BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tah}ammul al-H}adi>s\ dan Ada>'
al-H}adi>s\
hadis yang termaktub dalam
kitab-kitab hadis, misalnya S}ahi>h al-Bukho>ri>, S}ahi>h
Muslim, Sunan Abi> Da>ud, Sunan at-Turmu>zi>, Sunan Ibnu Ma>jah}
dan Musnad al-Imam Ah}mad Ibn H}ambal adalah hasil dari proses kegiatan
yang diberi nama periwayatan.[1]
Secara etimologi, al-Riwa>yah (periwayatan).[2]
Berarti, "kabar, berita, kisah, cerita, keterangan , penjelasan."
Adapula yang mengartikan, “menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang
lain”.[3]
Sedangkan yang dimaksud periwayatan adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian
serta penyandarannya kepada rangkaian periwayatan periwayatannya (sanadnya)
dengan bentuk-bentuk tertentu.
Secara etimologi, tah}ammul merupakan masdar dari fi'il
mad}i tah}mala (تحمل-يتحمل-تحمل) yang mempunyai arti menaggung, membawa, dan menerima,
juga dapat bermakna “sesuatu yang diperbincangkan secara terus-menerus”.[4]
Berarti tah}ammul al-h}adi>s\ menurut bahasa adalah menerima hadis
atau menanggung hadis. Sedangkan tah}ammul al-ha>di>s\ menurut
istilah ulama ahli hadis, sebagaimana tertulis dalam kitab Taisi>r
Must}alah H}adi>s\ adalah Tah}ammul
artinya menerima hadis dan
mengambilnya dari para Syaikh atau guru."
اتحمل:معناه تلقي الحديث واخذه عن الشيوخ
Sedangkan pengertian ada>’ secara etimologi merupakan
asal kata dari ( يؤدى اداء ادى) yang
berarti menyerap sesuatu dari sesuatu atau pemberian yang melahirkan keindahan.[5]
Secara terminelogi adalah
الاداء:
رواية الحديث واعطاؤه الطلاب
"meriwayatkan hadis dan
memberikannya pada para murid."
Ulama hadis sejak dahulu telah menjelaskan
bagaimana hadis itu bisa didapat oleh seorang rawi dari gurunya, syarat-ayarat
apa saja yang harus dipenuhi oleh orang yang mendengar hadis dan
menyampaikannya kembali, serta lafadz yang digunakan dalam menyampaikan hadis
Hal ini tidak lain untuk memastikan
bersambungnya hadis sampai kepada Nabi saw., sehingga akan hilang keraguan
dalam diri dan yakin bahwa suatu hadis benar-benar datang dari Nabi saw. Hal
itu menunjukkan bahwa begitu telitinya ulama hadis dalam menyeleksi kebenaran
datangnya suatu hadis.
1. Syarat-syarat Tah}ammulul h}adi>s\
1) Penerima harus d}abit
2) Berakal sempurna
3) Tamyi>z
Syarat
yang pertama perawi dalam tah}ammul al-h}adi>s\ adalah tamyi>z.
Menurut al-H}a>fidz Musa bin Ha>run al-H}amal seorang anak disebut tamyi>z jika sudah mampu untuk membedakan antara Sapi
dan Khimar. Menurut Imam Ah}mad, ukuran tamyi>z adalah adanya kemampuan menghafal yang
didengar dan mengingat yang dihafal. Adapun juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyi>z adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan
kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.
Jumhur
ulama hadis memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyi>z.
Untuk batasan minimal seseorang bias dikatakan tamyi>z dalam hal ini ulama hadis pun masih berbeda
pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia lima tahun atau sepuluh tahun, atau
berusia dua puluh tahun, bahkan ada yang mengatakan minimal berusia tiga puluh
tahun.
Beberapa
ulama hadis masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadis,
mayoritas ulama hadis menganggap mereka boleh menerima riwayat hadis, sementara
yang lain berpendapat bahwa hadis yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi
yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan oleh
jumhur ulama dikarenakan banyak para sahabat atau tabi'in yang menerima hadis
yang diriwayatkan oleh H}asan, H}usein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas
dan lain-lain. Tanpa membedakan mana hadis yang mereka terima ketika masih
kecil dan yang setelahnya.
2. Sedangkan syarat-syarat ada>'
al-h}adi>s\ yaitu:
1) Islam
Pada
waktu periwayatan hadis, seorang perawi harus muslim. Menurut ijma',
periwayatan orang kafir dianggap tidak sah. Terhadap perawi yang fasik. Dalam
kaitannya dengan masalah ini, Allah swt., berfirman dalam QS.
Al-Hujura>t/49: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Jika orang yang fasik
datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu
tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecorobohan), yang akhirnya
kamu menyesali per buatan itu." (Departemen Agama RI.)
2) Baligh
Baligh yang dimaksud ialah perawinya cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadis walaupun dalam periwayatannya itu sebelum baligh, hal
ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ , عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ ,
وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ , وَعَنِ الصَّبِيِّ[6]
Artinya: "Hilanglah kewajiban menjalankan
syariat Ialam dari tiga gelongan, yaitu orang gila sampai ia sembuh, orang yang
lupa sampai ingatannya kembali, dan orang tidur sampai ia bangung."
3) 'Ada>lah
'Ada>lah yang dimaksud ialah suatu sifat yang melekat pada
jiwa seseorang sehingga ia tetap takwa, menjaga kepribadian dan percaya pada
diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian
dosa kecil, menjauhkan diri dari hal-hal mubah yang tergolong kurang baik, dan
selalu menjaga kepribadiannya.
4) D}abit
D}abit ialah teringat perawi ketika ia mendengar hadis
dan memahami apa yang didengarnya dan dihafal sejak ia menerima sampai
menyampaikannya. Cara untuk mengetahui ke-d}abit-an perawi adalah dengan
jalan i'tiba>r terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang s\iqat
dan memberi keyakinan.
Ada yang mengatakan bahwa di samping syarat-syarat sebagaimana
disebutkan diatas, ada persyaratan lainnya, yaitu lantara suatu perawi dan
perawi lain harus bersambung dan muttasilus sanad, hadis yang
disampaikan itu tidak sya>dz, tidak bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tingkat kepercayaannya lebih tinggi.[7]
Periwayat yang belajar atau
menerima hadis dari periwayat yang lain, tetapi tidak mengajarkannya atau tidak
menyampaikannya kepada periwayat lain tidak dapat disebut periwayat hadis. Kalau periwayat
hadis kemudian menyampaikannya kepada periwayat lain tetapi tidak disampaikan
bersama dengan sanadnya, maka periwayat tersebut tidak dapat dikatakan
periwayat hadis. Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam proses
kegiatan periwayat hadis, yaitu:
ü Kegiatan belajar atau menerima
hadis
ü Kegiatan mengajar atau
menyampaikan hadis
ü Kegiatan ketika mengajarkan
atau menyampaikan hadis- hadis yang disertakan dengan sanad.
Belajar atau penerimaan hadis disebut oleh
ulama hadis dengan istilah al-tah}a>mmul dan mengajar atau
menyampaikan hadis disebut al-ada>'.
Orang yang menyampaikan hadis
disebut periwayat (ra>wi>). Sesuatu yang disampaikan disebut
ma>ta>n. Sedangkan sanad (isna>d) adalah rangkaian nama orang
yang meriwayatkan hadis. Aktivitas penyampaian dan penerimaan (belajar mengajar) hadis
disebut tah}ammul wa ada>'. Karena itu, aktivitas dapat dikatakan periwayatan hadis
apabila periwayat melakukan taha>mmul wa ada>' al-Hadis| dan yang
disampaikan itu lengkap sanad dan matanya.
B. Metode yang Digunakan Nabi saw., dalam Menyampaikan
Hadisnya
Nabi saw., menjadi sumber hadis sebagai figur sentral yang mendapat
perhatian para sahabat. Segala aktivitas beliau seperti perkataan, perbuatan,
dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang
tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi
saw., tak jarang mereka bergantian mewakili yang lain kemudian disampaikan apa
yang telah diperolehnya di majelis tersebut karena tidak seluruhnya dapat
menemani Nabi.[8] Seperti yang pernah
dikatakan Anas bin Malik, kami banyak berada disekitar Nabi., sehingga kami
banyak mendengar hadis darinya, dan jika kami meninggalkannya kami akan
mengulanginya sehingga hadis itu kami hafalkan.[9]
Oleh karena itu, dalam menyampaikan hadisnya Nabi mempunyai beberapa metode.
Diantara metode yang dipakai Nabi
Muhammad Saw. Dalam mengajarkan atau menyampaikan (al-ada>') hadisnya
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1.
