذوا مناسككم فانى لاادرى لعلى لااحج بعد حجتى هذه[12]
Artinya: Pelajarilah daripadaku ritual-ritual haji, karena sesungguhnya saya tidak tahu apakah saya dapat haji sesudah tahun ini.
C.     Metode Sahabat Menerima Hadis Nabi Muhammad saw.
Sahabat Nabi Saw., menggunakan tidak kurang dari tiga macam metode belajar atau menerima hadis (al-Tah}ammul), yaitu:
a.       Hafalan
Biasanya sahabat ketika belajar hadis duduk melingkar didalam mesjid. Mereka menyimak dan mendengarkannya dari Nabi Saw., dengan penuh perhatian. Setelah itu mereka menghafalnya. Dalam hal ini, Anas Ibnu Ma>lik menjelaskan dan menyatakan, "kami duduk bersama Rosulullah Saw., jumlah kami mencapai sekitar enam puluh orang. Nabi Saw., mengajar kami hadis. Kemudian, ketika Nabi Saw., memohon diri keluar untuk suatu keperluan, kami biasanya menghafal apa yang baru kami dapatkan secara bergantian. Diwaktu kami meninggalkan mesjid, hadis yang kami dapatkan telah melekat dihati kami masing-masing."
Sebagaimana manusia lainnya, sahabat mengalami juga masalah hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Oleh karena itu, tidak mungkin seluruh sahabat menghadiri pengajaran Nabi Saw., sebagai contoh, sebagaimana telah dikemukakan 'Umar Ibnu Khat}a>b bergantian dengan tetangganya datang menemui Nabi Saw. Untuk mendapatkan pengajaran. Dengan demikian ada sahabat yang mempelajari hadis dari sahabat lainnya,[13] tidak langsung dari Nabi Saw.
b.      Catatan.
Diantara sahabat Nabi Saw., ada yang mempelajari hadis melalui catatannya. Banyak sahabat yang mempunyai catatan hadis yang tersusun rapih. Diantara mereka adalah Abdullah Ibnu 'Amr Ibnu al-'Ash dan 'Ali> Ibnu Abi> T}a>lib.
c.       Praktik
Sahabat Nabi Saw., mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya. Hal ini disadari oleh mereka bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam bukan hanya untuk dipelajari tapi juga untuk diamalkan dan dipraktekkan. Sebagai contoh Ibnu 'Umar butuh delapan tahun untuk mempelajari dan mempraktekkan surah al-Baqarah. Cara-cara sahabat menyampaikan hadis atau periwayatan hadis kepada sahabat lainnya yang tidak menghadiri pada saat Nabi menyampaikan , hadisnya, atau kepada para tabi’in, berbeda dengan cara menyampaikan wahyu al-Qur’an.[14]
Untuk menyampaikan wahyu al-Qur’an, para sahabat menyampaikannya secara lafdzy (secara harfiah) sebagaimana yang mereka terima dari Nabi, sedang untuk hadis, tidak mutlak demikian.
Hal ini dapat dimengerti, sebab ayat-ayat al-Qur’an adalah wahyu Allah swt., dan mu’jizat yang harus dipelihara, bukan hanya dari segi maknanya saja, tetapi juga susunan kalimat dan kata-kxatanya.
Hal ini dapat berlangsung, karena mu’jizat al-Qur’an itu, telah dijamin pemeliharaan orisanilistas periwayatan oleh Allah swt., sebagaimana firman Allah swt., dalam QS. Al-Hijr/15: 9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[15]
Artinya: "Sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan al-Qur'an dan sungguh kami pulalah yang akan menjaganya." (Departemen Agama RI).
Adapun tentang periwayatan hadis oleh para sahabat, dilakukan dengan dua cara, yaitu:
*      Dengan lafadz asli, atau secara lafdziyah
Secara lafdziyah ialah menurut lafadz yang mereka terima dari Nabi saw., jadi secara direct. Para sahabat dapat melaksanakan cara ini, karena mereka, selain kuat ingatan, juga setel;ah menerima hadis Nabi, lali mempelajari dan mengulanginya dengan jiwa p[enuh ketaatan dan penuh konsentrasi. Periwayatan hadis secara lafdziyah ini, sudah barang tentu untuk hadis-hadis qauliyah saja. Sedang hadis-hadis yang fi’liyah, dan taqririyah, karena sifatnya, tidak dapat disampaikan secara lafdziyah.
*      Dengan makna saja, atau secara maknawi.
Hadis tersebut disampaikan oleh sahabat dengan mengemukakan maknanya saja, tidak menurut lafadz-lafadz seperti yang diucapkan oleh Rasul. Jadi, bahasa lafadz disusun oleh sahabat, sedang isinya berasal dari Nabi saw., karena itu, banyak hadis yang mempunyai maksud yang sama tetapi dengan matan yang berbeda. Menurut, H}asbi> As-S}iddi>qi>, bahwa yang penting dari hadis, ialah isinya. Sedang bahasa dan lafadznya, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya tidak berbeda.
D.    Penerimaan Anak-anak, orang Kafir dan orang Fasik
Jumhur ulama ahli hadis berpendapat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum Mukallaf)  dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf.[16] Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis seperti H}asan, Abdullah bin Zubeir, Ibnu Abbas[17] dan lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal anak yang diperbolehkan ber-tah}ammul, sebab permasalahan ini tidak lepas dari ke-tamyi>z-an anak tersebut.
Al-Qad}i ‘Iya>dh menetapkan bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan ber-tah}ammul paling tidak sudah berusia lima tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukha>ri> dari sahabat Mah}mu>d bin al-Ruba>i’:
عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجَّهُ مَجَّهَا فِي وَجْهِي، وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ[18]
Artinya: “saya mengingat Nabi saw., meludahkan hadis yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun.”
Abu ‘Abdullah al-Zuba>’i mengatakan, sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadis pada saat usia mereka telah mengcapai umur sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna, dalam arti mereka telah mencapai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa. Yahya bin Ma>’in menetapkan usia lima belas tahun, berdasarkan hadis Ibnu ‘Umar: “saya dihadapkan kepada Rosulullah saw., pada waktu perang Uhud, disaat itu saya masih berusia empat belas tahun, beliau tidak memperkenangkan aku. Kemudian aku dihadapkan pada Nabi saw., pada waktu perang Khandaq, diasaat yang berumur lima belas tahun dan beliau memperkenankan aku.
Sementara ulama Syam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadis setelah berusia tiga puluh tahun, dan ulama Kufa berpendapat minimal berusia dua puluh tahun.
 Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan ber-tah}ammul, akan tetapi lebih menitikberatkan pada ke-tamyi>z-an mereka. Namun mereka juga berpendapat tentang ke-tamyi>z-an tersebut. Ada yang mengatakan bahwa anak sudah dikategorikan tamyi>z apabila anak tersebut sudah mampu membedakan antara al-baqarah dan al-himar, seperti ungkapan oleh al-H}a>fidz bin Musa bin Ha>run al-Hammal. Menurut Imam Ah}mad, bahwa ukuran tamyi>z adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal,ada juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan ukuran ke-tamyi>z-an seorang itu bukan berdasarkan usia mereka, akan tetapi dilihat dari “apakah anak itu memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar atau tidak."
