Selasa, 06 Desember 2016

KEADILAN DAN KEDHABITAN PERAWI HADIS

1 komentar:

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Kedudukan hadis (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadis merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadis.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu  hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadis  riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima,  menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam diwan hadis. Dalam menyampaikan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘âdil, dhâbith atau fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa al-Ta’dil’.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana metode-metode untuk mengetahui keadilan dan kedhabitan perawi?
2.      Bagaimana syarat-syarat kritikus hadis?
3.      Bagaimana tata tertib ulama hadis dalam men-jarh dan men-ta’di>l?


     
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Metode-metode untuk mengetahui keadilan dan kedhabitan perawi
1.      Metode untuk mengetahui keadilan perawi
Karena sebagian besar hukum-hukum syariat hanya bisa diketahui melalui pengutipan dan periwayatan, maka ulama menempuh cara meneliti keadaan para periwayat dan mencermati mereka yang berstatus Siqah. Tujuan mereka sebenarnya adalah mengetahui yang sahih dari yang cacat, maka krtik mereka terhadap periwayat tertentu merupakan sikap moderat dalam menjelaskan hal ihwal periwayat. Mereka meneliti hal-hal yang berkaitan dengan sifat-sifat adil, kekuatan hafalan, keteguhan dan yang berlawanan, baik berupa kesalahan, sifat lupa, kerancuan daya ingat, maupun hal-hal lain. Ulama yang ahli di bidang kritik para periwayat hadis disebut sebagai al-Jarih} wa al-Mu’addil. Jumlah mereka relatif tidak banyak, sebab syarat-syarat untuk menjadi dan diakui sebagai kritikus hadis memang tidak ringan.[1]
Ada beberapa metode ulama dalam menjelaskan hal ikhwal para perawi. Diantaranya adalah:
1)      Amanah dan Jujur dalam menetapkan sesuatu ketetapan dalam menilai perawi hadis, adalah metode dalam menilai perawi hadis yang pertama. Sifat amanah merupakan kaedah umum yang mereka terapkan dalam menerangkan kebenaran walaupun membawa dampak negatif terhadap diri mereka sendiri. Begitupun dengan kejujuran adalah ideology mereka yang tertanam kuat dan patokan umum yang mereka tetepkan dalam menjelaskan kebenaran, meski membawa dampak negatif pada diri mereka sendiri. Misalnya, Syu‘bah ibn al-Hajja>j pada suatu hari meriwayatkan suatu hadis lalu dikatakan kepadanya bahwa Sufya>n al-S|au>ri menyelahi riwayat itu. Mendengar itu Syuhbah lalu berkata tinggalkanlah hadis (yang aku riwayatkan itu)sebab Sufya>n lebih hafal dari pada diriku.
2)      Kecermatan dalam meneliti dan menilai adalah metode dalam menilai perawi hadis. Para perawi harus memiliki kedalaman pengetahuan tentang perawi yang mereka kritik dan mampu memberikan imformasi mengenai saat kekacauan daya ingatnya, sebab kelemahannya dan mampu membedakan antara perawi yang lemahnya disebabkan keteledoran agamanya dan perawi yang lemahnya dikarenakan tidak adanya kekuatan dan keteguhan hafalan dalam dirinya.
3)      Metode ulama dalam menilai perawi hadis yang ketiga adalah, mematuhi etika al-Jarh} wa Ta’di>l dalam menyatakan penilaian terutama dalam penempatan posisi dalam mara>tib al-Jarh} dan mara>tib al-Adalah.
4)      Para Imam ahli hadis yang terjun dalam bidang penjelasan hal ikhwal perawi harus memenuhi kreteria seperti Alim, bertaqwa, wara’, jujur, tidak terkena jarh}, tidak fanatik terhadap sebagian perawi dan mengerti betul-betul sebab-sebab Jarh} wa Ta’di>l.[2]
2.      Metode untuk mengetahui ke-Dhabit-an perawi
            Ke-dhabit-an seorang perawi, sebagaimana keadilannya, merupakan syarat kesahihan dari beberapa syarat yang harus dimiliki para rawi hadis. Jika keadilan seorang rawi ditujukan dalam masalah moralitasnya, maka kedhabitan rawi ditujukan dalam kapasitas kepahaman, kecerdasan, dan dalam penerimaan serta periwayatan hadis. Oleh karena itu, seorang rawi harus memiliki sifat Dhabit dalam arti:[3]
a.         Seorang rawi memiliki kesadaran dalam mengambil hadis. Setelah itu, ia berjanji setia untuk menyampaikannya dengan baik seperti ia mengambilnya pada permulaan. Kemudian ke-Dhabit-an rawi dalam memelihara hadis itu bisa dengan mengingatnya atau dengan menulisnya.
b.        Dengan sifat ini, si rawi harus meriwayatkan hadis, sebabaimana ia mendengarnya (pertama kali). Ia memiliki kesadaran dan tidak terlalaikan. Dengan demikian, jika ia memiliki hafalan, maka ia dapat berbicara dari hafalannya, dan jika ia dhabit dalam kitabnya, maka ia berbicara dari kitabnya.[4]
c.         Bahkan si rawi itu harus Siqqah dalam periwayatannya. Oleh karena itu, ia harus hafizh, serta sadar terhadap apa yang diriwayatkannya. Dikatakan Hafizh dalam periwayatannya apabila ia meriwayatkan dari hafalannya. Dan dikatakan Dhabit dalam kitabnya, apabila ia meriwayatkan dari kitabnya.[5]