Pengajaran Secara Verbal (lisan)
Nabi Muhammad Saw. Pada
hakekatnya adalah guru dari hadisnya. Nabi sering mengulang-ulangi masalah
penting yang diajarkan kepada sahabatnya. Anas Ibnu Ma>lik menginformasikan dengan
katanya,
عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ «إِذَا سَلَّمَ سَلَّمَ ثَلاَثًا،
وَإِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَعَادَهَا ثَلاَثا[10]
Artinya: “Nabi Saw. Apaila memberi salam
mengulangi tiga kali dan apabila berbicara mengulangi tiga kali.”
Sesudah Nabi Saw. Mengajar
sahabatnya sering kali mengevaluasi apa yang mereka telah pelajari dari Nabi
Saw. Juga Nabi Saw., Sering kali menanyakan kepada mereka apa yang mereka telah pelajari dan
ketahui.
2.
Pengajaran Secara Terulis
Semua surat-surat Nabi Saw., Yang dikirim kepada
raja-raja, panglima pasukan, komandang tentara dan gubernur dapat dikategorikan
pengajaran hadis Nabi Saw. Secara tertulis, isi surat-surat Nabi Saw. Banyak
terkait dengan masalah hukum seperti zakat dan ibadah. Sebagaiman diketahui
bahwa Nabi Saw. Mempunyai sekretaris yang jumlahnya lebih dari empat puluh
orang yang menuliska untuknya dalam suatu kesempatan. Dalam hal ini termasuk
hasil tulisan 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash dan 'Ali> bin Abi> T}a>lib dan khutbah Nabi Saw. Yang
ditulis untuk Abu Syah al-Anbari>, penguasa Yaman. Pengajaran Secara Demonstrasi.
Semua amal perbuatan dan
aktivitas Nabi Saw., mulai diangkat menjadi nabi dan
rasul sampai meninggal adalah hadisnya. Nabi Saw., mengajarkannya dan memberi contoh tata cara berwud}u,
s}alat, h}a>ji, puasa dan lain-lain sebagainya. Nabi Saw., memberi pengajaran agar diikuti segala aktivitasnya.
Diantara Nabi Saw. Pernah bersabda,
صلوا
كما رأيتموني أصلي[11]
Artinya:
“S}alat kalian sebagaimana kamu melihat saya s}alat.”
Nabi
saw., juga besabda,
لتأخذوا
مناسككم فانى لاادرى لعلى لااحج بعد حجتى هذه[12]
Artinya:
“Pelajarilah daripadaku ritual-ritual haji, karena sesungguhnya saya tidak
tahu apakah saya dapat haji sesudah tahun ini.”
C.
Metode Sahabat Menerima Hadis Nabi Muhammad saw.
Sahabat Nabi Saw., menggunakan tidak kurang dari
tiga macam metode belajar atau menerima hadis (al-Tah}ammul), yaitu:
a.
Hafalan
Biasanya sahabat ketika
belajar hadis duduk melingkar didalam mesjid. Mereka menyimak dan mendengarkannya
dari Nabi Saw., dengan penuh perhatian. Setelah
itu mereka menghafalnya. Dalam hal ini, Anas Ibnu Ma>lik menjelaskan dan
menyatakan, "kami duduk bersama Rosulullah Saw., jumlah kami mencapai
sekitar enam puluh orang. Nabi Saw., mengajar kami hadis. Kemudian, ketika Nabi Saw., memohon diri keluar untuk suatu
keperluan, kami biasanya menghafal apa yang baru kami dapatkan secara bergantian.
Diwaktu kami meninggalkan mesjid, hadis yang kami dapatkan telah melekat dihati
kami masing-masing."
Sebagaimana manusia lainnya,
sahabat mengalami juga masalah hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
Oleh karena itu, tidak mungkin seluruh sahabat menghadiri pengajaran Nabi Saw.,
sebagai contoh, sebagaimana telah dikemukakan 'Umar Ibnu Khat}a>b bergantian
dengan tetangganya datang menemui Nabi Saw. Untuk mendapatkan pengajaran.
Dengan demikian ada sahabat yang mempelajari hadis dari sahabat lainnya,[13]
tidak langsung dari Nabi Saw.
b.
Catatan.
Diantara sahabat Nabi Saw., ada yang mempelajari hadis
melalui catatannya. Banyak sahabat yang mempunyai catatan hadis yang tersusun
rapih. Diantara mereka adalah Abdullah Ibnu 'Amr Ibnu al-'Ash dan 'Ali> Ibnu
Abi> T}a>lib.
c.
Praktik
Sahabat Nabi Saw., mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya. Hal ini
disadari oleh mereka bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam bukan hanya untuk
dipelajari tapi juga untuk diamalkan dan dipraktekkan. Sebagai contoh Ibnu
'Umar butuh delapan tahun untuk mempelajari dan mempraktekkan surah al-Baqarah.
Cara-cara sahabat menyampaikan hadis atau periwayatan
hadis kepada sahabat lainnya yang tidak menghadiri pada saat Nabi menyampaikan
, hadisnya, atau kepada para tabi’in, berbeda dengan cara menyampaikan wahyu
al-Qur’an.[14]
Untuk menyampaikan wahyu al-Qur’an, para sahabat menyampaikannya secara
lafdzy (secara harfiah) sebagaimana yang mereka terima dari Nabi, sedang
untuk hadis, tidak mutlak demikian.
Hal ini dapat dimengerti, sebab ayat-ayat al-Qur’an adalah wahyu Allah
swt., dan mu’jizat yang harus dipelihara, bukan hanya dari segi maknanya saja,
tetapi juga susunan kalimat dan kata-kxatanya.
Hal ini dapat berlangsung,
karena mu’jizat al-Qur’an itu, telah dijamin pemeliharaan orisanilistas
periwayatan oleh Allah swt., sebagaimana firman Allah swt., dalam QS.
Al-Hijr/15: 9
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[15]
Artinya: "Sesungguhnya kamilah
yang telah menurunkan al-Qur'an dan sungguh kami pulalah yang akan
menjaganya." (Departemen Agama RI).
Adapun tentang periwayatan hadis
oleh para sahabat, dilakukan dengan dua cara, yaitu:
Secara
lafdziyah ialah menurut lafadz yang mereka terima dari Nabi saw., jadi secara
direct. Para sahabat dapat melaksanakan cara ini, karena mereka, selain kuat
ingatan, juga setel;ah menerima hadis Nabi, lali mempelajari dan mengulanginya
dengan jiwa p[enuh ketaatan dan penuh konsentrasi. Periwayatan hadis secara
lafdziyah ini, sudah barang tentu untuk hadis-hadis qauliyah saja. Sedang hadis-hadis
yang fi’liyah, dan taqririyah, karena sifatnya, tidak dapat disampaikan secara
lafdziyah.
Hadis tersebut disampaikan oleh
sahabat dengan mengemukakan maknanya saja, tidak menurut lafadz-lafadz seperti
yang diucapkan oleh Rasul. Jadi, bahasa lafadz disusun oleh sahabat, sedang
isinya berasal dari Nabi saw., karena itu, banyak hadis yang mempunyai maksud
yang sama tetapi dengan matan yang berbeda. Menurut, H}asbi>
As-S}iddi>qi>, bahwa yang penting dari hadis, ialah isinya. Sedang bahasa
dan lafadznya, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya tidak berbeda.
D.
Penerimaan Anak-anak, orang
Kafir dan orang Fasik
Jumhur ulama ahli hadis
berpendapat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum
sampai umur (belum Mukallaf) dianggap
sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu
sudah mukallaf.[16]
Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ilmu setelahnya yang
menerima periwayatan hadis seperti H}asan, Abdullah bin Zubeir, Ibnu Abbas[17] dan lain-lain dengan
tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum. Namun mereka
berbeda pendapat mengenai batas minimal anak yang diperbolehkan ber-tah}ammul,
sebab permasalahan ini tidak lepas dari ke-tamyi>z-an anak tersebut.
Al-Qad}i ‘Iya>dh menetapkan
bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan ber-tah}ammul paling tidak
sudah berusia lima tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa
yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada
hadis riwayat Bukha>ri> dari sahabat Mah}mu>d bin al-Ruba>i’:
عَقَلْتُ مِنَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجَّهُ مَجَّهَا فِي وَجْهِي،
وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ[18]
Artinya:
“saya mengingat Nabi saw., meludahkan hadis yang diambilnya dari timba ke
mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun.”