Terjadinya perbedaan pendapat ulama mengenai ke-tamyi>z-an seorang tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan pada usianya, sebab bisa saja seseorang pada usia tertentu, karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi, dia sudah mumayiz, sementara seseorang pada usia yang sama, karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi berbeda, dia belum mumayiz. Oleh karenanya, ke-tamyi>z-an seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.
Mengenai penerimaan hadis bagi orang yang kafir dan fasik, jumhur ulama ahli hadis menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan pada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertaubat.[19] Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi saw., sebelum mereka masuk Islam. Di antara sahabat yang mendengar sabda Nabi saw., pada waktu belum masuk Islam adalah sahabat Zubair. Dia pernah mendengar Rasul saw., membaca surat al-Tu>r pada waktu s}alat magri>b, ketika dia tiba di Madi>nah untuk menyelesaikan urusan perang Badar, dalam kedaan masih kafir. Akhirnya dia masuk Islam, bila penerima hadis-hadis oleh orang kafir yang kemudian disampaikan setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadis oleh orang fasik yang diriwayatkan ssetelah dia bertobat.
E.     Tata Cara Mendengarkan, Menerima, dan Menghafalkan Hadis
1.      Kecakapan menerima hadis
Para ulama berbeda pendapat tentang kecakapan seseorang bahwa hadis, tetapi dapat kami simpulkan dalam suatu redaksi yang mencakup semua pendapat itu. Kesimpulan itu adalah pokok kecakapan dan keahlian menerima hadis menurut jumhur adalah tamyi>z, yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya[20]. Banyak Muh}addis|in yang menetapkan batas minimal umur orang tersebut lima tahun. Pendapat ini dinisbatkan oleh Qad{i Iya>dh kepada ahli hadis.
Ibnu al-S{alah berkata. "pemberian batas umur lima tahun itu adalah pendapat yang ditetapkan oleh tindakan ahli hadis mutakhir. Mereka menyebut kegiatan anak yang berumur lima tahun atau lebih dalam mengikuti pengajian hadis dengan sami'a (ia mendengar), sedangkan bagi anak yang dibawah umur lima tahun dengan h}ad{ara> (ia hadir) atau uh}d{irah (ia diajak menghadiri)."
Hal ini mengingatkan pada kita tentang istilah yang kita jumpai dalam menuskrip-menuskrip, tentang daftar pendengar para ulama dan keterangan tentang nama para pendengarnya. Sehubungan dengan hal itu mereka pun berkata, "kitab ini pernah didengar oleh fula>n dan fula>n, dan dihadiri oleh fula>n."
Akan tetapi, penelitian yang saksama tentang hal ini menunjukkan bahwa tolak ukur kecakapan menerima hadis adalah tamyi>z, sebagaimana kami jelaskan dimuka. Inilah pendapat jumhur dan inilah pendapat yang sahih dan dapat diikuti. Adapun pembatasan umur lima tahun itu tidak menafikkan pendapat tersebut. Qad{i 'Iya>dh berkata, "barangkali mereka memandang bahwa usia lima tahun itu merupakan usia minimal bagi seseorang untuk dapat menghafalkan dan memahami apa yang didengarnya. Apabila bukan itu alasannya; maka batas usia tamyi>z itu dikembalikan pada adat banyak sekali orang yang lamban pikirannya dan jelek daya nalarnya tidak dapat menghafal suatu apapun setelah umur tersebut, dan banyak pula orang yang cerdas pikirannya dan bagus daya nalarnya telah dapat paham banyak hal sebelum umur tersebut."
Atas dasar itu, para ulama mengesahkan pendengaran dan menerima hadis oleh orang kafir dan orang fasik apabila hadis itu diriwatkannya setelah ia masuk Islam, dan mereka betaubat. Dalam kitab-kitab sunnah dan sirah terdapat banyak riwayat yang didengar oleh para sahabat, yang beupa ucapan Nabi saw., atau tindakan-tindakan beliau yang mereka saksikan sebelum masuk Islam.
Adapun tingkat kesempuranaan dan ketinggian kecakapan seseorang mendengar hadis itu berpangkal pada kecakapannya memehami fi>qih dan mengamalkan ilmunya. Hal ini baru akan terjadi pada usia yang cukup tua, setelah orang itu mempelajari al-Qur'a>n dan dasar-dasar sebagai ilmu.
Abu Abdullah al-Zubairi berkata, "disunnahkan menulis hadis pada usia dua puluh tahun, karena pada umur itu merupakan masa berkumpulnya kecerdasan pada umur dibawah dua puluh tahun lebih baik seseorang tekun menghafal al-Qur'an dan ilmu fara'idh."  Sufyan al-S|auri dan lainnya berkata," apabilaseseorang ingin mencari hadis hendaknya beribadah lebih dahulu dua puluh tahun."
Pesan-pesan ini tidak menghalangi seseorang mendengarkan kitab-kitab hadis dan mengambil sanad-sanadnya sejak kecil setelah ia tamyi>z, sebagaimana yang dijelaskan oleh para imam hadis. Al-Khatib al-Baghda>di berkata,"oleh karena itu segeralah anak-anak kecil diajak mendengarkan hadis dari guru-guru yang tinggi ilmu sanadnya.
Para ulama menyebutkan beberapa riwayat sekitar tindakan umat dalam hal ini, yang menunjukkan betapa besar perhatian mereka untuk mendapatkan ilmu dan persingain mereka. Hal ini menumbuhkan semangat, keberanian, dan kecerdasan para tunas-tunas muda, yakni anak-anak kecil.
Al-Khat}ib al-Baghda>di meriwayatkan dalam al-Kifayah dari Ah{mad bin H{ambal, ia berkata tentang Sufyan bin Uyai>nah: "ayahnya membawa ke Mekah ketika ia masi kecil. Ia mendengar fikih dari Amr bin Dinar dan Ibnu Abi Najih. Setiap kali ia bergabung dengan seseorang, ia senantiasa mendahului."waktu itu Sufyan memekai anting emas ditelinganya karena masih kecil. Dikatakan kepada al-A'ma>sy,"anak-anak itu mengelilingimu,"ia menjawab, "Diamlah. Mereka menjaga agamamu untukmu."
Qad{i ‘Abdullah bin Muh{ammad al-As}bah}ani berkata, "aku telah menghafal al-Qur'an ketika berumur lima tahun. Aku pernah dibawah kepada Abu Bakar al-Buqri' agar aku mendengarkan al-Qur'an darinya ketika aku berusia empat tahun sebagaiman hadirin berkata, "jangan kau dengar apa yang dia baca karena ia masih kecil." Maka Ibnu Muqri berkata kepadaku,"bacalah surah al-Ka>firu>n~!" maka aku membacanya. Lalu ia berkata,"bacalah surah al-Takwi>r!" maka aku membacanya. Yang lain berkata, "bacalah surah al-Mursala>t!" maka aku membacanya tanpa kesalahan sedikitpun. Maka Ibnu berkata, "dengarkanlah dan aku yang bertanggung jawab.