 
B. Syarat-syarat kritikus hadis(Ulama al-Jarh{ wa al-Ta’di>l)
Penetapan Adalah (Keadilan) atau Jarh terhadap seseorang memegang peranan yang sangat penting . penetapan Adalah itu sama dengan kesaksian terhadap bersihnya seseorang Rawi dan memberikan hak individual, berupa moralitas, kemuliaan dan status amanah, kepada periwayat.[6]
Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan syarat-syarat yang berkenaan dengan sikap pribadi[7] dalam men-Jarh dan men-Ta’di>l. yakni antara lain
1.      ‘Alim(berilmu pengetahuan)
2.      Wara’
3.      Jujur
4.      Tidak terkena Jarh
5.      Tidk fanatik terhadap golongan
6.      Memahami dengan baik sebab-sebab Jarh[8]
Adapun syarat-syarat bagi ulama yang menta’dilkan dan menjarhkan akan dijelaskan sebagai berikut yakni:
1.    Berilmu pengetahuan
Adapun yang dimaksudkan dengan berilmu pengetahuan yaitu menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama terutama yang berkonotasi ke dalam materi hadis. Mustahil bagi ulama yang menjarh dan atau menta’dil ulama mampu memberikan argumen-argumen atas tuduhan-tuduhannya atau mampu mempertanggungjawabkan penilaiannya itu jika ia tidak memiliki ilmu. Tidak disyaratkan bagi ulama al-jarh dan al-ta’di>l harus laki-laki merdeka, orang tersebut hendaklah orang yang adil, laki-laki maupun orang merdeka atau hamba[9].
2.    Bertakwa
Ulama yang menjarh dan atau menta’dil ulama haruslah ulama yang senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika ulama penjarh dan atau penta’dil tidak takut kepada Allah maka ia akan memberikan penilaian sesuai keinginann/ya sendiri, mungkin disebabkan oleh faktor fanatik golongan atau karena mereka tidak saling suka (bermusuhan). Olehnya itu, penjarh dan atau penta’dil harus bertakwa sehingga ia takut memberikan penilaian yang keliru.
3.    Wara’
Adapun yang dimaksud dengan wara’ yaitu ulama yang menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat. Akhirnya, ulama-ulama yang suka mengerjakan perbuatan maksiat tidak termasuk dalam golongan wara’.
4.    Jujur dan bersih dalam memberikan penilaian
Dalam hal ini ulama menyebutkan sifat-sifat yang melekat pada diri periwayat, baik positif maupun negatif. Dalam hal ini Ibnu Sirin berkata: “Sungguh engkau telah berbuat zalim atas saudaramu, jika engkau hanya menyebutkan kekurangan-kekurangannya saja tanpa menyertakan kelebihannya.
Menerapkan sifat amanah tanpa melibatkan idiologi tertentu sangat dianjurkan dalam menjelaskan kebenaran, meskipun untuk menilai diri sendiri. Hal ini bisa menambah keimanan dan keistiqamahan ulama. Terkait dengan keadaan ini. Syu’bah bin Hajjaj telah meriwayatkan sebuah hadis: faqila lahu: innaka tukhalifu fi haza al-hadis qala man yukhalifuni? qalu Sufyan al-Sauri. Qala da’uhu, Sufyan ahfazu mini. Dikatakan bahwa Syu’bah bin Hajjaj meriwayatkan hadis yang berbeda dengan periwayatan Sufyan al-Sauri, kemudian Syu’bah mengakui kelebihan Sufyan al-Sauri, dan mengakui kekurangan yang ada pada pribadinya. Syu’bah memuji Sufyan dengan mengatakan lebih hafiz dari dirinya.
Sifat jujur adalah sifat yang paling urgen. Ulama yang hendak menjarh dan atau menta’dil ulama harus memberikan penilaian yang jujur, apa adanya tanpa mengurangi atau menambahkan sesuatu sehingga ulama tersebut dinilai jarh ataupun ta’dil karena tidak menutup kemungkinan ada ulama yang menjarh hanya sekedar ingin menjatuhkan ulama yang tidak disukai dan ada juga yang menta’dil ulama karena mereka berteman atau satu golongan, sekutu ataupun kerena keluarga, dan terutama harus berhati-hati terhadap ulama yang mutasahil dalam menta’dilkan rawi seperti Imam Muhammad bin Ishaq bin Al Huzaimah dan muridnya, Abu Hatim bin Ibnu Hibban juga Ibnu Hibban Al Hakim Ibnu Abdullah, terutama dalam kitab Al Mustadark-nya, Al-Daruquthni, namun beliau lebih baik dari Ibnu Hibban dan Al Baihaqi.
5.    Menjauhi fanatik golongan
Syarat ini erat kaitannya dengan syarat sebelumnya yaitu jujur. Ulama yang tidak menjauhi sektenya masing-masing dalam memberikan persaksian akan dominan dalam mempertahankan sekte yang dianutnya sehingga kemungkinan besar ia tidak jujur dalam menjarh dan menta’dil karena arogansi yang dimiliki oleh sekte masing-masing.
6.    Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan menjarhkan
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diterima penilaian ulama baik itu jarh maupun ta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya. Sebagian lain juga berpendapat bahwa penilaian ta’dil banyak sebab-sebabnya dan mustahil disebutkan satu persatu. Misalnya, “fulan tsiqah adil karena ia rajin melakukan salat, menjalankan puasa, mengerjakan amalan-amalan sunnah dan tidak pernah menyakiti ulama lain”. Tetapi cukup menyebutkan dengan “fulan tsiqah, atau fulan saduq”. Berbeda dengan jarh, pada umumnya mereka menjelaskan sebab-sebab yang melemahkanya, misalnya sering lupa, sering salah, hafalannya kacau, dusta, fasik, dan lain-lain.[10]
7.    Memperhatikan etika dalam jarh.
Ulama telah menetapkan beberapa kode etik sesuai dengan penelitian ilmiah yang harus diperhatikan oleh ulama yang memberi penilaian. Di antaranya adalah menghindari ungkapan yang paling kasar, misalnya “fulan wadhdha’, fulan kazzab”, untuk menghindari ungkapan-ungkapan seperti itu bisa memakai kalimat-kalimat yang halus dan sopan, misalnya “hadisuhu laisa bisyai’, lam yakun mustaqim al-lisan”, “dia tidak bisa menjaga lisannya”. Ungkapan itu sama artinya dengan dia suka berbohong. Dalam hal ini, al-Muzni pernah bercerita: sami’ani al-Syafi’I yauman wa ana aqulu fulanun kazzab, faqala li : ya Ibrahim, Aksu alfazaka ahsanuha, la taqul kazzab, wa lakin qul hadisahu laisa bisyai’in. dan lain-lain.
8.    Detail dan cermat dalam meneliti dan menilai.
Ulama penilai harus cermat dan detail dalam melihat kepribadian ulama. Detail dalam melihat kedalaman pengetahuan mereka tentang periwayatan hadis. Ulama periwayat kadang meriwayatkan hadis pada saat daya ingatnya sedang kacau, misalnya karena umurnya sudah lanjut atau dalam keadaan sakit.

C. Tata Tertib Ulama hadis dalam men-Jarh dan men-Ta’di>l.
Ada beberapa point tata tertib yang perlu diperhatikan oleh ulama al-Jarh wa al-Ta’di>l. dantaranya yang terpenting adalah:
1)      Bersikap obyektif dalam Tazkiyah (menyucikan[11], atau pertumbuhan dan tambahan)[12], sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
2)      Tidak boleh Jarh melebihi kebutuhan, karena Jarh itu disyariatkan lantaran darurat, sementara darurat itu ada batasnya.
3)      Tidak boleh hanya mengutip Jarhnya saja, sehubungan dengan sebagian kritikus hadis ada yang menilainnya adil.
4)      Tidak boleh Jarh terhadap rawi yang tidak perlu di Jarh, karena hukumnnya disyariatkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak ada daruratnya jarh tidak dapat dilaksanakan. para ulama mencela perbuatan yang berlebihan dan melarang keras serta memperingatkan bahwa perbuatan yang berlebihan dan melarang keras serta memperingatkan bahwa perbuatan itu adalah suatu kesalahan.[13]
Cukuplah kita menilai seseorang sesai dengan hadis Rasulullah saw:
حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ، وَيُونُسُ بْنُ يَحْيَى، جَمِيعًا عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ»[14]
            Artinya: “setiap muslim bagi muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya, dan harga dirinya”.
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik hadis ada yang ketat (tasyaddud), ada yang longgar (tasahul) dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni moderat (tawasut). Ulama yang dikenal sebagai Mutasyaddid ataupun Mutasahil, ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. Umar bin al-Khattab adalah salah satu sahabat yang dikenal sebagai Mutasyaddid,[15] kemudian al-Nasa>’i dan Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far al-Sa’di al-Madini, yang dikenal dengan sebutan ibn Madini yang dkenal sebagai Mutasyaddid dalam menilai ke-Siqqah-an yang berarti juga dalam menilai kesahihan suatu hadis. Al-H{akim al-Naisaburi dan Jal al-Di>n al-Suyuti dikenal sebagai Mutasahil dalam menilai kesahihan suatu hadis, sedang ibn al-Jauzi dikenal sebagai Mutasahil dalam menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan al-Zahabi dikenal sebagai Mutawasit dalam menilai periwayat dan kualitas hadis.[16]



[1] Al-Asqala>ni, Nuzh}atun Nazar Syarah Nukbah al-Fikr, op.cit, h. 67.
[2] Hasbi al-S}iddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid II,(Cet, VI; Jakarta: PT. Bulang Bintang, 1994). h. 102.
[3] Abdurrahman, Metode Kritik Hadis, (Cet, I; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011.), h. 46.
[4] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Cet, 2; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya 2012,) h. 80.
[5] Ahmad Umar Hasyim, Qawa>’id Usul al-H{adi>s, (Beiru>t: Dar> al-Fikr, t.th.), h. 41.
[6] A.Syahraeni, Kritik Sanad Dalam Perspektif Sejarah, (Cet, I; Makassar: Alauddin Press, 2011.), h. 113
[7] Syuhudi Isma>’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet, X; Bandung: Angkasa.), h. 74.
[8] Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis, (Cet. II; Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.), h. 177.
[9]Zain al-Di<n Muh}ammad al-Mad’u>, al-Yuwa>qi>t wa al-Darur fi> Syarh Nukhbah Ibn Hajar, Juz II, ( Cet, I; Riyad}: Maktabah Rusyd 1999,). 359. 
[10] Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuhu wa Must}alahu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409H./1989M), h. 266-268.
[11] Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1411H./ 1990M.), h. 156.
[12] Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariyya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz III, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M), h. 17
[13] Muhammad ‘Abdu al-H{ayya bin Muhammad ‘Abdu al-H{ali>m al-Ans}a>ri, al-Raf’u wa al-Takmi>l fi Jarh} wa al-Ta’di>l, Juz I, (Cet, III; H{alb: al-Mat}bu>’ah al-Islamiyyah, 1407H./1987M.), h. 47-51.
[14] Abu Abdullah Muhammad ibn Yazi>d al-Qazwaini al-Syuh}air, Sunan ibn Maja>h, Juz I, (Cet; I, Riya>dh: Maktabah al-Ma’a>rif), h.
[15] Muhammad ‘Ajja>j bin Muhammad Tami>m bin S{a>lih} bin ‘Abdullah al-Khatti>b, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n, Juz I, (Cet, III; Beiru>t: Da>r al-Fikr Littaba>’ah wa al-Nasyri’ wa al-Tauzi>’, 1400H./1980M.), h. 96.
[16] Al-Zahabi, Zikr man Yu’tamad Qauluhu fi al-Jarh wa al-Ta’di>l, (Kairo: al-Matbu’ah al-Islamiyyah, t.th.), h. 159.

1 komentar:

  1. JackpotCity Casino: Review, Login & Mobile App - JamBase
    JackpotCity Casino is a brand new 사천 출장샵 online gambling website. Play 대구광역 출장마사지 slots, 충청남도 출장안마 table games, 밀양 출장안마 and more at the top of 성남 출장샵 the list of games at JackpotCity.

    BalasHapus

Total Tayangan Halaman

Translate

Pengikut

 
back to top