Abu ‘Abdullah al-Zuba>’i
mengatakan, sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadis pada saat usia mereka
telah mengcapai umur sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah
dianggap sempurna, dalam arti mereka telah mencapai kemampuan untuk menghafal
dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa. Yahya bin Ma>’in
menetapkan usia lima belas tahun, berdasarkan hadis Ibnu ‘Umar: “saya
dihadapkan kepada Rosulullah saw., pada waktu perang Uhud, disaat itu saya
masih berusia empat belas tahun, beliau tidak memperkenangkan aku. Kemudian aku
dihadapkan pada Nabi saw., pada waktu perang Khandaq, diasaat yang berumur lima
belas tahun dan beliau memperkenankan aku.
Sementara ulama Syam memandang
usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadis setelah berusia tiga
puluh tahun, dan ulama Kufa berpendapat minimal berusia dua puluh tahun.
Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan
batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan ber-tah}ammul, akan
tetapi lebih menitikberatkan pada ke-tamyi>z-an mereka. Namun mereka
juga berpendapat tentang ke-tamyi>z-an tersebut. Ada yang mengatakan
bahwa anak sudah dikategorikan tamyi>z apabila anak tersebut sudah
mampu membedakan antara al-baqarah dan al-himar, seperti ungkapan oleh al-H}a>fidz
bin Musa bin Ha>run al-Hammal. Menurut Imam Ah}mad, bahwa ukuran tamyi>z
adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal,ada
juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan ukuran ke-tamyi>z-an
seorang itu bukan berdasarkan usia mereka, akan tetapi dilihat dari “apakah
anak itu memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar atau
tidak."
Terjadinya perbedaan pendapat
ulama mengenai ke-tamyi>z-an seorang tidak terlepas dari kondisi yang
mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan pada usianya, sebab bisa saja
seseorang pada usia tertentu, karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi, dia
sudah mumayiz, sementara seseorang pada usia yang sama, karena situasi
dan kondisi yang mempengaruhi berbeda, dia belum mumayiz. Oleh karenanya, ke-tamyi>z-an
seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan menangkap
dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta
adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.
Mengenai penerimaan hadis bagi orang
yang kafir dan fasik, jumhur ulama ahli hadis menganggap sah, asalkan hadis
tersebut diriwayatkan pada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan
bertaubat.[19]
Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan
banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi saw., sebelum mereka masuk Islam.
Di antara sahabat yang mendengar sabda Nabi saw., pada waktu belum masuk Islam
adalah sahabat Zubair. Dia pernah mendengar Rasul saw., membaca surat al-Tu>r
pada waktu s}alat magri>b, ketika dia tiba di Madi>nah untuk
menyelesaikan urusan perang Badar, dalam kedaan masih kafir. Akhirnya dia masuk
Islam, bila penerima hadis-hadis oleh orang kafir yang kemudian disampaikan
setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah barang tentu dianggap sah
penerimaan hadis oleh orang fasik yang diriwayatkan ssetelah dia bertobat.
E.
Tata Cara Mendengarkan, Menerima, dan Menghafalkan Hadis
1. Kecakapan menerima hadis
Para ulama berbeda pendapat
tentang kecakapan seseorang bahwa hadis, tetapi dapat kami simpulkan dalam suatu redaksi yang
mencakup semua pendapat itu. Kesimpulan itu adalah pokok kecakapan dan keahlian
menerima hadis menurut jumhur adalah tamyi>z, yaitu suatu kemampuan
yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang
didengarnya[20].
Banyak Muh}addis|in yang menetapkan batas minimal
umur orang tersebut lima tahun. Pendapat ini dinisbatkan oleh Qad{i Iya>dh
kepada ahli hadis.
Ibnu al-S{alah berkata. "pemberian batas umur
lima tahun itu adalah pendapat yang ditetapkan oleh tindakan ahli hadis
mutakhir. Mereka menyebut kegiatan anak yang berumur lima tahun atau lebih
dalam mengikuti pengajian hadis dengan sami'a (ia mendengar), sedangkan bagi
anak yang dibawah umur lima tahun dengan h}ad{ara> (ia hadir) atau uh}d{irah
(ia diajak menghadiri)."
Hal ini mengingatkan pada kita tentang istilah yang
kita jumpai dalam menuskrip-menuskrip, tentang daftar pendengar para ulama dan
keterangan tentang nama para pendengarnya. Sehubungan dengan hal itu mereka pun
berkata, "kitab ini pernah didengar oleh fula>n dan fula>n,
dan dihadiri oleh fula>n."
Akan tetapi, penelitian yang saksama tentang hal
ini menunjukkan bahwa tolak ukur kecakapan menerima hadis adalah tamyi>z,
sebagaimana kami jelaskan dimuka. Inilah pendapat jumhur dan inilah pendapat yang
sahih dan dapat diikuti. Adapun pembatasan umur lima
tahun itu tidak menafikkan pendapat tersebut. Qad{i 'Iya>dh berkata, "barangkali mereka memandang bahwa usia lima tahun itu
merupakan usia minimal bagi seseorang untuk dapat menghafalkan dan memahami apa
yang didengarnya. Apabila bukan itu alasannya; maka batas usia tamyi>z
itu dikembalikan pada adat banyak sekali orang yang lamban pikirannya dan jelek
daya nalarnya tidak dapat menghafal suatu apapun setelah umur tersebut, dan
banyak pula orang yang cerdas pikirannya dan bagus daya nalarnya telah dapat
paham banyak hal sebelum umur tersebut."
Atas dasar itu, para ulama mengesahkan pendengaran
dan menerima hadis oleh orang kafir dan orang fasik apabila hadis itu
diriwatkannya setelah ia masuk Islam, dan mereka betaubat. Dalam kitab-kitab sunnah
dan sirah terdapat banyak riwayat yang didengar oleh para sahabat, yang
beupa ucapan Nabi saw., atau tindakan-tindakan beliau yang mereka saksikan
sebelum masuk Islam.
Adapun tingkat kesempuranaan dan ketinggian
kecakapan seseorang mendengar hadis itu berpangkal pada kecakapannya memehami fi>qih dan mengamalkan ilmunya. Hal
ini baru akan terjadi pada usia yang cukup tua, setelah orang itu mempelajari
al-Qur'a>n dan dasar-dasar sebagai ilmu.
Abu ‘Abdullah al-Zubairi berkata, "disunnahkan menulis hadis pada usia dua puluh tahun, karena pada umur
itu merupakan masa berkumpulnya kecerdasan pada umur dibawah dua puluh tahun
lebih baik seseorang tekun menghafal al-Qur'an dan ilmu fara'idh." Sufyan al-S|auri dan lainnya berkata,"
apabilaseseorang ingin mencari hadis hendaknya beribadah lebih dahulu dua puluh
tahun."
Pesan-pesan ini tidak menghalangi seseorang
mendengarkan kitab-kitab hadis dan mengambil sanad-sanadnya sejak kecil setelah
ia tamyi>z, sebagaimana yang dijelaskan oleh para imam hadis. Al-Khatib
al-Baghda>di berkata,"oleh karena itu segeralah anak-anak kecil diajak
mendengarkan hadis dari guru-guru yang tinggi ilmu sanadnya.
Para ulama menyebutkan beberapa riwayat
sekitar tindakan umat dalam hal ini, yang menunjukkan betapa besar perhatian
mereka untuk mendapatkan ilmu dan persingain mereka. Hal ini menumbuhkan
semangat, keberanian, dan kecerdasan para tunas-tunas muda, yakni anak-anak
kecil.
Al-Khat}ib al-Baghda>di
meriwayatkan dalam al-Kifayah dari Ah{mad bin H{ambal, ia berkata tentang
Sufyan bin Uyai>nah: "ayahnya membawa ke Mekah ketika ia masi kecil. Ia
mendengar fikih dari Amr bin Dinar dan Ibnu Abi Najih. Setiap kali ia bergabung
dengan seseorang, ia senantiasa mendahului."waktu itu Sufyan memekai
anting emas ditelinganya karena masih kecil. Dikatakan kepada
al-A'ma>sy,"anak-anak itu mengelilingimu,"ia menjawab,
"Diamlah. Mereka menjaga agamamu untukmu."
Qad{i ‘Abdullah bin Muh{ammad al-As}bah}ani
berkata, "aku telah menghafal al-Qur'an ketika berumur lima tahun. Aku
pernah dibawah kepada Abu Bakar al-Buqri' agar aku mendengarkan al-Qur'an
darinya ketika aku berusia empat tahun sebagaiman hadirin berkata, "jangan
kau dengar apa yang dia baca karena ia masih kecil." Maka Ibnu Muqri
berkata kepadaku,"bacalah surah al-Ka>firu>n~!" maka aku
membacanya. Lalu ia berkata,"bacalah surah al-Takwi>r!" maka aku
membacanya. Yang lain berkata, "bacalah surah al-Mursala>t!" maka
aku membacanya tanpa kesalahan sedikitpun. Maka Ibnu berkata,
"dengarkanlah dan aku yang bertanggung jawab.