Inilah kasus yang paling jarang didengar dalam hal hafalan dan kepandaian anak kecil sepanjang sejarah, dan hal ini menjadi suatu bukti yang akurat akan adanya kompetisi penguasa ilmu dikalangan umat Islam waktu itu, terutama ilmu syri>at dan lebih khusus al-Qur'a>n dan ha>dis\\. Sehigga penguasa ilmu syari>at dalam pandangan mereka adalah suatu keharusan yang diprioritaskan diatas segalanya.
Begitulah, dengan seberkas ilmu syariat dan dengan penerangan lentera hidayah, mereka menekuni berbagai bidang ilmu, sehingga mereka dapat mendahului umat-umat lain, sekaligus sebagai pelopor kemajuan. Ibnu Rusyd al-H{afi>zh, sebagai contoh, adalah seorang pakar dalam filsafat, sains, fikih, dan ijtihad. Ibnu al-Na>fis adalah seorang ahli dan penemu ilmu optik dan seorang faqih mazhab Syafi>'i yang terpandang, disebutkan oleh al-Subki dalam t}abaqat al-Syafi'i>yah. Dan masih banyak lagi yang riwayat hidupnya dengan jelas membuktikan kepada kita akan kebangkitan ilmiah secara menyeluruh dalam naungan kemajan Islam.
2.    Cara-cara penerimaan hadis
Para ulama mengidentifikasi cara pengambilan dan penerimaan hadis dari para rawi menjadi delapan macam. Mereka mengupas dan menjelaskan hukum-hukumnya secara panjang lebar, dan garis besarnya sebagai berikut.
1)   Al-sima' (mendengarkan hadis dari guru)
Al-Sima' (السماع) artinya seorang murid mendengarkan penyampaian hadis dari seorang guru (Syaikh) secara langsung.[21] suatu cara yang ditempuh oleh para muhaddis\in periode pertama untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad saw., kemudian mereka juga meriwayatkan kepada generasi berikutnya dengan cara yang sama. Maka tidak heran apabila cara ini dinilai sebagai cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Demikian menurut pendapat jumhur ulama dari kalangan muhadditsin dan yang lainnya.
Unsur yang dominan dalam cara ini adalah mendengarkan bacaan guru, baik dibacakan dengan selintas maupun dengan didiktekan; dan baik dibacakan dari hafalan sang guru maupun dengan melihat kitabnya. Semua cara ini menurut mahaddisi|n disebut sima'. Apabila seseorang menyimak dari gurunya atau dari kitab maka orang yang mendengarkan berkata haddas\ana>, akhbarana>, sami'tu, qolalana>, z}akaralana> fula>n,[22] hal ini bertentangan dengan pendapat Imam Syafi>'i, Imam Muslim, Sunan an-Nasa'i, dan ini banyak dinukil para muhaddis\in yang mengatakan bahwa orang yang menyimak dari gurunya boleh mengatakan akhbarana> dan namun tidak boleh mengatakan hadds\ana.[23] Ada beberapa cara penyampain dari as-sima>' yaitu,
v  حدثنا     : Dia menceritakan kepada kami.
Contoh: 
حَدَّثَنَا حَفْصٌ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، «أَنَّ مَسْرُوقًا كَانَ يَقْصُرُ الصَّلَاةَ إِلَى وَاسِطٍ[24]
v  حدثني   : Dia menceritakan kepad saya.
Contoh:
حَدَّثَنِي أَبِي، ثنا هُشَيْمٌ، أنا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: الطَّعَامُ الَّذِي نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ يُبَاعَ حَتَّى يُقْبَضَ [25]
v  سمعنا    : kami mendengarkan.
Contoh:
سَمِعْنَا مالك ابن أنس، إِذَا سُئِلُ فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا عبد الله، فَمَنْ تَرَى أَنْ يأْخُذَ المَغَازِي؟، وعَمَّنْ تَرَى أَنْ يأخُذَهَا؟، فَقَالَ مَالِك: عَلَيْكُمْ بِمَغَازِي الشَّيْخُ الصَّالِحُ مُوسَى بن عُقْبَة، فَإِنَّهَا أَصَحُّ المَغَازِي عِنْدَنَا[26]
v  سمعت   : Saya mendengar.
Contoh:
عَنْ مَعْدَانَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَبِي نَجِيحٍ السُّلَمِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَمَى بِسَهْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ لَهُ عَدْلُ مُحَرَّرٍ[27]
v  قل لي    : Dia berkata kepada saya.
Contoh:
قل لي في الإسلام قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ، قَالَ: "قل: آمنت بالله، ثم استق[28]

2)      Al-Ard{  (membaca hadis dihadapan guru)
Para muhaddis\in menempuh cara ini setelah pembukaan hadis banyak dilakukan dan tersebar diberbagai tempat. Makna al-Ard} secara etimologi merupakan perbedaan yang panjang kemudian disatukan.[29] Sedangkan secara terminelogi  seorang murid membaca hadis didepan guru dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dibaca oleh muridnya. Menurut ulama dikalangan muhaddis\in Al-Ard{  adalah seorang murid membacakan hadis dihadapan guru,[30] berdasarkan hafalan maupun dengan melihat kitab. Cara penerimaan ini dibenarkan. Dan periwayatan dengan cara seperti ini menurut ijma' boleh dilakukan.
Akan tetapi, mereka berselisih pendapat; apakah cara ini berada pada satu tingkatan dengan al-Sima>', apakah lebih tinggi atau lebih rendah.
Seorang muh}addsi|n bisa berpendapat bahwa al-Ard} lebih tinggi dari pada al-Sima>' apabila pencari hadis yang bersangkutan dapat menyadari kesalahannya dalam membaca hadis itu. Sementara apabila keadaannya berbeda, maka al-Sima>' lebih tinggi.
Al-H{a>fiz bin ‘Abdi al-Barr meriwatkan dari Ma>lik bahwa ia ditanya,"apakah anda lebih suka apabila seorang pencari hadis membacakan hadis dihadapan anda ataukah anda lebih senang apabila pencari hadis membacakan hadis kepadanya!" Ia menjawab, "aku lebih senang apabila pencari hadis membacakan hadis dihadapankau apabila bacaannya tepat, karena boleh jadi ia salah atau lupa terhadap hadis yang dibacakan gurunya. Adapun cara penyampain ar-Ard} yaitu,
1.      قرات على فلان                             : Saya membaca atas fula>n
قَرَأْتُ عَلَى أَبِي، حَدَّثَكَ عَمْرُو بْنُ مُجَمِّعٍ، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ الْهَجَرِيُّ، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " إِذَا أَتَى أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ، فَلْيُدْنِهِ، فَلْيُقْعِدْهُ عَلَيْهِ، أَوْ لِيُلْقِمْهُ؛ فَإِنَّهُ وَلِيَ حَرَّهُ وَدُخَانَهُ[31]
3)      Al-Ija>rah
Al-Ija>rah adalah izin guru hadis kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis[32] atau kitab yang dirawatkan darinya padahal murid itu tidak mendengar hadis tersebut atau tidak membaca kitab tersebut dihadapannya. Seperti seorang guru berkata, "aku memperbolehkan kamu untuk meriwayatkan S}ahih al-Bukha>ri> atau kitab tentang sumpah dalam S{ahih Muslim.” Kemudian setelah itu murid tersebut meriwayatkan hadis atau kitab sesuai izinnya tanpa mendengar sebelumnya atau membaca dihadapannya.