Inilah kasus yang paling jarang didengar dalam hal
hafalan dan kepandaian anak kecil sepanjang sejarah, dan hal ini menjadi suatu
bukti yang akurat akan adanya kompetisi penguasa ilmu dikalangan umat Islam
waktu itu, terutama ilmu syri>at dan lebih khusus al-Qur'a>n
dan ha>dis\\. Sehigga penguasa ilmu syari>at dalam pandangan
mereka adalah suatu keharusan yang diprioritaskan diatas segalanya.
Begitulah, dengan seberkas ilmu syariat dan dengan
penerangan lentera hidayah, mereka menekuni berbagai bidang ilmu, sehingga
mereka dapat mendahului umat-umat lain, sekaligus sebagai pelopor kemajuan.
Ibnu Rusyd al-H{afi>zh, sebagai contoh, adalah seorang pakar dalam filsafat,
sains, fikih, dan ijtihad. Ibnu al-Na>fis adalah seorang ahli dan penemu ilmu
optik dan seorang faqih mazhab Syafi>'i yang terpandang, disebutkan oleh
al-Subki dalam t}abaqat al-Syafi'i>yah. Dan masih banyak lagi yang
riwayat hidupnya dengan jelas membuktikan kepada kita akan kebangkitan ilmiah
secara menyeluruh dalam naungan kemajan Islam.
2.
Cara-cara penerimaan hadis
Para ulama mengidentifikasi cara pengambilan dan
penerimaan hadis dari para rawi menjadi delapan macam. Mereka mengupas dan
menjelaskan hukum-hukumnya secara panjang lebar, dan garis besarnya sebagai
berikut.
1)
Al-sima' (mendengarkan hadis dari guru)
Al-Sima' (السماع) artinya seorang murid mendengarkan penyampaian
hadis dari seorang guru (Syaikh) secara langsung.[21]
suatu cara yang ditempuh oleh para muhaddis\in periode pertama untuk
mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad saw., kemudian mereka juga meriwayatkan
kepada generasi berikutnya dengan cara yang sama. Maka tidak heran apabila cara
ini dinilai sebagai cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya.
Demikian menurut pendapat jumhur ulama dari kalangan muhadditsin dan yang
lainnya.
Unsur yang dominan dalam cara
ini adalah mendengarkan bacaan guru, baik dibacakan dengan selintas maupun
dengan didiktekan; dan baik dibacakan dari hafalan sang guru maupun dengan
melihat kitabnya. Semua cara ini menurut mahaddisi|n disebut sima'. Apabila
seseorang menyimak dari gurunya atau dari kitab maka orang yang mendengarkan
berkata haddas\ana>, akhbarana>, sami'tu, qolalana>, z}akaralana>
fula>n,[22]
hal ini bertentangan dengan pendapat Imam Syafi>'i, Imam Muslim,
Sunan an-Nasa'i, dan ini banyak dinukil para muhaddis\in yang mengatakan
bahwa orang yang menyimak dari gurunya boleh mengatakan akhbarana>
dan namun tidak boleh mengatakan hadds\ana.[23] Ada beberapa cara penyampain
dari as-sima>' yaitu,
v
حدثنا : Dia menceritakan kepada
kami.
Contoh:
حَدَّثَنَا
حَفْصٌ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، «أَنَّ
مَسْرُوقًا كَانَ يَقْصُرُ الصَّلَاةَ إِلَى وَاسِطٍ[24]
v
حدثني : Dia menceritakan kepad saya.
Contoh:
حَدَّثَنِي أَبِي، ثنا
هُشَيْمٌ، أنا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:
الطَّعَامُ الَّذِي نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
أَنْ يُبَاعَ حَتَّى يُقْبَضَ [25]
v
سمعنا : kami mendengarkan.
Contoh:
سَمِعْنَا مالك ابن
أنس، إِذَا سُئِلُ فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا عبد الله، فَمَنْ تَرَى أَنْ يأْخُذَ
المَغَازِي؟، وعَمَّنْ تَرَى أَنْ يأخُذَهَا؟، فَقَالَ مَالِك: عَلَيْكُمْ
بِمَغَازِي الشَّيْخُ الصَّالِحُ مُوسَى بن عُقْبَة، فَإِنَّهَا أَصَحُّ
المَغَازِي عِنْدَنَا[26]
v
سمعت : Saya mendengar.
Contoh:
عَنْ مَعْدَانَ
بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَبِي نَجِيحٍ السُّلَمِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَمَى بِسَهْمٍ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ لَهُ عَدْلُ مُحَرَّرٍ[27]
v
قل لي : Dia berkata kepada saya.
Contoh:
قل
لي في الإسلام قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ، قَالَ: "قل:
آمنت بالله، ثم استق[28]
2) Al-Ard{ (membaca hadis dihadapan guru)
Para muhaddis\in menempuh cara ini setelah
pembukaan hadis banyak dilakukan dan tersebar diberbagai tempat. Makna al-Ard} secara etimologi merupakan perbedaan yang panjang kemudian
disatukan.[29] Sedangkan secara terminelogi seorang murid membaca hadis didepan guru
dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dibaca oleh muridnya.
Menurut ulama dikalangan muhaddis\in Al-Ard{ adalah seorang murid
membacakan hadis dihadapan guru,[30] berdasarkan hafalan maupun
dengan melihat kitab. Cara penerimaan ini dibenarkan. Dan periwayatan dengan
cara seperti ini menurut ijma' boleh dilakukan.
Akan tetapi, mereka berselisih
pendapat; apakah cara ini berada pada satu tingkatan dengan al-Sima>', apakah lebih tinggi atau
lebih rendah.
Seorang muh}addsi|n bisa berpendapat bahwa al-Ard}
lebih tinggi dari pada al-Sima>' apabila pencari hadis yang bersangkutan dapat menyadari
kesalahannya dalam membaca hadis itu. Sementara apabila keadaannya berbeda, maka al-Sima>' lebih tinggi.
Al-H{a>fiz bin ‘Abdi
al-Barr meriwatkan dari Ma>lik bahwa ia ditanya,"apakah anda lebih suka
apabila seorang pencari hadis membacakan hadis dihadapan anda ataukah anda
lebih senang apabila pencari hadis membacakan hadis kepadanya!" Ia
menjawab, "aku lebih senang apabila pencari hadis membacakan hadis
dihadapankau apabila bacaannya tepat, karena boleh jadi ia salah atau lupa
terhadap hadis yang dibacakan gurunya. Adapun cara
penyampain ar-Ard}
yaitu,
1. قرات
على فلان : Saya membaca atas fula>n
قَرَأْتُ عَلَى
أَبِي، حَدَّثَكَ عَمْرُو بْنُ مُجَمِّعٍ، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ الْهَجَرِيُّ،
عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " إِذَا أَتَى أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ
بِطَعَامِهِ، فَلْيُدْنِهِ، فَلْيُقْعِدْهُ عَلَيْهِ، أَوْ لِيُلْقِمْهُ؛
فَإِنَّهُ وَلِيَ حَرَّهُ وَدُخَانَهُ[31]
3)
Al-Ija>rah
Al-Ija>rah adalah izin guru hadis kepada
muridnya untuk meriwayatkan hadis[32]
atau kitab yang dirawatkan darinya padahal murid itu tidak mendengar hadis
tersebut atau tidak membaca kitab tersebut dihadapannya. Seperti seorang guru
berkata, "aku memperbolehkan kamu untuk meriwayatkan S}ahih
al-Bukha>ri> atau kitab tentang sumpah dalam S{ahih Muslim.”
Kemudian setelah itu murid tersebut meriwayatkan hadis atau kitab sesuai izinnya tanpa mendengar
sebelumnya atau membaca dihadapannya.
Jumhur ulama muhaddis}in
berpendapat bahwa hal tersebut dibolehkan, namun ahli ilmu hadis menemukan kesulitan
dalam menentukan dalil tentang bolehnya ija>zah.
Para ulama menyandarkan dalil tentang dibolehkannya ija>zah
itu setelah hadis disusun dalam beberapa lembaran atau dikumpulkan menjadi
beberapa kitab. Kitab atau lembaran itupun kemudian diriwayatkan dari para penyusunnya
dengan sanad yang dapat dipercaya berdasarkan pembacaan kitab atau
mendiskusikan lembaran itu dihadapan guru berkenaan dengan naskahnya. Maka
sangatlah berat tanggung jawab seorang alim manakala datang kepadanya salah
seorang pencari hadis untuk membaca kitab dihadapannya, lalu ia pulang dan
berpendapat telah mendapatkan ija>zah darinya.