Jumhur ulama muhaddis}in berpendapat bahwa hal tersebut dibolehkan, namun ahli ilmu hadis menemukan kesulitan dalam menentukan dalil tentang bolehnya ija>zah.
Para ulama menyandarkan dalil tentang dibolehkannya ija>zah itu setelah hadis disusun dalam beberapa lembaran atau dikumpulkan menjadi beberapa kitab. Kitab atau lembaran itupun kemudian diriwayatkan dari para penyusunnya dengan sanad yang dapat dipercaya berdasarkan pembacaan kitab atau mendiskusikan lembaran itu dihadapan guru berkenaan dengan naskahnya. Maka sangatlah berat tanggung jawab seorang alim manakala datang kepadanya salah seorang pencari hadis untuk membaca kitab dihadapannya, lalu ia pulang dan berpendapat telah mendapatkan ija>zah darinya.
Jadi sesungguhnya ija>zah itu lebih identik dengan periwayatan atau pemberitahuan secara global tentang suatu kitab atau beberapa kitab, bahwasanya semua itu adalah hadis-hadis yang diriwayatkannya. Ija>zah itu sendiri berfungsi sebagai periwayatan seluruh isi kitab, mengingat berbagai naskah, karena para penulis hadis dalam suatu negara telah melakukan pengadaan seperti layaknya para penerbit buku sekarang.
Oleh karena itu, orang yang menyandang hak ija>zah tidak  boleh meriwayatkan hadisnya sebelum ia mencocokkan naskahnya dengan naskah penyusunnya atau dengan naskah yang telah dicocokkan dengannya, dan begitu selanjutnya.
Ija>zah itu banyak ragamnya, sebagaiman dibahas oleh Qad}i 'Iya>dh dalam kitab al-I'la>m dengan pembahasan yang sangat mendasar. Dalam pembahasannya ia menyebutkan enam bentuk ija>zah. Kemudian datang Ibnu al-S}alah menyimpulkan pembahasan Qad}i' Iya>dh dan menambah satu ija>zah lagi, sehingga menjadi tujuh bentuk. Bentuk ija>zah yang paling tinggi ialah guru meng-ija>zah-kan suatu kitab atas beberapa kitab tertentu kepada orang-orang tertentu, pada saat kedua pihak mengetahui kitab tersebut. Dalam ija>zah seperti ini terpenuhi makna i’tiba>r dengan sempurna dan mantap.
Oleh karena itu, para ulama berkata, "ija>zah itu dipandang baik manakala pihak pemberi ija>zah mengetahui hadis yang diijaza>h-kan dan pihak yang diberi ija>zah adalah orang yang berilmu, karena ija>zah itu suatu kemudahan dan kemurahan yang mestinya diterima oleh orang berilmu karena mereka sangat memerlukannya.
Hal ini diperkuat oleh Ibnu Abd al-Barr, yang ia menyatakan dalam Jami' al-'Ilmi wa Fad}i>lah. Ringkasannya ialah bahwa ija>zah ini tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang mahir dalam seluk-beluk hadis dan mengetahui cara penerimaannya; disampng itu ija>zah harus diberikan berkenaan dengan hadis tertentu yang dikenal, serta tidak terdapat persoalan dalam isna>d-nya. Ada beberapa penyampain secara al-Ija>rah.
1.      حدثنافلان اجازة                      :fula>n menceritakan kepada kami dengan secara Ija>rah.
Contoh:
حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، قَالَ: نا هُشَيْمٌ، عَنِ الْعَوَّامِ، عَنِ المسيِّب بْنِ رَافِعٍ ، قَالَ: يَجِيءُ الْقُرْآنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَافِعٌ مُطَاعٌ، ومَاحِلٌ  مُصَدَّق، فيَشْفَعُ لِصَاحِبِهِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ اجْزِهِ؛ فَإِنَّهُ كَانَ يَعْمَلُ بِي، وَيَسْهَرُ بِي، وَيَنْصَبُ بِي، فَاجْزِهِ[33]
4)      Al-Muna>walah
Penertian al-Muna>walah menurut muh}addis\in adalah bahwa seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadis kepada muridnya agar diriwayatkannya dengan sanad darinya.
Dasar dilaksanakannya muna>walah ini adalah hadis yang dikomentari oleh Bukho>ri dalam kitab al-I>lm bahwa Rasulullah saw., Pernah menulis surat kepada pimpinan prajurit sari>yah (pasukan perang yang tidak disertai dengan Nabi saw.) dalam surat itu, beliau menyatakan, "janganlah engkau membacanya sebelum engkau sampai ditempat anu dan anu." Ketika sampai ditempat yang ditunjuk itu, ia membacanya dihadapan prajuritnya dan menyampaikan perintah Nabi saw., Al-Baih{aqi dan al-Tabra>ni meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang bersambung dan baik. Al-Bukho>ri berhujjah dengan hadis ini atas kesahihan munawa>lah. Dan ini pemahaman yang s}ahih, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Suhaili. Adapun pembagian pembagian al-Muna>walah sebagai berikut.
a.       Muna>walah yang disertai dengan ija>zah. Ini tingkatannya paling tinggi diantara macam-macam ija>zah secara mutlak. Seperti jika seorang Syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya: "ini riwayatku dari fula>n, maka riwayatkanlah dariku." Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah dari as-sima>' dan al-qira>'ah.
b.      Muna>walah yang tidak diiringi dengan ija>zah. Seperti jika seorang Syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan: "ini adalah riwayatku." Yang semacam ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang s}ahih[34]. Adapun beberapa penyampaian secara munawalah yaitu,
1.      ناولني فلان                    :saya memperoleh dari fula>n
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، نا أَبِي، نا خَالِدُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ: قَالَ قَتَادَةُ: " مَا نَسِيتُ شَيْئًا قَطُّ. ثُمَّ قَالَ: يَا غُلَامُ، نَاوِلْنِي نَعْلِي. قَالَ: نَعْلُكَ فِي رِجْلِكَ[35]


5)      Al-Muka>tabah
Al-Muka>tabah adalah seorang muhaddis\ penulis suatu hadis lalu mengirimkannya kepada muridnya. Muka>tabah terdiri atas dua macam:
a.    Bentuk pertama, muka>tabah yang disertai dengan ija>zah. Muka>tabah jenis ini dalam hal kes}ahihan dan validitasnya merupai muna>walah yang disertai dengan ija>zah. Bentuk kedua, muka>tabah yang tidak disertai dengan ija>zah. Pendapat yang s}ah}ih menurut kalangan muh}addis\in membolehkan periwayatan hadis dengan muka>tabah bentuk kedua ini karena cara ini tidak berbeda dengan ija>zah, dalam hal banyaknya memberi faedah ilmu. Banyak dijumpai tindakan ulama salaf dan para guru hadis setelah mereka mengatakan, "fula>n mengirimkan hadis kepadaku," dan ia berkata : "fula>n mengabarkan hadis kepadaku." Para muhaddisi|n sepakat atas kebenaran periwayatan hadis dengan cara demikian dan mengklasifikasikannya sebagai hadis musnad. Cara periwayatan hadis seperti ini banyak terdapat dalam sanad-sanad hadis.