Jadi sesungguhnya ija>zah
itu lebih identik dengan periwayatan atau pemberitahuan secara global tentang
suatu kitab atau beberapa kitab, bahwasanya semua itu adalah hadis-hadis yang
diriwayatkannya. Ija>zah itu sendiri berfungsi sebagai periwayatan
seluruh isi kitab, mengingat berbagai naskah, karena para penulis hadis dalam
suatu negara telah melakukan pengadaan seperti layaknya para penerbit buku
sekarang.
Oleh karena itu, orang yang menyandang hak ija>zah
tidak boleh meriwayatkan hadisnya
sebelum ia mencocokkan naskahnya dengan naskah penyusunnya atau dengan naskah
yang telah dicocokkan dengannya, dan begitu selanjutnya.
Ija>zah itu banyak ragamnya, sebagaiman dibahas oleh Qad}i
'Iya>dh dalam kitab al-I'la>m dengan pembahasan yang sangat
mendasar. Dalam pembahasannya ia menyebutkan enam bentuk ija>zah.
Kemudian datang Ibnu al-S}alah menyimpulkan pembahasan Qad}i' Iya>dh dan
menambah satu ija>zah lagi, sehingga menjadi tujuh bentuk. Bentuk ija>zah
yang paling tinggi ialah guru meng-ija>zah-kan suatu kitab atas
beberapa kitab tertentu kepada orang-orang tertentu, pada saat kedua pihak
mengetahui kitab tersebut. Dalam ija>zah seperti ini terpenuhi makna i’tiba>r dengan sempurna dan mantap.
Oleh karena itu, para ulama
berkata, "ija>zah itu dipandang baik manakala pihak pemberi ija>zah
mengetahui hadis yang diijaza>h-kan dan pihak yang diberi ija>zah
adalah orang yang berilmu, karena ija>zah itu suatu kemudahan dan
kemurahan yang mestinya diterima oleh orang berilmu karena mereka sangat
memerlukannya.
Hal ini diperkuat oleh Ibnu Abd al-Barr, yang ia menyatakan dalam Jami' al-'Ilmi wa Fad}i>lah. Ringkasannya ialah bahwa ija>zah
ini tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang mahir dalam seluk-beluk
hadis dan mengetahui cara penerimaannya; disampng itu ija>zah harus
diberikan berkenaan dengan hadis tertentu yang dikenal, serta tidak terdapat
persoalan dalam isna>d-nya. Ada beberapa penyampain secara al-Ija>rah.
1. حدثنافلان
اجازة :fula>n menceritakan kepada kami dengan secara Ija>rah.
Contoh:
حَدَّثَنَا
سَعِيدٌ، قَالَ: نا هُشَيْمٌ، عَنِ الْعَوَّامِ، عَنِ المسيِّب بْنِ رَافِعٍ ،
قَالَ: يَجِيءُ الْقُرْآنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَافِعٌ مُطَاعٌ، ومَاحِلٌ مُصَدَّق، فيَشْفَعُ لِصَاحِبِهِ، فَيَقُولُ:
يَا رَبِّ اجْزِهِ؛ فَإِنَّهُ كَانَ يَعْمَلُ بِي، وَيَسْهَرُ بِي، وَيَنْصَبُ
بِي، فَاجْزِهِ[33]
4)
Al-Muna>walah
Penertian al-Muna>walah
menurut muh}addis\in adalah bahwa seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadis kepada muridnya
agar diriwayatkannya dengan sanad darinya.
Dasar dilaksanakannya
muna>walah ini adalah hadis yang dikomentari oleh Bukho>ri dalam
kitab al-I>lm bahwa Rasulullah saw., Pernah menulis surat kepada pimpinan
prajurit sari>yah (pasukan perang yang tidak disertai dengan Nabi saw.) dalam
surat itu, beliau menyatakan, "janganlah engkau membacanya sebelum engkau
sampai ditempat anu dan anu." Ketika sampai ditempat yang ditunjuk itu, ia
membacanya dihadapan prajuritnya dan menyampaikan perintah Nabi saw., Al-Baih{aqi dan
al-Tabra>ni meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang bersambung dan baik.
Al-Bukho>ri berhujjah dengan hadis ini atas kesahihan munawa>lah. Dan
ini pemahaman yang s}ahih, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Suhaili.
Adapun pembagian pembagian al-Muna>walah sebagai berikut.
a.
Muna>walah yang disertai dengan ija>zah. Ini tingkatannya paling
tinggi diantara macam-macam ija>zah secara mutlak. Seperti jika
seorang Syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan
kepadanya: "ini riwayatku dari fula>n, maka riwayatkanlah
dariku." Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau
dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini,
dan tingkatannya lebih rendah dari as-sima>' dan al-qira>'ah.
b.
Muna>walah yang tidak diiringi dengan ija>zah.
Seperti jika seorang Syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan:
"ini adalah riwayatku." Yang semacam ini tidak boleh diriwayatkan
berdasarkan pendapat yang s}ahih[34]. Adapun beberapa penyampaian secara munawalah yaitu,
1. ناولني
فلان :saya
memperoleh dari fula>n
حَدَّثَنَا نَصْرُ
بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، نا أَبِي، نا خَالِدُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ: قَالَ
قَتَادَةُ: " مَا نَسِيتُ شَيْئًا قَطُّ. ثُمَّ قَالَ: يَا غُلَامُ،
نَاوِلْنِي نَعْلِي. قَالَ: نَعْلُكَ فِي رِجْلِكَ[35]
5)
Al-Muka>tabah
Al-Muka>tabah adalah seorang muhaddis\ penulis suatu hadis lalu
mengirimkannya kepada muridnya. Muka>tabah terdiri atas dua macam:
a.
Bentuk pertama, muka>tabah yang disertai
dengan ija>zah. Muka>tabah jenis ini dalam hal kes}ahihan
dan validitasnya merupai muna>walah yang disertai dengan ija>zah.
Bentuk kedua, muka>tabah yang tidak disertai dengan ija>zah.
Pendapat yang s}ah}ih menurut kalangan muh}addis\in membolehkan
periwayatan hadis dengan muka>tabah bentuk kedua ini karena cara ini tidak
berbeda dengan ija>zah, dalam hal banyaknya memberi faedah ilmu.
Banyak dijumpai tindakan ulama salaf dan para guru hadis setelah mereka
mengatakan, "fula>n mengirimkan hadis kepadaku," dan ia
berkata : "fula>n mengabarkan hadis kepadaku." Para
muhaddisi|n sepakat atas kebenaran periwayatan hadis dengan cara demikian dan
mengklasifikasikannya sebagai hadis musnad. Cara periwayatan hadis seperti ini
banyak terdapat dalam sanad-sanad hadis.
6)
Al-'Ila>m
Al-'Ila>m merupakan pemberitahua oleh
seorang muh}addis\ kepada seorang pencari hadis bahwa hadis atau kitab yang
ditunjuknya adalah hadis atau kitab yang telah didengarnya dari seseorang,
tanpa disertai izin periwayatan kepadanya. Bahwa muh}addis\ itu pada saat yang
sama tidak berkata, "riwayatkanlah hadis ini dariku" atau "aku
izinkan kamu meriwayatkannya."
Sebagia tokoh ulama us}ul
berpendapat bahwa periwayatan hadis yang didapat melalui al-'Ila>m
tidak boleh dilakukan. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu al-S}alah. Alasannya
dalam muh}addis\ atau kitab yang ditunjuk itu boleh jadi terdapat kekurangan
yang menyebabkan hadis-hadisnya tidak boleh diriwayatkan begitu saja.
Sebagian besar muh}addis\in,
fuqaha, dan ulama us}ul menperbolehkan periwayatan hadis yang diterima
mulai al-'Ila>m meskipun tidak disertai ija>zah. Pendapat
ini disepakati pula oleh al-Romah{urmuzi. Qad{i 'Iya>dh berkata,
"pendapat ini benar dan tidak ada alternatif lain, karena melarang
seseorang meriwayatka hadis yang telah diriwayatkan bukan karena ada cacat atau
ada keraguan tidak dapat dibenarkan; karena ia benar-benar telah meriwayatkannya
dan tindakannya itu tidak dapat diralat kembali."
Letak kebenaran pendapat Qad{i
'Iya>dh adalah bahwa penerimaan hadis dengan ija>zah itu dipandang
sah karena dalam ija>zah terdapat pemberitahan secara global,
sedangkan al-I'la>m identik dengan ikhbar, bahkan lebih akurat
darinya sebab disertai dengan isyarat terhadap kitab secara jelas dan guru yang
menunjukkan itu berkata, "ini adalah hadis yang aku dengar dari fula>n."
7)
Al-Was{iyah (wasiat)
Wasiat merupakan salah satu
bentuk periwayatan hadis yang dipandang lemah. Bentuk wasiat dalam periwayatan
adalah bahwa seorang muh}addis\ berwasiat kepada seseorang agar
kitab-kitabnya diserahkan kepadanya ketika muh}addis\ itu meninggal atau
bepergian.
Sebagian ulama salaf memberi
kelonggaran kepada orang yang ditunjuk dalam wasiat itu untuk meriwayatkan
kitab-kitab tersebut dari pemberi wasiat sesuai dengan isi wasiatnya,
(periwayatan dengan wasiat)[36] karena dalam penyerahan
kitab-kitab itu terdapat satu bentuk izin dan sedikit menyerupai periwayatan
mulai al-ard} dan al-muna>walah. Jadi, al-wash{iyah mendekati al-I'la>m.
Akan tetapi, Ibnu al-S{alah
tidak sependapat dengan hal ini. Beliau menganggap ada perbedaan yang sangat
jauh antara wasiat dan al-I'la>m, dan beliau tidak membedakan orang yang
berpendapat memperbolehkan wasiat dalam periwayatan hadis. Ia berkata,
"pendapat ini sangat jauh. Barangkali hal ini merupakan kekeliruan seorang
‘alim atau dapat dikatakan bahwa yang dikehendaki adalah periwayatan melalui
jalan al-wija>dah seperti yang akan dijelaskan kemudian."
Pernyataan Ibnu al-S}alah adalah pernyataan yang benar dan akurat, karena
wasiat itu hanya berfungsi sebagai pelimpahan hak milik atas naskah. Jadi,
seperti haknya jual beli dan boleh karenanya wasiat tidak dapat diterima sebagai
ikhbar terhadap izin naskah tersebut.
8)
Al-Wija>dah
Secara etimologi al-Wija>dah merupakan sesuatu yang muncul keluar yang
dijernihkan.[37] Dan juga mempunyai arti menemukan yang
dimaksud.[38] Jadi al-Wija>dah Adalah kasus dimana seseorang menemukan suatu hadis
atau kitab hasil tulisan orang lain lengkap dengan sanadnya.
Orang yang menemukan hadis itu
boleh meriwayatkannya darinya dengan cara menceritakannya, dan untuk itu ia
berkata,
وجدت بخط فلانه, حدثنا فلان
Artinya:
“Aku dapatkan pada tulisan fula>n
bahwasanya fula>n menceritaka kepada kami.”
Contoh,
وَجَدْتُ بِخَطِّ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ الْغَنِيِّ بْنِ
سَعِيدٍ: ثنا يُوسُفُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا هَارُونُ بْنُ يُوسُفَ بْنِ زِيَادٍ،
ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ زَيْدٍ الْعَمِّيُّ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَفَى بِالْمَرْءِ سَعَادَةً أَنْ يُوثَقَ بِهِ فِي أَمْرِ
دِينِهِ وَدُنْيَاهُ[39]
Dapat pula ia berkata, "Fula>n
berkata", apabila padanya tidak terdapat penipuan atau (tadli>s)
dan ucapan itu mengesankan perjumpaan antara pemilik naskah dan orang yang
menemukannya.
Namun, sama sekali ia tidak boleh meriwayatkannya
dengan berkata, "حدثنا"
atau "اخبرنا"
atau kata-kata lain yang menunjukkan ketersambungan sanadnya. Tidak pernah
terjadi seorang ahli ilmu melakukan yang demikian dan mengategorikannya sebagai
hadis musnad, yang bersambung sanadnya.
Kemudian para tokoh ulama hadi>s\, fi>qih,
dan us{ul berbeda pendapat sehubungan dengan hadis yang ditemukan itu
apabila berupa tulisan hasil penelitian seorang imam atau berupa salah satu
kitab sumber yang dapat dipercaya, padahal mereka sepakat bahwa orang yang
menemukan naskah hadis itu tidak boleh meriwayatkannya dengan kata-kata "حدثنا" atau " اخبرنا"
dan sebagainya.
Kebanyakan muhaddis\in dan fuqaha dari kalangan maz\hab
Mali>ki serta kalangan masyarakat lain tidak membolehkan pengamalan
terhadap hadis yang diriwayatkan dengan demikian.
Diriwayatkan dari al-Syafi>'i bahwa ia
memperbolehkam pengamalan terhadapnya, demikian pendapat sekelompok pemikir
diantara murid-muridnya serta para peneliti. Pendapat
inilah yang bisa diterima dan sesuai dengan petunjuk dalil, karena umat Islam
dituntut secara yuridis untuk mengamalkan hadis yang nyata-nyata s}ah}ih. Jadi
apabila yang kitab temukan itu ternyata s}ah}ih maka wajib untuk diamalkan
lebih-lebih keadaan yang darurat akhir-akhir ini telah mengharuskannya. Sebab
apabila pengamalan terhadap kitab-kitab atau hadis-hadis itu hanya boleh
dilakukan berdasarkan periwayatan, niscaya puntu pengamalan hadis dalam
kitab-kitab itu jadi tertutup, sebab syarat-syarat periwayatan pada masa kini
sangat sulit terpenuhi.
Dalam
masalah ini ada hal baru yang harus diperhatikan, yakni perbedaan antara kes}ah}ihan
riwayat dan kewajiban dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tidak sah
periwayatan dengan wija>dah. Yakni dalam penyampaian hadis yang
terdapat dalam kitab yang ditemukan itu tidak boleh dikatakan "Akhbarana>
fula>n" atau "H}addas\ani> fula>n" Dan
sebagainya, karena tidak adanya cara penerimaan hadis yang dapat membenarkan
penyampaian hadis dengan kata-kata itu. Akan tetapi, kandungan kitab itu wajib
diamalkan apabila ada bukti-bukti akurat bahwa kitab itu adalah milik
penulisannya (atau salinannya yang sah) karena faktor keaslian itulah yang
mewajibkan pengamalannya. Para ulama yang melarang periwayatan dengan al-I'la>m
juga berpendapat demikian.
Dari
keterangan ini dapatlah kami niali bahwa Dr. Subh{i al-S{alih memberi
kelonggaran yang cukup leluasa dengan pernyataannya. "bahkan para ulama muta'akhkhiri>n
tidak lagi memandang perlu mengadakan rih{lah dengan segala konsekuensinya
sejak mereka dibenarkan meriwayatkan setiap kitab atau manuskrib yang mereka
dapatkan, baik mereka pernah bertemu dengan para penyusunnya maupun
tidak."
Namun, pernyataan ini tidak dapat menyelesaikan hukum wija>dah
karena periwayatan hadis dengan wija>dah itu sebagaimana yang
diketahui, tidak dapat dinilai sebagai periwayatan yang shahih dan bersanbaung
sanadnya sampai kepada penyusunnya. Akan tetapi, wajib diamalkan kandungannya
apabila kitab itu dapat diandalkan, yaitu apabila suatu kitab itu telah
ditinjau dari segi terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang telah ditetapkan,
manakala pengecekan dilakukan terhadap manuskrip.
F.
Sifat Periwayatan dan Syarat Penyampain Hadis
Penyampaian hadis adalah
menyampaikan dan mengajarkan hadis kepada pengcari hadis dengan salah satu cara
penyampaiannya.
Cara-cara penyampaian hadis
itu sesuai dengan cara-cara penerimaan yang telah dijelaskan dimuka. Oleh
karena itu, orang yang telah menerima hadis dengan cara apapun berhak
menyampaikan dengan cara apapun juga, dan tidak disyaratkan yang
menyampaikannya dengan cara yang sama ketika ia menerimannya.
Sehubung dengan masalah ini, para
ulama mengemukakan beberapa cabang pembahasan yang semuanya kembali kepada
suatu prinsip yang mendasar dalam periwayatan, yaitu unsur penyampaian hadis.
Unsur penyampain hadis adalah
meriwayatkan dan menyampaikan hadis dengan salah satu cara penyampaiannya, dan
disertai dengan kalimat pengantar yang menunjukkan cara penerimaannya.
Penyampaian hadis itu
adakalanya berdasarkan hafalan periwayatannya dan adakalanya berdasarkan
kitabnya, tetapi para muhadditsin sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis dengan
kedua bentuk itu. Mereka tidak memperbolehkan seorang rawi meriwayatkan kecuali
hadis yang telah terbukti kebenarannya. Apabila yang terjadi adalah hal
sebaliknya atau ia meragukan suatu hadis, mka ia tidak boleh meriwayatkannya,
sebab semuanya sepakat bahwa seorang rawi tidak boleh meriwayatkan kecuali
hadis yang telah diteliti. Dan apabila ia ragu, maka berarti ia meriwayatkan
sesuatu yang tidak dapat dipastikan keasliannya dari Nabi Saw. Dan
dikhawatirkan telah terjadi perubahan padanya sehingga ia termasuk orang yang
terkena ancaman Nabi Saw.
مَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَده مِنْ
النَّار
Artinya: Barang siapa sengaja berdusta atas diriku, maka
hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka[40].
Sekelompok ulama
memperketat system periwayatan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-S{alah,
sehingga mereka sangat sedikit hadisnya; sedangkan kelompok lain
memperlonggarnya sehingga mereka memperlonggarnya sehingga mereka
berlebih-lebihan dalam meriwayatkan hadis. Salah
satu aliran yang keras menyataka tidak dapat dipakai hujjah kecuali hadis yang
diriwayatkan berdasarkan hafalan dan ingatan rawinya.
DAFTAR
PUSTAKA
'Abdullah, Abu Bakrin bin Abi> Syaibah. As|a>r. 1409 H. Juz
VII. Cet. Ke-I: Maktabah ar-Rusdy.
ad-Da>raqutni>, Abu> al-H}asan 'Ali> bin 'Umar bin Ah}mad
bin Mahdi> bin Mas'u>d bin an-Nu'ma>n bin di>na>r
al-Bahda>di.> Sunan ad-Da>raqutni>. 2004. Juz. IV. Cet.
Ke-I. Bairu>t Libano>n: Muassasah ar-Risa>lah.
ad-Dimasyqi>, Abu> al-Fida>I al-H}a>fiz bin
kais\ir. Ikhtis}aruh 'Ulu>mu al-H}adi>s\. 1989. Cet.
Ke-I. Bairu>t: Da>r al-Kitabu al-Ilmiah.
ad-Dukri,
As-Syaikh ‘Abdu al-Gani>. Mu’jam al-Qawa’id al-Arabiyah. Juz.VI.
al-
As}bah}i>, Ma>lik Ibnu Anas Abu Abdilla>h. Muwat}a al-Ima>mu
Ma>lik. 1991. Juz. III. Cet. Ke-I. Damasyqu: Da>r al-Qolam.
al- Qat}a>n, Syaikh
Manna'. Pengantar Studi Ilmu Hadi>s\. 2013. Cet. Ke-VII.
Jakarta Timur: Pustaka al-Kaus\ar.
al-Asqalani.
Ibnu Hajar Fatul Ba>ri>. t.th. Juz.
IX.
al-Bagda>di>, ‘Ali> bin al-Ja'd bin 'Ubaidi al-Jauhari.> Musnad Ibnu al-Ja'd. 1990.
Juz. I. Cet. Ke-I. Bairu>t: Muassasa Nadir.
al-Busti>, Muh}ammad bin H}ibba>n bin Ah}mad bin H}ibba>n bin
Mu'a>dz bin bin Ma'bud at-Tami>mi> Abu> Hati>m
ad-Dari>mi>. Al-Ih}sa>n fi> Taqri>r S}ahih Ibnu Hibba>n. 1988.
Juz. XIII. Cet. Ke-I. Muassasah ar-Risalah: Bairu>t.
'Ali>, Abu> ‘Abdullah bin Sala>mah bin
Ja'far. Mus}nad As-Syihab. 1986. Juz. II.
Bairu>t: Muassasa Ar-Riasa>lah.
al-Ji'fi, Muhammad Ibnu Isma>'i>l
Abu Abdillah al Bukhori>. al-Jami>' al-Musnad
al-S{ahi>hu al-Muktasiru> Min Umi>ru Rosulullah Saw. 1422 H. Juz I. Cet. Ke-I. Da>r H}auki al-Naja>h.
al-Jorja>ni>,
Sa'i>d 'Ali> bin Muh}ammad bin 'Ali> al-H}usain. Risa>lah fi>
Ilmi Us}u>l al-Hadi>s\. 1992. Cet. Ke-I. Bairu>t: Da>r Ibnu
Hazmi.
Al-Ma>nar,
M. Abduh. Pengantar Ilmu Hadi>s\. 2012. Cet. Ke-I. Jakarta:
Referensi.
al-Mali>ki,
Muh}ammad Alawi. Ilmu Us}ul Hadi>s\. Angkasa. t.th.
al-Mis}ri>,
Muh}ammad Makrum bin Maz}ur al-Fariqi.> Lisa>n al-'Arab. t.th. Juz.
VII. Bairu>t: Da>r S}adar.
Al-Munawwir. Kamus
Arab-Indonesia. 1997. Cet. Ke-XIV. Surabaya: PO. BOX 1322,
6000-Indonesia.
al-Siyali>h,
Subh}i. 'Ulu>mu al-Hadis\ wa Must}alah}u>h. 1959. Cet. Ke-I. Bairu>t: Da>r al-'Ilmu
al-Malayi>n.
al-T{ah}a>n,
Mah}mud. Taisi>r Must}ala>h}u al-Hadi>s\. t.th. Da>r al-Fikr.
an-Naisa>bu>ri>, Abu>
Bakrin bin Ish}a>q bin Khazaimah al-Mugi>rah bin S}a>lih bin Bakrin
as-Sulmi>. S}ahih Ibnu Khazimah. t.th. Juz. 4. Al-Maktabu al-Islami>: Bairu>t.
as-Suyu>t}i>,
'Abdurrah}man bin Abi> Bakri Jala>luddin. Mu'jam Maqa>li>du
al-'Ulu>m fi> al-Hudu>di Warrasu>m. 2004. Juz. I. Cet. Ke-I.
Khairo: Maktabah al-a<da>b
as-Syaiba>ni>,
Abu> al-Ima>m Ah}mad bin H}ambal bin Hila>l bin Asadda. Musnad
al-Ima>m Ahma>d bin H}ambal. 2001. Juz. VII. Cet. Ke-I: Muassasa
ar-Risa>lah.
at-Taji>bi>,
Al-Qasim bin Yusuf bin Muh}ammad bin 'Ali.> Barna>mij
at-Taji>bi>. 1981. Juz. I. Tu>nis: Da>r al-Arabiyah li
al-Kita>b.
H}asan, A.
Qadir. Ilmu Must}alah Hadi>s\. 2007. Bandung: Diponegoro.
I>sa>,
Muhammad Ibnu I>sa> bin Saurah bin Mu>sa> bin D{ah{a>k at-Tirmidzi>.
Sunan at-Tirmidzi>. 1975. Juz. IV. Cet. Ke-II. Syirkatun Maktabatun:
Mesi>r.
Isma’il, Syuhu>di. kaedah Kes}ah}ihan H}adi>s\. 1995. Cet. Ke-II. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Isma>'il,
Muh}ammad Syuhu>di. Pengantar Ilmu
H}adis\. 1994.
Bandung: Angkasa.
'Itr, Nuruddin.
'Ulumul Hadi>s\. 2012. Cet. Ke-II. Bandung: Da>r al-Fikr
Damaskus.
Jumantoro,
Totok. Kamus Ilmu Hadi>s\. 2007. Cet. Ke-III. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Kas\i>r, Al-H}afi>z
Ibnu. Al-Ba'is\u al-H}usais\u Syarah Ikhtis}ar 'Ulu>m al-H}adi>s\. 1958. Bairu>t: al-Kitab al-Ilmiah.
kho>n, Abdul
Majid. 'Ulumul Ha>dis\.
2010. Cet. Ke-IV. Jakarta: Amzah.
Khon, Abdul
Majid. ‘Ulu>mul H}adi>s\. 2012. Cet. Ke-I. Jakarta: Amzah.
Lajnah. Al-Qur'a>n
Terjemah dan Tafsir Per kata. 2010. Bandung: jabal.
M. Jayadi. Metodologi
Kajian Hadi>s\.
2012. Cet. Ke-I. Makassar: Alauddin University Press.
Mat}bi>r, Sulaima>n Ibnu Ahmad Ibnu Ayyu>b Ibnu. al-Mu'jam
al-Kabi>r. 1994. Juz. XXV. Cet. Ke-II; Da>r an-Nasyir Maktabah Ibnu
Taimiyah al-Qa>hirah.
Muhammad, S}adaruddin bin abu> T}ahir Assa Lafi> Ahmad. At-Tuyu>riya>t.
2004. Juz. III, Cet. Ke-I; Maktabah Adu>a as-Salafi.
Mustapa H}asan.
Ilmu H}adi>s\. 2012. Cet. ke-I. Bandung: CV Pustaka Setia.
Suparta,
Munzeir. Ilmu H}adi>s\. 2013. Cet. Ke-VIII. Jakarta: Rajawali
Press.