6)      Al-'Ila>m
Al-'Ila>m merupakan pemberitahua oleh seorang muh}addis\ kepada seorang pencari hadis bahwa hadis atau kitab yang ditunjuknya adalah hadis atau kitab yang telah didengarnya dari seseorang, tanpa disertai izin periwayatan kepadanya. Bahwa muh}addis\ itu pada saat yang sama tidak berkata, "riwayatkanlah hadis ini dariku" atau "aku izinkan kamu meriwayatkannya."
Sebagia tokoh ulama us}ul berpendapat bahwa periwayatan hadis yang didapat melalui al-'Ila>m tidak boleh dilakukan. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu al-S}alah. Alasannya dalam muh}addis\ atau kitab yang ditunjuk itu boleh jadi terdapat kekurangan yang menyebabkan hadis-hadisnya tidak boleh diriwayatkan begitu saja.
Sebagian besar muh}addis\in, fuqaha, dan ulama us}ul menperbolehkan periwayatan hadis yang diterima mulai al-'Ila>m meskipun tidak disertai ija>zah. Pendapat ini disepakati pula oleh al-Romah{urmuzi. Qad{i 'Iya>dh berkata, "pendapat ini benar dan tidak ada alternatif lain, karena melarang seseorang meriwayatka hadis yang telah diriwayatkan bukan karena ada cacat atau ada keraguan tidak dapat dibenarkan; karena ia benar-benar telah meriwayatkannya dan tindakannya itu tidak dapat diralat kembali."
Letak kebenaran pendapat Qad{i 'Iya>dh adalah bahwa penerimaan hadis dengan ija>zah itu dipandang sah karena dalam ija>zah terdapat pemberitahan secara global, sedangkan al-I'la>m identik dengan ikhbar, bahkan lebih akurat darinya sebab disertai dengan isyarat terhadap kitab secara jelas dan guru yang menunjukkan itu berkata, "ini adalah hadis yang aku dengar dari fula>n."
7)      Al-Was{iyah (wasiat)
Wasiat merupakan salah satu bentuk periwayatan hadis yang dipandang lemah. Bentuk wasiat dalam periwayatan adalah bahwa seorang muh}addis\ berwasiat kepada seseorang agar kitab-kitabnya diserahkan kepadanya ketika muh}addis\ itu meninggal atau bepergian.
Sebagian ulama salaf memberi kelonggaran kepada orang yang ditunjuk dalam wasiat itu untuk meriwayatkan kitab-kitab tersebut dari pemberi wasiat sesuai dengan isi wasiatnya, (periwayatan dengan wasiat)[36] karena dalam penyerahan kitab-kitab itu terdapat satu bentuk izin dan sedikit menyerupai periwayatan mulai al-ard} dan al-muna>walah. Jadi, al-wash{iyah mendekati al-I'la>m.
Akan tetapi, Ibnu al-S{alah tidak sependapat dengan hal ini. Beliau menganggap ada perbedaan yang sangat jauh antara wasiat dan al-I'la>m, dan beliau tidak membedakan orang yang berpendapat memperbolehkan wasiat dalam periwayatan hadis. Ia berkata, "pendapat ini sangat jauh. Barangkali hal ini merupakan kekeliruan seorang ‘alim atau dapat dikatakan bahwa yang dikehendaki adalah periwayatan melalui jalan al-wija>dah seperti yang akan dijelaskan kemudian." Pernyataan Ibnu al-S}alah adalah pernyataan yang benar dan akurat, karena wasiat itu hanya berfungsi sebagai pelimpahan hak milik atas naskah. Jadi, seperti haknya jual beli dan boleh karenanya wasiat tidak dapat diterima sebagai ikhbar terhadap izin naskah tersebut.
8)      Al-Wija>dah
Secara etimologi al-Wija>dah merupakan sesuatu yang muncul keluar yang dijernihkan.[37]  Dan juga mempunyai arti menemukan yang dimaksud.[38] Jadi al-Wija>dah  Adalah kasus dimana seseorang menemukan suatu hadis atau kitab hasil tulisan orang lain lengkap dengan sanadnya.
Orang yang menemukan hadis itu boleh meriwayatkannya darinya dengan cara menceritakannya, dan untuk itu ia berkata,
وجدت بخط فلانه, حدثنا فلان
Artinya:
Aku dapatkan pada tulisan fula>n bahwasanya fula>n menceritaka kepada kami.
Contoh,
وَجَدْتُ بِخَطِّ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ الْغَنِيِّ بْنِ سَعِيدٍ: ثنا يُوسُفُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا هَارُونُ بْنُ يُوسُفَ بْنِ زِيَادٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ زَيْدٍ الْعَمِّيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَفَى بِالْمَرْءِ سَعَادَةً أَنْ يُوثَقَ بِهِ فِي أَمْرِ دِينِهِ وَدُنْيَاهُ[39]
Dapat pula ia berkata, "Fula>n berkata", apabila padanya tidak terdapat penipuan atau (tadli>s) dan ucapan itu mengesankan perjumpaan antara pemilik naskah dan orang yang menemukannya.
Namun, sama sekali ia tidak boleh meriwayatkannya dengan berkata, "حدثنا" atau "اخبرنا" atau kata-kata lain yang menunjukkan ketersambungan sanadnya. Tidak pernah terjadi seorang ahli ilmu melakukan yang demikian dan mengategorikannya sebagai hadis musnad, yang bersambung sanadnya.
Kemudian para tokoh ulama hadi>s\, fi>qih, dan us{ul berbeda pendapat sehubungan dengan hadis yang ditemukan itu apabila berupa tulisan hasil penelitian seorang imam atau berupa salah satu kitab sumber yang dapat dipercaya, padahal mereka sepakat bahwa orang yang menemukan naskah hadis itu tidak boleh meriwayatkannya dengan kata-kata "حدثنا" atau " اخبرنا" dan sebagainya.
Kebanyakan muhaddis\in dan fuqaha dari kalangan maz\hab Mali>ki serta kalangan masyarakat lain tidak membolehkan pengamalan terhadap hadis yang diriwayatkan dengan demikian.
Diriwayatkan dari al-Syafi>'i bahwa ia memperbolehkam pengamalan terhadapnya, demikian pendapat sekelompok pemikir diantara murid-muridnya serta para peneliti. Pendapat inilah yang bisa diterima dan sesuai dengan petunjuk dalil, karena umat Islam dituntut secara yuridis untuk mengamalkan hadis yang nyata-nyata s}ah}ih. Jadi apabila yang kitab temukan itu ternyata s}ah}ih maka wajib untuk diamalkan lebih-lebih keadaan yang darurat akhir-akhir ini telah mengharuskannya. Sebab apabila pengamalan terhadap kitab-kitab atau hadis-hadis itu hanya boleh dilakukan berdasarkan periwayatan, niscaya puntu pengamalan hadis dalam kitab-kitab itu jadi tertutup, sebab syarat-syarat periwayatan pada masa kini sangat sulit terpenuhi.
Dalam masalah ini ada hal baru yang harus diperhatikan, yakni perbedaan antara kes}ah}ihan riwayat dan kewajiban dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tidak sah periwayatan dengan wija>dah. Yakni dalam penyampaian hadis yang terdapat dalam kitab yang ditemukan itu tidak boleh dikatakan "Akhbarana> fula>n" atau "H}addas\ani> fula>n" Dan sebagainya, karena tidak adanya cara penerimaan hadis yang dapat membenarkan penyampaian hadis dengan kata-kata itu. Akan tetapi, kandungan kitab itu wajib diamalkan apabila ada bukti-bukti akurat bahwa kitab itu adalah milik penulisannya (atau salinannya yang sah) karena faktor keaslian itulah yang mewajibkan pengamalannya. Para ulama yang melarang periwayatan dengan al-I'la>m juga berpendapat demikian.
Dari keterangan ini dapatlah kami niali bahwa Dr. Subh{i al-S{alih memberi kelonggaran yang cukup leluasa dengan pernyataannya. "bahkan para ulama muta'akhkhiri>n tidak lagi memandang perlu mengadakan rih{lah dengan segala konsekuensinya sejak mereka dibenarkan meriwayatkan setiap kitab atau manuskrib yang mereka dapatkan, baik mereka pernah bertemu dengan para penyusunnya maupun tidak."
            Namun, pernyataan ini tidak dapat menyelesaikan hukum wija>dah karena periwayatan hadis dengan wija>dah itu sebagaimana yang diketahui, tidak dapat dinilai sebagai periwayatan yang shahih dan bersanbaung sanadnya sampai kepada penyusunnya. Akan tetapi, wajib diamalkan kandungannya apabila kitab itu dapat diandalkan, yaitu apabila suatu kitab itu telah ditinjau dari segi terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang telah ditetapkan, manakala pengecekan dilakukan terhadap manuskrip.
F.      Sifat Periwayatan dan Syarat Penyampain Hadis
Penyampaian hadis adalah menyampaikan dan mengajarkan hadis kepada pengcari hadis dengan salah satu cara penyampaiannya.
Cara-cara penyampaian hadis itu sesuai dengan cara-cara penerimaan yang telah dijelaskan dimuka. Oleh karena itu, orang yang telah menerima hadis dengan cara apapun berhak menyampaikan dengan cara apapun juga, dan tidak disyaratkan yang menyampaikannya dengan cara yang sama ketika ia menerimannya.
Sehubung dengan masalah ini, para ulama mengemukakan beberapa cabang pembahasan yang semuanya kembali kepada suatu prinsip yang mendasar dalam periwayatan, yaitu unsur penyampaian hadis.
Unsur penyampain hadis adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadis dengan salah satu cara penyampaiannya, dan disertai dengan kalimat pengantar yang menunjukkan cara penerimaannya.
Penyampaian hadis itu adakalanya berdasarkan hafalan periwayatannya dan adakalanya berdasarkan kitabnya, tetapi para muhadditsin sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis dengan kedua bentuk itu. Mereka tidak memperbolehkan seorang rawi meriwayatkan kecuali hadis yang telah terbukti kebenarannya. Apabila yang terjadi adalah hal sebaliknya atau ia meragukan suatu hadis, mka ia tidak boleh meriwayatkannya, sebab semuanya sepakat bahwa seorang rawi tidak boleh meriwayatkan kecuali hadis yang telah diteliti. Dan apabila ia ragu, maka berarti ia meriwayatkan sesuatu yang tidak dapat dipastikan keasliannya dari Nabi Saw. Dan dikhawatirkan telah terjadi perubahan padanya sehingga ia termasuk orang yang terkena ancaman Nabi Saw.
 مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَده مِنْ النَّار
Artinya: Barang siapa sengaja berdusta atas diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka[40].
Sekelompok ulama memperketat system periwayatan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-S{alah, sehingga mereka sangat sedikit hadisnya; sedangkan kelompok lain memperlonggarnya sehingga mereka memperlonggarnya sehingga mereka berlebih-lebihan dalam meriwayatkan hadis. Salah satu aliran yang keras menyataka tidak dapat dipakai hujjah kecuali hadis yang diriwayatkan berdasarkan hafalan dan ingatan rawinya.



DAFTAR PUSTAKA
'Abdullah, Abu Bakrin bin Abi> Syaibah. As|a>r. 1409 H. Juz VII. Cet. Ke-I: Maktabah ar-Rusdy.
ad-Da>raqutni>, Abu> al-H}asan 'Ali> bin 'Umar bin Ah}mad bin Mahdi> bin Mas'u>d bin an-Nu'ma>n bin di>na>r al-Bahda>di.> Sunan ad-Da>raqutni>. 2004. Juz. IV. Cet. Ke-I. Bairu>t Libano>n: Muassasah ar-Risa>lah.
ad-Dimasyqi>, Abu> al-Fida>I al-H}a>fiz bin kais\ir. Ikhtis}aruh 'Ulu>mu al-H}adi>s\. 1989. Cet. Ke-I. Bairu>t: Da>r al-Kitabu al-Ilmiah.
ad-Dukri, As-Syaikh ‘Abdu al-Gani>. Mu’jam al-Qawa’id al-Arabiyah. Juz.VI.
al- As}bah}i>, Ma>lik Ibnu Anas Abu Abdilla>h. Muwat}a al-Ima>mu Ma>lik. 1991. Juz. III. Cet. Ke-I. Damasyqu: Da>r al-Qolam.
al- Qat}a>n, Syaikh Manna'. Pengantar Studi Ilmu Hadi>s\. 2013. Cet. Ke-VII. Jakarta Timur: Pustaka al-Kaus\ar.
al-Asqalani. Ibnu Hajar Fatul Ba>ri>. t.th. Juz. IX.
al-Bagda>di>,Ali> bin al-Ja'd bin 'Ubaidi al-Jauhari.> Musnad Ibnu al-Ja'd.  1990. Juz. I. Cet. Ke-I. Bairu>t: Muassasa Nadir.
al-Busti>, Muh}ammad bin H}ibba>n bin Ah}mad bin H}ibba>n bin Mu'a>dz bin bin Ma'bud at-Tami>mi> Abu> Hati>m ad-Dari>mi>. Al-Ih}sa>n fi> Taqri>r S}ahih Ibnu Hibba>n. 1988. Juz. XIII. Cet. Ke-I. Muassasah ar-Risalah: Bairu>t.
'Ali>, Abu> Abdullah bin Sala>mah bin Ja'far. Mus}nad As-Syihab. 1986. Juz. II. Bairu>t: Muassasa Ar-Riasa>lah.
al-Ji'fi, Muhammad Ibnu Isma>'i>l Abu Abdillah al Bukhori>. al-Jami>' al-Musnad al-S{ahi>hu al-Muktasiru> Min Umi>ru Rosulullah Saw. 1422 H. Juz I. Cet. Ke-I. Da>r H}auki al-Naja>h.
al-Jorja>ni>, Sa'i>d 'Ali> bin Muh}ammad bin 'Ali> al-H}usain. Risa>lah fi> Ilmi Us}u>l al-Hadi>s\. 1992. Cet. Ke-I. Bairu>t: Da>r Ibnu Hazmi.
Al-Ma>nar, M. Abduh. Pengantar Ilmu Hadi>s\. 2012. Cet. Ke-I. Jakarta: Referensi.
al-Mali>ki, Muh}ammad Alawi. Ilmu Us}ul Hadi>s\. Angkasa. t.th.
al-Mis}ri>, Muh}ammad Makrum bin Maz}ur al-Fariqi.> Lisa>n al-'Arab. t.th. Juz. VII. Bairu>t: Da>r S}adar.
Al-Munawwir. Kamus Arab-Indonesia. 1997. Cet. Ke-XIV. Surabaya: PO. BOX 1322, 6000-Indonesia. 
al-Siyali>h, Subh}i. 'Ulu>mu al-Hadis\ wa Must}alah}u>h.  1959. Cet. Ke-I. Bairu>t: Da>r al-'Ilmu al-Malayi>n.
al-T{ah}a>n, Mah}mud. Taisi>r Must}ala>h}u al-Hadi>s\. t.th. Da>r al-Fikr.
an-Naisa>bu>ri>, Abu> Bakrin bin Ish}a>q bin Khazaimah al-Mugi>rah bin S}a>lih bin Bakrin as-Sulmi>. S}ahih Ibnu Khazimah. t.th. Juz. 4. Al-Maktabu al-Islami>: Bairu>t.
as-Suyu>t}i>, 'Abdurrah}man bin Abi> Bakri Jala>luddin. Mu'jam Maqa>li>du al-'Ulu>m fi> al-Hudu>di Warrasu>m. 2004. Juz. I. Cet. Ke-I. Khairo: Maktabah al-a<da>b
as-Syaiba>ni>, Abu> al-Ima>m Ah}mad bin H}ambal bin Hila>l bin Asadda. Musnad al-Ima>m Ahma>d bin H}ambal. 2001. Juz. VII. Cet. Ke-I: Muassasa ar-Risa>lah.
at-Taji>bi>, Al-Qasim bin Yusuf bin Muh}ammad bin 'Ali.> Barna>mij at-Taji>bi>. 1981. Juz. I. Tu>nis: Da>r al-Arabiyah li al-Kita>b.
H}asan, A. Qadir. Ilmu Must}alah Hadi>s\.  2007. Bandung: Diponegoro.
I>sa>, Muhammad Ibnu I>sa> bin Saurah bin Mu>sa> bin D{ah{a>k at-Tirmidzi>. Sunan at-Tirmidzi>. 1975. Juz. IV. Cet. Ke-II. Syirkatun Maktabatun: Mesi>r.
Isma’il, Syuhu>di. kaedah Kes}ah}ihan H}adi>s\. 1995. Cet. Ke-II. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Isma>'il, Muh}ammad Syuhu>di. Pengantar Ilmu H}adis\. 1994. Bandung: Angkasa.
'Itr, Nuruddin. 'Ulumul Hadi>s\. 2012. Cet. Ke-II. Bandung: Da>r al-Fikr Damaskus.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadi>s\. 2007. Cet. Ke-III. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kas\i>r, Al-H}afi>z Ibnu. Al-Ba'is\u al-H}usais\u Syarah Ikhtis}ar 'Ulu>m al-H}adi>s\.  1958. Bairu>t: al-Kitab al-Ilmiah.
kho>n, Abdul Majid. 'Ulumul Ha>dis\.  2010. Cet. Ke-IV. Jakarta: Amzah.
Khon, Abdul Majid. ‘Ulu>mul H}adi>s\. 2012. Cet. Ke-I. Jakarta: Amzah.
Lajnah. Al-Qur'a>n Terjemah dan Tafsir Per kata. 2010. Bandung: jabal.
M. Jayadi. Metodologi Kajian Hadi>s\. 2012. Cet. Ke-I. Makassar: Alauddin University Press.
Mat}bi>r, Sulaima>n Ibnu Ahmad Ibnu Ayyu>b Ibnu. al-Mu'jam al-Kabi>r. 1994. Juz. XXV. Cet. Ke-II; Da>r an-Nasyir Maktabah Ibnu Taimiyah al-Qa>hirah.
Muhammad, S}adaruddin bin abu> T}ahir Assa Lafi> Ahmad. At-Tuyu>riya>t. 2004. Juz. III, Cet. Ke-I; Maktabah Adu>a as-Salafi.
Mustapa H}asan. Ilmu H}adi>s\. 2012. Cet. ke-I. Bandung: CV Pustaka Setia.
Suparta, Munzeir. Ilmu H}adi>s\. 2013. Cet. Ke-VIII. Jakarta: Rajawali Press.
Syu'bah, Abu> ‘Us\ma>n Sa'id bin Mans}ur. At-Tasi>r min Sunan Sa'id. 1997. Juz. I. Cet. Ke-I: Da>r As-Sami>'i> li An-Nasyir wa At-Tu>zi>'.
Yunus, Mah}mud. Kamus Arab-Indonesia. t.th. Jakarta.
Zakariyya>h, Abi> al-H}usain Ah}mad bin Faris. Maqayisi al-Lugah. 2002. Juz. I. Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab.



[1]M.Jayadi, Metodologi Kajian Hadi>s\, (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 109
[2]Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Cet XIV; PO. BOX 1322, Surabaya 6000-Indonesia 1997), h. 551 
[3]Mustapa H}asan, Ilmu H}adi>s\, (Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 277. 
[4]As-Syaikh ‘Abdu al-Gani> ad-Dukri, Mu’jam al-Qawa’id al-Arabiyah, Juz.VI. t.d, h. 48.
[5]Abi> al-H}usain Ah}mad bin Faris bin Zakariyya>h, Maqayisi al-Lugah, Juz. I. (Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 2002), h. 91.
[6]Abu> al-H}asan 'Ali> bin 'Umar bin Ah}mad bin Mahdi> bin Mas'u>d bin an-Nu'ma>n bin di>na>r al-Bahda>di> ad-Da>raqutni>, Sunan ad-Da>raqutni>, Juz. IV. (Cet. I; Bairu>t Libano>n: Muassasah ar-Risa>lah, 2004), h. 163.

[7]Muh}ammad Alawi al-Mali>ki, Ilmu Us}ul Hadi>s\, (Angkasa, t.th), h. 53.
[8]Abdul Majid kho>n, 'Ulumul Ha>dis\, (Cet. IV; Jakarta: Amzah, 2010), h. 41.
[9]M. Abduh Al-Ma>nar, Pengantar Ilmu Hadi>s\ (Cet. I; Jakarta: Referensi, 2-12), h.25.
[10]Muhammad Ibnu Isma>'i>l Abu Abdillah al Bukhori> al-Ji'fi, al-Jami>' al-Musnad al-S{ahi>hu al-Muktasiru> Min Umi>ru Rosulullah Saw. Juz I. (Cet. I; Da>r H}auki al-Naja>h, 1422 H), h. 30.
[11] Ma>lik Ibnu Anas Abu Abdilla>h al- As}bah}i>, Muwat}a al-Ima>mu Ma>lik, Juz. III, (Cet. I; Damasyqu: Da>r al-Qolam, 1991), h. 60.
[12]Abu> Bakrin bin Ish}a>q bin Khazaimah al-Mugi>rah bin S}a>lih bin Bakrin as-Sulmi> an-Naisa>bu>ri>, S}ahih Ibnu Khazimah, Juz. 4. (Al-Maktabu al-Islami>: Bairu>t), h. 227.
[13]Syuhu>di Isma’il, kaedah Kes}ah}ihan H}adi>s\, (Cet. II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 38.
[14]Muh}ammad Syuhu>di Isma>'il, Pengantar Ilmu H}adis\, (Bandung: Angkasa, 1994), h. 87.
[15]Lajnah, Al-Qur'a>n Terjemah dan Tafsir Per kata, (Bandung: jabal,2010), h.262.
[16]Munzeir Suparta, Ilmu H}adi>s\, (Cet. VIII; Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 195.
[17]Sa'i>d 'Ali> bin Muh}ammad bin 'Ali> al-H}usain al-Jorja>ni>, Risa>lah fi> Ilmi Us}u>l al-Hadi>s\ (Cet. I; Bairu>t: Da>r Ibnu Hazmi, 1992), h. 76.
[18]Al-Qasim bin Yusuf bin Muh}ammad bin 'Ali> at-Taji>bi>, Barna>mij at-Taji>bi>, Juz. I. (Tu>nis; Da>r al-Arabiyah li al-Kita>b, 1981), h. 198.

[19]A. Qadir H}asan, Ilmu Must}alah Hadi>s\,  (Bandung: Diponegoro, 2007), h. 369.
[20]Nuruddin 'Itr, 'Ulumul Hadi>s\, (Cet. II; Bandung: Da>r al-Fikr Damaskus, 2012), h. 205.
[21]Abdul Majid Khon, ‘Ulu>mul H}adi>s\, (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2012), h. 110.
[22]Subh}i al-Siyali>h, 'Ulu>mu al-Hadis\ wa Must}alah}u>h (Cet. I; Bairu>t: Da>r al-'Ilmu al-Malayi>n, 1959), h.90.
[23]Al-H}afi>z Ibnu Kas\i>r, Al-Ba'is\u al-H}usais\u Syarah Ikhtis}ar 'Ulu>m al-H}adi>s\ (Bairu>t: al-Kitab al-Ilmiah, 1958), h.123.
[24]Abu Bakrin bin Abi> Syaibah 'Abdullah,  As\ar, Juz VII, (Cet. I; Maktabah ar-Rusdy, 1409 H), h. 200.
[25]Sulaima>n Ibnu Ahmad Ibnu Ayyu>b Ibnu Mat}bi>r, al-Mu'jam al-Kabi>r, Juz. XXV (Cet. II; Da>r an-Nasyir Maktabah Ibnu Taimiyah al-Qa>hirah, 1994), h.12.

[26]S}adaruddin bin abu> T}ahir Assa Lafi> Ahmad bin Muhammad, At-Tuyu>riya>t, Juz. III, (Cet. I; Maktabah Adu>a as-Salafi, 2004), h. 54.
[27]Muhammad Ibnu I>sa> bin Saurah bin Mu>sa> bin D{ah{a>k at-Tirmidzi> bin I>sa>, Sunan at-Tirmidzi>, Juz. IV (Cet. II; Syirkatun Maktabatun: Mesi>r, 1975), h.174.  
[28]Muh}ammhad bin H}ibba>n bin Ah}mad bin H}ibba>n bin Mu'a>dz bin bin Ma'bud at-Tami>mi> Abu> Hati>m ad-Dari>mi> al-Busti>, Al-Ih}sa>n fi> Taqri>r S}ahih Ibnu Hibba>n, Juz. XIII. (Cet. I; Muassasah ar-Risalah: Bairu>t, 1988), h. 6.
[29]Muh}ammad Makrum bin Maz}ur al-Fariqi> al-Mis}ri>, Lisa>n al-'Arab, Juz. VII. (Bairu>t: Da>r S}adar, t.th), h. 165.
[30]Mah}mud al-T{ah}a>n, Taisi>r Must}ala>h}u al-Hadi>s\ (Da>r al-Fikr, t.th.), h. 132.
[31]Abu> al-Ima>m Ah}mad bin H}ambal bin Hila>l bin Asadda as-Syaiba>ni>, Musnad al-Ima>m Ahma>d bin H}ambal, Juz. VII. (Cet. I; Muassasa ar-Risa>lah, 2001), h. 292.
[32]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadi>s\, (Cet. III; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h. 81.
[33]Abu> ‘Us\ma>n Sa'id bin Mans}ur bin Syu'bah, At-Tasi>r min Sunan Sa'id, Juz. I. (Cet. I; Da>r As-Sami>'i> li An-Nasyir wa At-Tu>zi>', 1997), h. 65.
[34]Syaikh Manna' al- Qat}a>n, Pengantar Studi Ilmu Hadi>s\, (Cet. VII; Jakarta Timur: Pustaka al-Kaus\ar, 2013), h. 184.
[35]'Ali> bin al-Ja'd bin 'Ubaidi al-Jauhari> al-Bagda>di>, Musnad Ibnu al-Ja'd, Juz. I. (Cet. I; Bairu>t: Muassasa Nadir, 1990), h. 165.

[36]Abu> al-Fida>I al-H}a>fiz bin kais\ir ad-Dimasyqi>, Ikhtis}aruh 'Ulu>mu al-H}adi>s\ (Cet. I: Bairu>t: Da>r al-Kitabu al-Ilmiah, 1989), h. 84.
[37]‘Abdurrah}man bin Abi> Bakri Jala>luddin as-Suyu>t}i>, Mu'jam Maqa>li>du al-'Ulu>m fi> al-Hudu>di Warrasu>m, Juz. I. (Cet. I; Khairo: Maktabah al-a<da>b, 2004), h. 138.
[38]Mah}mud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta. t.d), h. 492.
[39]Abu> Abdullah bin Sala>mah bin Ja'far bin 'Ali>, Mus}nad As-Syihab, Juz. II. (Bairu>t: Muassasa Ar-Riasa>lah, 1986), h. 305.
[40]Ibnu Hajar al-Asqalani, Fatul Ba>ri>, Juz. IX, h. 250, t.d

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Translate

Pengikut

 
back to top