Syu'bah,
Abu> ‘Us\ma>n Sa'id bin Mans}ur. At-Tasi>r min Sunan Sa'id.
1997. Juz. I. Cet. Ke-I: Da>r As-Sami>'i> li An-Nasyir wa
At-Tu>zi>'.
Yunus, Mah}mud.
Kamus Arab-Indonesia. t.th. Jakarta.
Zakariyya>h,
Abi> al-H}usain Ah}mad bin Faris. Maqayisi al-Lugah. 2002. Juz.
I. Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab.
[2]Al-Munawwir, Kamus
Arab-Indonesia (Cet XIV; PO. BOX 1322, Surabaya 6000-Indonesia 1997), h.
551
[3]Mustapa H}asan, Ilmu
H}adi>s\, (Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 277.
[4]As-Syaikh ‘Abdu al-Gani>
ad-Dukri, Mu’jam al-Qawa’id al-Arabiyah, Juz.VI. t.d, h. 48.
[5]Abi> al-H}usain Ah}mad bin
Faris bin Zakariyya>h, Maqayisi al-Lugah, Juz. I. (Ittih}a>d
al-Kita>b al-‘Arab, 2002), h. 91.
[6]Abu> al-H}asan 'Ali> bin 'Umar bin Ah}mad bin Mahdi> bin
Mas'u>d bin an-Nu'ma>n bin di>na>r al-Bahda>di>
ad-Da>raqutni>, Sunan ad-Da>raqutni>, Juz. IV. (Cet. I;
Bairu>t Libano>n: Muassasah ar-Risa>lah, 2004), h. 163.
[7]Muh}ammad Alawi al-Mali>ki,
Ilmu Us}ul Hadi>s\, (Angkasa, t.th), h. 53.
[9]M. Abduh Al-Ma>nar,
Pengantar Ilmu Hadi>s\ (Cet. I; Jakarta: Referensi, 2-12), h.25.
[10]Muhammad Ibnu Isma>'i>l Abu Abdillah al
Bukhori> al-Ji'fi, al-Jami>' al-Musnad al-S{ahi>hu al-Muktasiru>
Min Umi>ru Rosulullah Saw. Juz I. (Cet. I; Da>r H}auki al-Naja>h,
1422 H), h. 30.
[11] Ma>lik Ibnu Anas Abu
Abdilla>h al- As}bah}i>, Muwat}a al-Ima>mu Ma>lik, Juz. III,
(Cet. I; Damasyqu: Da>r al-Qolam, 1991), h. 60.
[12]Abu> Bakrin bin Ish}a>q bin Khazaimah
al-Mugi>rah bin S}a>lih bin Bakrin as-Sulmi> an-Naisa>bu>ri>,
S}ahih Ibnu Khazimah, Juz. 4. (Al-Maktabu
al-Islami>: Bairu>t), h. 227.
[13]Syuhu>di Isma’il, kaedah
Kes}ah}ihan H}adi>s\, (Cet. II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 38.
[14]Muh}ammad
Syuhu>di Isma>'il, Pengantar Ilmu H}adis\, (Bandung: Angkasa,
1994), h. 87.
[15]Lajnah, Al-Qur'a>n
Terjemah dan Tafsir Per kata, (Bandung: jabal,2010), h.262.
[16]Munzeir Suparta, Ilmu
H}adi>s\, (Cet. VIII; Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 195.
[17]Sa'i>d 'Ali> bin Muh}ammad
bin 'Ali> al-H}usain al-Jorja>ni>, Risa>lah fi> Ilmi
Us}u>l al-Hadi>s\ (Cet. I; Bairu>t: Da>r Ibnu Hazmi, 1992), h.
76.
[18]Al-Qasim bin
Yusuf bin Muh}ammad bin 'Ali> at-Taji>bi>, Barna>mij
at-Taji>bi>, Juz. I. (Tu>nis; Da>r al-Arabiyah li al-Kita>b,
1981), h. 198.
[19]A. Qadir H}asan, Ilmu Must}alah
Hadi>s\, (Bandung: Diponegoro,
2007), h. 369.
[20]Nuruddin 'Itr, 'Ulumul Hadi>s\,
(Cet. II; Bandung: Da>r al-Fikr Damaskus, 2012), h. 205.
[21]Abdul Majid Khon, ‘Ulu>mul
H}adi>s\, (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2012), h. 110.
[22]Subh}i al-Siyali>h, 'Ulu>mu
al-Hadis\ wa Must}alah}u>h (Cet. I; Bairu>t: Da>r al-'Ilmu
al-Malayi>n, 1959), h.90.
[23]Al-H}afi>z Ibnu Kas\i>r,
Al-Ba'is\u al-H}usais\u Syarah Ikhtis}ar 'Ulu>m al-H}adi>s\
(Bairu>t: al-Kitab al-Ilmiah, 1958), h.123.
[24]Abu
Bakrin bin Abi> Syaibah 'Abdullah, As\ar,
Juz VII, (Cet. I; Maktabah ar-Rusdy, 1409 H), h. 200.
[25]Sulaima>n Ibnu Ahmad Ibnu Ayyu>b Ibnu Mat}bi>r, al-Mu'jam
al-Kabi>r, Juz. XXV (Cet. II; Da>r an-Nasyir Maktabah Ibnu Taimiyah
al-Qa>hirah, 1994), h.12.
[26]S}adaruddin bin abu> T}ahir Assa Lafi> Ahmad bin Muhammad, At-Tuyu>riya>t,
Juz. III, (Cet. I; Maktabah Adu>a as-Salafi, 2004), h. 54.
[27]Muhammad Ibnu I>sa> bin
Saurah bin Mu>sa> bin D{ah{a>k at-Tirmidzi> bin I>sa>, Sunan
at-Tirmidzi>, Juz. IV (Cet. II; Syirkatun Maktabatun: Mesi>r, 1975),
h.174.
[28]Muh}ammhad bin H}ibba>n bin Ah}mad bin H}ibba>n bin Mu'a>dz bin
bin Ma'bud at-Tami>mi> Abu> Hati>m ad-Dari>mi> al-Busti>, Al-Ih}sa>n
fi> Taqri>r S}ahih Ibnu Hibba>n, Juz. XIII. (Cet. I; Muassasah
ar-Risalah: Bairu>t, 1988), h. 6.
[29]Muh}ammad Makrum bin Maz}ur
al-Fariqi> al-Mis}ri>, Lisa>n al-'Arab, Juz. VII. (Bairu>t:
Da>r S}adar, t.th), h. 165.
[30]Mah}mud al-T{ah}a>n, Taisi>r
Must}ala>h}u al-Hadi>s\ (Da>r al-Fikr, t.th.), h. 132.
[31]Abu>
al-Ima>m Ah}mad bin H}ambal bin Hila>l bin Asadda as-Syaiba>ni>, Musnad
al-Ima>m Ahma>d bin H}ambal, Juz. VII. (Cet. I; Muassasa
ar-Risa>lah, 2001), h. 292.
[32]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu
Hadi>s\, (Cet. III; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h. 81.
[33]Abu>
‘Us\ma>n Sa'id bin Mans}ur bin Syu'bah, At-Tasi>r min Sunan Sa'id,
Juz. I. (Cet. I; Da>r As-Sami>'i> li An-Nasyir wa At-Tu>zi>',
1997), h. 65.
[34]Syaikh Manna' al- Qat}a>n, Pengantar Studi Ilmu
Hadi>s\, (Cet. VII; Jakarta Timur: Pustaka al-Kaus\ar, 2013), h. 184.
[35]'Ali> bin al-Ja'd bin 'Ubaidi al-Jauhari> al-Bagda>di>, Musnad
Ibnu al-Ja'd, Juz. I. (Cet. I; Bairu>t: Muassasa Nadir, 1990), h. 165.
[36]Abu> al-Fida>I
al-H}a>fiz bin kais\ir ad-Dimasyqi>, Ikhtis}aruh 'Ulu>mu
al-H}adi>s\ (Cet. I: Bairu>t: Da>r al-Kitabu al-Ilmiah, 1989), h.
84.
[37]‘Abdurrah}man bin Abi> Bakri
Jala>luddin as-Suyu>t}i>, Mu'jam Maqa>li>du al-'Ulu>m
fi> al-Hudu>di Warrasu>m, Juz. I. (Cet. I; Khairo: Maktabah
al-a<da>b, 2004), h. 138.
[38]Mah}mud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, (Jakarta. t.d), h. 492.
[39]Abu> ‘Abdullah bin Sala>mah bin
Ja'far bin 'Ali>, Mus}nad As-Syihab, Juz. II. (Bairu>t:
Muassasa Ar-Riasa>lah, 1986), h. 305.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar