Nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Izzy bin Rabah bin Qirath bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luay al-Quraisy al-‘Adawy. Terkadang dipanggil dengan Abu Hafash dan digelari dengan al-Faruq. Ibunya bernama Hantimah binti Hasyim bin al-Muqhirah al-Makhzumiyah.
Awal Keislamanya.
Umar masuk Islam ketika para penganut Islam kurang lebih sekitar 40 (empat puluh) orang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Imam Tirmidzi, Imam Thabrani dan Hakim telah meriwayatkan dengan riwayat yang sama bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam telah berdo’a,” Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.”.
Berkenaan dengan masuknya Umar bin al-Khaththab ke dalam Islam yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad yang diungkap oleh Imam Suyuti dalam kitab “ Tarikh al-Khulafa’ ar-Rasyidin” sebagai berikut:
Anas bin Malik berkata:” Pada suatu hari Umar keluar sambil menyandang pedangnya, lalu Bani Zahrah bertanya” Wahai Umar, hendak kemana engkau?,” maka Umar menjawab, “ Aku hendak membunuh Muhammad.” Selanjutnya orang tadi bertanya:” Bagaimana dengan perdamaian yang telah dibuat antara Bani Hasyim dengan Bani Zuhrah, sementara engkau hendak membunuh Muhammad”.
Lalu orang tadi berkata,” Tidak kau tahu bahwa adikmu dan saudara iparmu telah meninggalkan agamamu”. Kemudian Umar pergi menuju rumah adiknya dilihatnya adik dan iparnya sedang membaca lembaran Al-Quran, lalu Umar berkata, “barangkali keduanya benar telah berpindah agama”,. Maka Umar melompat dan menginjaknya dengan keras, lalu adiknya (Fathimah binti Khaththab) datang mendorong Umar, tetapi Umar menamparnya dengan keras sehingga muka adiknya mengeluarkan darah.
Kemudian Umar berkata: “Berikan lembaran (al-Quran) itu kepadaku, aku ingin membacanya”, maka adiknya berkata.” Kamu itu dalam keadaan najis tidak boleh menyentuhnya kecuali kamu dalam keadaan suci, kalau engaku ingin tahu maka mandilah (berwudhulah/bersuci).”. Lalu Umar berdiri dan mandi (bersuci) kemudian membaca lembaran (al-Quran) tersebut yaitu surat Thaha sampai ayat,” Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhanselain Aku, maka sembahlah Aku dirikanlah Shalat untuk mengingatku.” (Qs.Thaha:14). Setelah itu Umar berkata,” Bawalah aku menemui Muhammad.”.
Mendengar perkataan Umar tersebut langsung Khabbab keluar dari sembunyianya seraya berkata:”Wahai Umar, aku merasa bahagia, aku harap do’a yang dipanjatkan Nabi pada malam kamis menjadi kenyataan, Ia (Nabi) berdo’a “Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.”.
Lalu Umar berangkat menuju tempat Muhammad Shallallahu alaihi wassalam, didepan pintu berdiri Hamzah, Thalhah dan sahabat lainnya. Lalu Hamzah seraya berkata,” jika Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya dia akan masuk Islam, tetapi jika ada tujuan lain kita akan membunuhnya”. Lalu kemudian Umar menyatakan masuk Islam dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Lalu bertambahlah kejayaan Islam dan Kaum Muslimin dengan masuknya Umar bin Khaththab, sebagaimana ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud, seraya berkata,” Kejayaan kami bertambah sejak masuknya Umar.”.
Umar turut serta dalam peperangan yang dilakukan bersama Rasulullah, dan tetap bertahan dalam perang Uhud bersama Rasulullah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Suyuthi dalam “Tarikh al-Khulafa’ar Rasyidin”.
Rasulullah memberikan gelar al-Faruq kepadanya, sebagaimana ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Dzakwan, seraya dia berkata,” Aku telah bertanya kepada Aisyah, “ Siapakah yang memanggil Umar dengan nama al-Faruq?”, maka Aisyah menjawab “Rasulullah”.
Hadist Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:” Sungguh telah ada dari umat-umat sebelum kamu para pembaharu, dan jika ada pembaharu dari umatku niscaya ‘Umarlah orangnya”. Hadist ini dishahihkan oleh Imam Hakim. Demikian juga Imam Tirmidzi telah meriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Nabi bersabda,” Seandainya ada seorang Nabi setelahku, tentulah Umar bin al-Khaththab orangnya.”.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dia berkata,” Nabi telah bersabda:”Sesungguhnya Allah telah mengalirkan kebenaran melalui lidah dan hati Umar”. Anaknya Umar (Abdullah) berkata,” Apa yang pernah dikatakan oleh ayahku (Umar) tentang sesuatu maka kejadiannya seperti apa yang diperkirakan oleh ayahku”.
Keberaniannya
Riwayat dari Ibnu ‘Asakir telah meriwayatkan dari Ali, dia berkata,” Aku tidak mengetahui seorangpun yang hijrah dengan sembunyi sembunyi kecuali Umar bi al-Khaththab melakukan dengan terang terangan”. Dimana Umar seraya menyandang pedang dan busur anak panahnya di pundak lalu dia mendatangi Ka’bah dimana kaum Quraisy sedang berada di halamannya, lalu ia melakukan thawaf sebanyak 7 kali dan mengerjakan shalat 2 rakaat di maqam Ibrahim.
Kemudian ia mendatangi perkumpulan mereka satu persatu dan berkata,” Barang siapa orang yang ibunya merelakan kematiannya, anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda, maka temuilah aku di belakang lembah itu”. Kesaksian tersebut menunjukan keberanian Umar bin Khaththab Radhiyallahu’Anhu.
Wafatnya
Pada hari rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H ia wafat, ia ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh beliau ditikam oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar dimakamkan di samping Nabi dan Abu Bakar ash Shiddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.
sumber:https://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/27/%E2%80%98umar-bin-al-khaththab/
Rabu, 30 November 2016
HADIST DALAM PANDANGAN ORIENTALIS
Hadits dalam ajaran Islam menempati posisi yang sangat strategis. Hal itu terjadi karena hadits menjadi sumber hukum kedua bagi hukum-hukum Islam.[1] Para ulama sepakat bahwa hadits atau sunnah paling tidak memiliki tiga fungsi utama dalam rangka hubungannya dengan Al-Qur’an, yakni kadangkala ia berfungsi sebagai bayan ta’qid terhadap ketentuan hukum yang ada dalam Al- Qur’an, atau bayan tafsir terhadap kemujmalan Al-Qur’an dan fungsi bayan tasyri’ terhadap segala sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an.[2] .
Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi maka banyak penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan atau mengetahui kualitas hadits yang diteliti dalam hubungannya dengan kehujahan hadits yang bersangkutan.[3]
Penelitian pengkajian hadits itu ternyata tidak hanya milik kaum muslimin tetapi musuh-musuh Islam pun melakukan kajian-kajian terhadap hadits itu, diantaranya dilakukan oleh orientalis, yang memiliki tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil atau dasar argumentasi.
Kajian Islam yang dilakukan oleh orientalis pada mulanya hanya ditujukan hanya kepada materi-materi keislaman secara umum, termasuk bidang sastra dan sejarah. Baru pada masa-masa belakangan mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang Hadits Nabawi.[4]
Gugatan orientalis terhadap hadits dimulai pada pertengahan abad ke-19 M. adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).[5] Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir. Menurutnya dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan.[6]
Serangan terhadap hadits itu mencapai puncaknya setelah Ignaz Goldziher menulis Muhammadenische Studien (Studi Islam) yang dipandang sebagai kritikan paling penting terhadap hadits diabad 19.[7] Kurang lebih enam puluh tahun sesudah terbitnya buku Goldziher itu, Joseph Schacht yang juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadits dalam sebuah buku yang berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. [8]
Sebagai laskar orientalis, Ignaz Goldziher dan Joseph Schaht adalah tokoh yang paling terkemuka dalam pengkajian hadits.[9] secara khusus memfokuskan diri dalam pengkajian Ilmu Hadits keduanya mencoba menelaah dan mengkritik konsturksi hadits berdasarkan prespektif orientalisme.[10] Baik Goldziher maupun Schaht meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact berpendapat lebih jauh sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun hadits yang otentik dari Nabi s.a.w, khususnya hadits-hadits yang berhubungan dengan hukum Islam.[11]
Diantara sekian banyak orientalis yang mengkaji hadits, penulis mencoba menelusuri pandangan kedua orientalis tersebut yaitu Ignaz Goldziher dan Joseph Schaht yang berpengaruh dalam penelitian hadits, dan karena orientalis-orientalis sesudahnya pada umumnya hanya mengikuti kedua tokoh tersebut.[12] Bangunan tulisan ini dimulai dengan melihat batasan orientalisme, pemikiran mereka dalam kajian hadits yang disertai komentar dan bantahan muhaditsin kontemporer, dan bagaimana kontribusi orientalis terhadap hadits.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Orientalisme dan Orientalis
Orientalisme merupakan istilah yang diambil dari bahasa Perancis dengan asa kata ”orient” yang berarti timur dan ”isme” artinya faham, ajaran, cita-cita atau sikap.[13] Sedangkan menurut Mustolah Maufur bahwa kata ”orient” berasal dari bahasa Latin ”oriri” yang berarti terbit, dan dalam bahasa Inggris artinya ”direction of rising sun” (arah terbitnya matahari atau bumi belahan Timur).[14]
Menurut H.M. Joesoef Sou’yb[15] Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah berarti timur dan secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara etnologi berarti bangsa-bangsa di timur. Kata Orient itu memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Suku kata isme (Belanda) atau ism (Inggris) menunjukkan pengertian tentang sesuatu paham. Jadi Orientalisme adalah sesuatu paham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya.
Lawan kata orien dalam bahasa Perancis adalah occident, yang secara harfiah berarti Barat dan secara geografis berarti dunia belahan Barat, dan secara etnologi berarti bangsa-bangsa di Barat. Adapun kada Occidental berarti hal-hal yang berkaitan dengan dunia Barat beserta lingkungannya. Berbeda dengan orientalisme kata Occidental hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin ilmu.[16]
Secara istilah orientalisme mengandung beberapa pengertian, dalam konteks suatu kajian keilmuan Abdul Haq Ediver, mengartikan orientalisme secara umum, yaitu suatu pengertian sempurna yang terkumpul dari sumber pengetahuan asli mengenai bahasa, agama, budaya, geografis, sejarah, kesusastraan dan seni-seni bangsa Timur.[17] Adapun menurut Edward Said[18], orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman Barat Eropa dengan sebuah gaya pemikiran berdasarkan ontologi dan epistimologi antara Timur dan Barat pada umumnya; dan sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali dan mempunyai kekuasaan terhadap timur. Dalam pengertian yang sempit ialah kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam.[19]
Secara analitis pengertian orientalisme pada tiga hal; 1) keahlian mengenai wilayah Timur; 2) metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran; 3) sikap ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya terhadap dunia Islam.[20]
Adapun pengertian orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan ”Timur”, biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.[21] Atau juga orientalis adalah segolongan sarjana Barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya, dan mereka yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.[22]
Tidak ada keterangan yang jelas kapan dan siapa sebenarnya orang Barat yang pertama kali mempelajari Islam. Sebagian peneliti menyatakan kegiatan orientalis itu sendiri ada pada abad kesepuluh Masehi. Sebagian lain berpendapat muncul setelah Perang Salib yang berlangsung selama dua abad antara 1097-1295. Adapula yang menyatakan orientalisme telah memulai aktifitasnya pada abad XIII di Andalusia, ketika serangan kaum Salibi Spanyol terhadap Islam mencapai Puncaknya. Ada pula yang menyatakan bahwa kajian ketimuran yang kemudian dinamakan dengan orientalisme bersamaan dengan munculnya imperialisme dan kolonialisme Eropa ke dunia Islam abad XVIII Masehi, disaat melemahnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah yang dianggap sebagai garis pemisah antara Eropa dengan negara-negara Timur.[23]
Namun diantara kemunculan orientalisme disebabkan beberapa hal, yaitu : Pertama: terjadinya Perang Salib dan Imperialisme atau kolonialisme. Kedua : sentuhan Barat dengan perguruan-perguruan tinggi Islam. Ketiga : penyalinan naskah-naskah ke dalam bahasa latin pada setiap bidang ilmu pengetahuan.[24]
Kajian orientalisme mempunyai karakter khusus, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemahaman orientalisme itu sendiri,[25] diantaranya :
a. Orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan sangat erat hubungannya dengan kolonial Barat. Khususnya kolonial Inggris dan Perancis sejak akhir abad XIII hingga usainya perang dunia kedua. Kalau ada kolonialisme, disitu ada orientalisme.
b. Orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai ikatan yang kuat dengan gerakan kristenisasi. Antara lain untuk mempelajari dan memahami secara mendalam masalah-masalah yang mungkin dapat digunakan sebagai sarana mengotori citra Islam, menumbuhkan perselisihan dan pertentangan di kalangan sesama umat Islam serta menumbuhkan perasaan ragu terhadap ajaran Islam dan berusaha keras memurtadkan umat Islam.
c. Orientalisme merupakan kajian gabungan yang mesra antara kolonialisme dengan gerakan kristenisasi, yang validitas ilmiah dan objektivitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak, terutama dalam kajian Islam, yang dimulai dengan mengalihkan dan mengubah pandangan dari metode Islam kepada metode pengetahuan Barat.
d. Orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap potensial dalam politik dan dunia Barat untuk melawan Islam dan kaum muslimin.[26]
Dengan demikian di dunia Islam pemaknaan orientalise mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalisme dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat.[27] Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam. Kenyataan ini dapat dipahami lantaran kelompok orientalis yang murni sebagai pencari kebenaran sangatlah sedikit jika dibanding dengan yang lainnya.[28]
B. Hadits Dalam Pandangan Orientalis
Hadits adalah sebuah bangunan yang mengandung ucapan, perbuatan atau ketentuan-ketentuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., sehingga bagi orientalis hadits adalah merupakan kajian yang mudah bagi mereka untuk mendistorsikan hadits secara keseluruhan.
Ada beberapa faktor yang mendorong hadits menjadi kajian orientalis dalam menjelekan Islam, yaitu; Pertama : Faktor lebih mudahnya usaha memburukkan Islam melalui penyelidikan hadits daripada penelitian terhadap Al-Qur’an. Beberapa studi yang dibuat secara serius , objektif dan jauh dari polemik telah menunjukkan adanya keinginan kuat para orientalis untuk mendiskriditkan Islam. Kedua : Faktor lain yang juga kuat dalam mendorong perhatian terhadap penyelidikan hadits adalah banyaknya kontradiksi dalam materi corpus hadits sendiri.[29]
Tiga wilayah cakupan studi hadits yang telah dikenal umum oleh para muhadditsin untuk menentukan otentisitas hadits hadits yaitu pelacakan isnad hadits, ktirik matan dan metode kritik perawi, dibongkar kembali oleh para orientalis dan memunculkan tesis-tesis baru yang menyanggah kebenaran-kebenaran hadits; terutama kebenaran bahwa hadits berasal dari Muhammad.
Aspek-aspek yang dijadikan sebagai lahan kritik orientalis dalam penolakan mereka terhadap otentisitas hadits, diantaranya banyak argumen yang secara umum dikemukakan oleh mereka, yaitu :
1) Aspek Pribadi Nabi Muhammad
Argumen pertama dan paling utama orientalis meragukan otentisitas hadits adalah bahwa hadits-hadits itu buatan manusia dan bukan wahyu.[30] Menurut orientalis pribadi Muhammad perlu dipertanyakan, mereka membagi status Muhammad menjadi tiga, sebagai rosul, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Sesuatu yang didasarkan dari Nabi Muhammad baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.[31]
2) Aspek Asanid (Rangkaian Perawi).
Orientalis memiliki kesimpulan bahwa semua asanid itu fiktif atau bahwa yang asli dan yang palsu itu tidak bisa dibedakan secara pasti. Isnad yang sampai kepada Nabi Muhammad jauh lebih diragukan ketimbang isnad yang sampai kepada shahabat.[32]
3) Aspek Matan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ktirik isnad adalah satu-satunya metode yang dipraktekkan ahli-ahli hadits untuk menyaring mana hadits yang shahih dan hadits mana yang tidak shahih. Menurut orientalis matan hampir tidak pernah dipertanyakan; hanya jika isi sebuah hadits yang isnad-nya shahih jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, baru ditolak; kalau isinya dapat diinterpretasikan sedemikian sehingga menjadi selaras dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain, hadits itu tidak dikritik.[33]
Selanjutnya penulis akan menelusuri kajian yang dilakukan oleh orientalis yaitu Ignaz Goldziher dan Josepht Schahct atas keraguannya terhadap otentisitas hadits.
1. Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah orientalis Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M, Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo.[34] Pada tahun 1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904 menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest akhirnya ia meninggal pada 13 November 1921.[35]
Karya-karya tulisannya yang membahas masalah-masalah keislaman banyak di publisir dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis. Bahkan sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan yang paling berpengaruh dari karya-karya tulisannya adalah buku Muhammadanische Studien, dimana ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadits di Barat.[36] Di samping karyanya yang lain seperti: Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of Law is Islam), Introduction to Islamic Theology and Law, Etudes Sur La Tradition Islamique.[37]
Secara umum pandangan Ignaz Goldziher terhadap hadits adalah bahwa apa yang disebut hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw.[38] Menurut Goldziher, hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam.
Menurut Goldziher, literatur hadits harus dipandang sebagai hasil evolusi agama, sejarah dan sosial Islam selama dua abad pertama eksistensinya.[39] Ini berarti, hadits adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau.[40] Ataupun hadits tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat nabi yang didasarkan pada fenomene-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.[41]
Diantara yang turut mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris bernama Alfred Guillaume. Dalam bukunya mengenai sejarah hadits, mantan guru besar Universitas Oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai literatur hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi SAW.[42]
Keraguan Goldziher tentang keabsahan dan keotentikan hadits didasarkan atas beberapa alasan, diantaranya, ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama.[43] Ia mengatakan bahwa kesulitan data yang otentik diakibatkan karena kondisi masyarakat Islam pada abad pertama Hijriah sama sekali tidak mendukung budaya pemeliharaan data tersebut yang belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan,, memelihara ritus-ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang kompleks. Terlebih lagi pada saat itu buta huruf masih merajalela dimana-mana.[44]
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian ,menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan.[45] Metode kritik matan hadits oleh Goldziher itu berbeda dengan metode kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain.[46] Lebih jauh hal itu dilakukan guna menggambarkan sampai sejauhmana hubungan teks hadits dengan kondisi eksternal kondisi sosial politik dimana hadits itu muncul.[47]
Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadits yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al- Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (Syiria adan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Shakhra di al-Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.[48]
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadits dengan sanad yang bersambung ke Nabi SAW dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al-Haram (di Makkah), Masjid Nabawi (di Madinah) dan Masjid al-Aqsha (di al-Quds/Jerusalem).[49]
Jelaslah bagi kita, karena kondisi politik saat itu yang mendudukan rezim Umawiyah berada pada puncak kekuasaan, Imam al-Zuhri telah dimanfaatkan untuk memalsukan hadits sesuai dengan keinginan dan kebijakan politik mereka.[50]
2. Joseph Schacht
Josepht Schahct adalah seorang profesor kelahiran Silisie Jerman pada tanggal 15-3-1902. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa timur di universitas Berslaw dan universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor dari universitas Berslaw pada tahun 1923 ketika berumur 21 tahun.[51]
Pada tahun 1925 ia diangkat jadi dosen di Universitas Fribourg dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagi guru besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourgh dan 2 tahun kemudian ia meninggalkan negrinya jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (universitas Cairo) di Mesir. Ia tinggal di Mesir sampai tahun 1939 sebagai guru besar. Karena meletus perang dunia II Schacht pindah ke Inggris dan belajar lagi di Pasca Sarjana Universitas Oxford. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1952. Pada tahun 1954 ia pindah ke Belanda sebagai guru besar di universitas Leiden sampai tahun 1959. Ia pindah lagi ke universitas Columbia New York sebagai guru besar sampai ia meninggal pada tahun 1969.[52]
Adapun karya ilmiah yang pernah ditulisnya adalah The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxford: Claredon Press, 1950), An-Introduction to Islamic Law (Oxford: Claredon Press, 1964), Islamic Law dalam The Encyclopedia of Social Sciences (11932), Pre Islamic Background and Early Development of Jurisprudence dalam Law in Middle East: Original Development (Washington, DC. The Middle East Institute, 1995) dan karya terakhirnya adalah Theology and Law in Islam (Wiesbaden: Otto Harrosowitz, 1997)[53]
Namun karya tulisnya yang monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammad Jurisprudence yang terbit tahun 1950 dan bukunya An-Introduction to Islamic Law yang terbit tahun 1960. [54] Pandangan Josepht Schahct terdapat dalam dua karya tersebut, yang menyajikan hasil kajiannya tentang hadits nabawi, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah.[55] Ia mengatakan bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu hadits tidak pernah ada dalam satu kurun tertentu adalah dengan menunjukkan kenyataan bahwa hadits tidak pernah digunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha, sebab seandainya ada, pasti hal itu dijadikan referensi.[56] Alasan lain adalah para Khulafa al-Rasyidin sebagai pemimpin politik untuk umat Islam akan mengambilnya sebagai sumber hukum yang tertinggi, justru tidak terjadi, malahan mereka mengambil perbuatan-perbuatan mereka sendiri untuk dijadikan rujukan hukum.[57]
Dalam mengkaji Hadits Nabawi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad (transmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadits). Sementara kitab-kitab yang dipakai ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwatta karya Imam Malik, kitab al-Muwatta karya Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Um dan al-Risalah karya Imam al-ASyafi’i. Menurut Prof. Dr. M.M. Azami, kitab-kitab ini lebih layak disebut kitab-kitab fiqh daripada kitab-kitab hadits. Sebab kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, meneliti hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih hasilnya tidak akan tepat, penelitian hadits harus pada kitab-kitab hadits.[58]
Sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan menurut Schacht otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back,[59] yaitu menisbahkan (mengaitkan) pendapat para ahli Fiqih abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar mendapat legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi.[60] Menurutnya Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w 110 H) penegasan ini memberi pengertian apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para khalifah dulu tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Ummayah.[61]
Kira-kira pada akhir abad pertama Hijri (± 715-720 M) pengangkatan qadhi ini ditujukan kepada orang-orang spesialis yang berasal dari kalangan yang taat beragama. Karena jumlah orang-orang spesialis ini kian bertambah, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok Aliran Fiqih Klasik. Keputusan-keputusan hukum kepada qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya.[62]
Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat tersebut tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan kepada tokoh-tokoh terdahulu sekali, bahkan shahabat dan pada akhirnya pada Nabi Saw. yang memiliki otoritas paling tinggi.[63] Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh dibelakangnya.
Pada bagian lain ia menilai bahwa sanad hadits hanya merupakan semacam pembenaran teoritis terhadap apa yang diyakini sebagai kepercayaan naluriah. Menurutnya munculnya aliran fiqih klasik ini membawa konsekuensi logis, yaitu munculnya kelompok oposisi yang terdiri dari ahli-ahli hadits. Pemikiran dasar ahli hadits ini adalah bahwa hadits yang berasal dari Nabi Saw. harus dapat mengalahkan aturan-aturan yang dibuat ahli fiqih. Untuk mencapai tujuan tersebut kelompok oposisi ini membuat penjelasan hadits seraya mengatakan bahwa hal tersebut pernah dilakukan atau diucapkan oleh Nabi Saw. dengan sanad bersambung dan perawi terpercaya.[64]
C. Bantahan Ulama Terhadap Pandangan Orientalis
Dari pandangan orientalis yang menanggapi keraguan otentisitas hadits yang dilontarkan dua tokoh orientalis tersebut, sedikitnya telah disanggah oleh para ahli Hadits kontemporer. Diantaranya adalah Prof. Dr. Mustafa al-Siba’i (Guru Besar Universitas Damaskus) dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islam, Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin, Prof Dr. Muhammad Mustafa Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Saud Riyadh) dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.[65]
Bahwa banyak hadits yang diyakini ditulis satu abad setelah wafat nabi tahun 632 ini adalah tidak benar. Ulama Islam seperti Mustafa al-A’zami dan Mustafa As-Syiba’i mengkritik tesis dan fremis orientalis itu. Al-‘Azami berpendapat bahwa para shahabat nabi menuliskan hadits-hadits dan bahwa periwayatannya pun dilakukan secara tertulis hingga hadits-hadits itu dikodifikasikan pada abad ke tiga hijriah. Menurut Tirmidzi, ada beberapa shahabat yang memiliki dokumen hadits antara lain Ibnu Sa’ad Bin Ubadah Al-Ansary, Abdullah bin Abi Aufa, yang menulis shahifah sendiri, dan Samrah bin Zundar. Orang yang pertama menuliskan kitab hadits yang dikenal dengan Ibnu Syihab Az-Zuhri.[66] Selain itu tidak kurang dari 52 shahabat memiliki naskah-naskah catatan hadits. Demikian pula tidak kurang dari 247 Tabi’in (generasi sesudah shahabat) juga memiliki hal serupa.[67]
Mengenai tuduhan terhadap Imam al-Zuhri yang bersekongkol dengan penguasa Umayah dalam memalsukan hadits, Menurut Azami, tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H, Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abd al-Malik bin Marwan sebelum tahun 81. Pada tahun 68 orang-orang dari Dinasti Bani Umayah berada di Mekah pada musim haji. Dari Prof. Dr. Azami berkesimpulan bahwa Abd al-Malik bin Marwan baru berfikir untuk membangun Qubbah Sakhra yang konon akan dijadikan pengganti Ka’bah itu pada tahun 68 H.[68]
Apabila demikian halnya, maka al-Zuhri pada saat itu baru berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai seorang intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Mekkah ke Jerusalem.[69] Selain itu kata Mustafa As-Syiba’i, bahwa Az-Zuhri bukanlah abdi Umayyah yang taat dan rendah hati, yang segera melakukan apa yang disuruhkan kepadanya, tetapi seorang ulama yang lurus dan teguh yang tak seorang pun pernah mendapati ia mengucapkan kepalsuan yang bertentangan dengan agama atau hati nurani keulamannya.[70]
Argumen lain yang juga meruntuhkan teori Goldziher ini adalah tek Hadits itu sendiri sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih al-Bukhari. Disitu tidak ada satu isyarat pun yang menunjukkan bahwa haji dapat dilakukan di al-Quds (Jerussalem), yang ada hanyalah isyarat pemberian ‘keistimewaan’ kepada Masjid al-Aqsha.[71] Dalam hal ini orientalis memiliki pengetahuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami matan hadits. Mereka pada umumnya memahami matan hadits tanpa mempertimbangkan hal-hal dibalik teks.[72] Metode untuk memahami hadits ini namakan “Metode Kesatuan” (al-Munasabah) yang diadopsi dari metode tafsir namun dalam kontek yang lebih luas. Dalam pengoperasiannya metode ini menghubungkan matan hadits dengan matan-matan lainnya. Atau bahkan dengan ayat Qur’an dan riwayat hidup nabi.[73]
Selanjutnya untuk menghancurkan teori Schacht (Projecting back), Azami melakukan penelitian tentang hadits-hadits nabawi, diantaranya naskah milik Suhail bin Abi Shalih (w. 138 H). Abu Shalih adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi s.a.w. Karenanya, sanad (transmisi) Hadits dalam Naskah itu berbentuk : Nabi s.a.w–Abu Hurairah–Abu Shalih – Suhail.[74] Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga (Suhail) jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang. Sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadits yang mereka riwayatkan redaksinya sama.[75] Maka azami berkesimpulan, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadits palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadits, kemudian generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadits yang mereka buat itu sama.[76]
D. Kontribusi Orientalis Terhadap Hadits
Dalam sejarah yang panjang dikalangan orang Islam, orientalis dikenal sebagai orang Barat yang menekuni masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam, dengan berbagai kajian ketimuran, baik konsumsi politik penjajahan maupun dalam bentuk penelitian ilmiah yang terselubung dengan membawa misi kristenisasi, zionesme dan sebagainya.
Walaupun demikian, masih terdapat orientalis yang hanya menggunakan pendekatan ilmiah atau setengah ilmiah, khususnya ketika pengkajian Islam di berbagai lembaga di Barat tidak lagi dibawah organisasi keagamaan atau fakultas teologi, dan setelah orientalis tidak lagi sepenuhnya berasaal dari kalangan tokoh-tokoh agama semata. Ini secara khusus dalam perkembangan terakhir orientalisme mengenai Islam.[77]
Dari kalangan inilah lahir hasil karya yang banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian Islam dikalangan muslim dan bukan muslim. Saham terbesar adalah karya dalam bidang penyusunan berbagai indeks, kamus, leksikon dan ensiklopedi secara kolektif dan perorangan.
Kontribusi karya orientalis yang banyak digunakan ilmuwan dan ulama Islam khususnya dalam bidang hadits adalah indek hadits Consordance et Indices da la Traadition Musulmane, dibawah asuhan orientalis Belanda A.J. Wensinck, terdiri atas 7 jilid.[78]
Hingga sekarang belum ada indeks hadits yang lebih baik dan sistematis, disusun berdasarkan kitab-kitab hadits yang digunakan umat Islam, terutama Kutubus Sittah. Dengan mempergunakan indeks ini, kita dapat mencari perawi sebuah hadits, kutipan pokok “matan” (teks) hadits dan dalam kitab mana kita dapat menemukannya. Ini sangat penting, mengingat matan hadits tidak dapat di cek kebenarannya secara mudah seperti mengecek kebenaran ayat Al-Qur’an.
Dalam indeks ini, kita tidak lagi direpotkan untuk meneliti satu persatu daftar isi semua kitab hadits untuk menemukan hadits yang dicari, tetapi cukup dengan mencari pokok atau kata kunci dalam sebuah hadits, kemudian dapat dicari langsung pada sumber yang ditunjukkannya.[79] Kesulitan kecil yang ditemukan adalah indeks ini disusun berdasarkan kitab-kitab hadits sebelum tahun 1939, sementara kitab-kitab hadits tersebut telah diterbitkan lagi dalam berbagai edisi, sehingga kadang-kadang, halaman dan jilid buku hadits yang ditunjuk oleh indeks tidak lagi persis. Selain itu akhir-akhir ini telah terbit kitab-kitab yang menyaring kembali hadits-hadits menurut shahih dan dha’ifnya, seperti beberapa jilid tebal oleh Nashiruddin Al-Albani.
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, bahwa di dunia Islam pemaknaan orientalis mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalis dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat. Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam.
Goldziher dan Schacht sebagai orientalis yang terkemuka dan berpengaruh memiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw. menurut mereka hadits adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher menawarkan metodenya dengan menggunakan kritik matan. Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW menurut otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back.
Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan bahwa adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya sebagai orientalis yang setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri untuk menyudutkan Islam dibalik kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami hadits dengan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Tajul, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech), 2009
Ash Shiddieqy, M. Hasybi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra), 1999
Buchari, Mannan, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah), 2006
Darmalaksana, Wahyudin, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press), 2004
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), 2002
E. Said, Edward, Orientalisme, (Bandung: Pustaka), 2001
Hanafi, A., Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits), (Jakarta: Pustaka Al-Husna), 1981
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang),
1992
Juyhnbool, G.H.A., The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt, terj. Ilyas Hasan, (Bandung : Mizan), 1999
Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits Di Mata Orientalist (http://fai-unisma-malang.blogspot.com, 20 Oktober 2009
Maufur, Mustolah, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), 1995
Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis, (http://moenawar.multiply.com /journal/ item/5), Selasa, 20 Oktober 2009
Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits, http://www.inpasonline.com,
21 Oktober 2009
Sou’yb, Joesoef , Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang), 1995
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus), 1996
[1] M. Hasybi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999) Cet. IV) hlm. 154
[2] Ibid.
[3] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm. 28
[4] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1996), Cet. 2, hlm. 8
[5] Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits, http://www.inpasonline.com, 21 Oktober 2009
[6] Ibid
[7] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009). Hlm 11
[8] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 8
[9] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 11
[10] Ibid, hlm. ix
[11] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 8
[12] Ibid, hlm. 9
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), jil. 4, hlm. 55
[14] Mustolah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), hlm. 11
[15] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995) cet. 3 hlm 1
[16] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 7
[17] Mustolah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), hlm. 11
[18] Edward E. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. IV, hlm 2-3
[19] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995) cet. 3 hlm 2
[20] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), jil. 4, hlm. 55
[21] Joesoef Sou’yb, Op. Cit. hlm 1
[22] A. Hanafi, Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits), (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), hlm 8
[23] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 55
[24] Ibid, hlm 65
[25] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 14
[26] Ibid, hlm. 14-16
[27] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 9
[28] Ibid, hlm. 10
[29] Ibid, hlm. 81
[30] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009). hlm 11
[31] Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis, (http://moenawar.multiply.com/journal/ item/5), Selasa, 20 Oktober 2009
[32] Tajul Arifin, Op. Cit. hlm, 7
[33] G.H.A. Juyhnbool, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt,, trj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999), hlm 202
[34] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 14
[35] Wahyudin Darmalaksana, Op. Cit, hlm. 92
[36] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit. hlm. 14
[37] Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits Di Mata Orientalist (http://fai-unisma-malang. blogspot. com). tanggal 21 Oktober 2009
[38] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm. 14
[39] G.H.A. Juyhnbool, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt, trj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999), hlm 153
[40] Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits http://www.inpasonline.com/ tanggal 21 Oktober 2009
[41] Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits Di Mata Orientalist (http://fai-unisma-malang. blogspot. com. 20 Oktober 2009)
[42] Syamsuddin Arif , Op. Cit.
[43] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 97
[44] Ibid, hlm.97-98
[45] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 15
[46] Ibid
[47] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 100
[48] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm 15
[49] Ibid
[50] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 103
[51] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 19
[52] Ibid
[53] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press), hlm. 110
[54] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm. 20
[55] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2, hlm. 20
[56] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm 114
[57] Ibid
[58] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 21
[59] Wahyudin Darmalaksana, Op. Cit, hlm. 115
[60] Ali Mustafa Yaqub, Op.cit, hlm. 27
[61] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 21
[62] Ibid
[63] Ibid, hlm. 116
[64] Ibid, hlm 117
[65] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 16
[66] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009), hlm 5-6
[67] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm. 30
[68] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 16
[69] Ibid
[70] G.H.A. Juyhnbool, Kontroversi Hadits di Mesir, (Bandung : Mizan, 1999), hlm 160
[71] Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm 17
[72] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009), hlm 18
[73] Ibid, hlm 10
[74] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 28
[75] Ibid
[76] Ibid
[77] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 110
[78] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 110
[79] Ibid, hlm. 111
sumber: http://alsyihab.blogspot.co.id/2010/07/hadits-dalam-pandangan-orientalis.html
Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi maka banyak penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan atau mengetahui kualitas hadits yang diteliti dalam hubungannya dengan kehujahan hadits yang bersangkutan.[3]
Penelitian pengkajian hadits itu ternyata tidak hanya milik kaum muslimin tetapi musuh-musuh Islam pun melakukan kajian-kajian terhadap hadits itu, diantaranya dilakukan oleh orientalis, yang memiliki tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil atau dasar argumentasi.
Kajian Islam yang dilakukan oleh orientalis pada mulanya hanya ditujukan hanya kepada materi-materi keislaman secara umum, termasuk bidang sastra dan sejarah. Baru pada masa-masa belakangan mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang Hadits Nabawi.[4]
Gugatan orientalis terhadap hadits dimulai pada pertengahan abad ke-19 M. adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).[5] Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir. Menurutnya dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan.[6]
Serangan terhadap hadits itu mencapai puncaknya setelah Ignaz Goldziher menulis Muhammadenische Studien (Studi Islam) yang dipandang sebagai kritikan paling penting terhadap hadits diabad 19.[7] Kurang lebih enam puluh tahun sesudah terbitnya buku Goldziher itu, Joseph Schacht yang juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadits dalam sebuah buku yang berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. [8]
Sebagai laskar orientalis, Ignaz Goldziher dan Joseph Schaht adalah tokoh yang paling terkemuka dalam pengkajian hadits.[9] secara khusus memfokuskan diri dalam pengkajian Ilmu Hadits keduanya mencoba menelaah dan mengkritik konsturksi hadits berdasarkan prespektif orientalisme.[10] Baik Goldziher maupun Schaht meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact berpendapat lebih jauh sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun hadits yang otentik dari Nabi s.a.w, khususnya hadits-hadits yang berhubungan dengan hukum Islam.[11]
Diantara sekian banyak orientalis yang mengkaji hadits, penulis mencoba menelusuri pandangan kedua orientalis tersebut yaitu Ignaz Goldziher dan Joseph Schaht yang berpengaruh dalam penelitian hadits, dan karena orientalis-orientalis sesudahnya pada umumnya hanya mengikuti kedua tokoh tersebut.[12] Bangunan tulisan ini dimulai dengan melihat batasan orientalisme, pemikiran mereka dalam kajian hadits yang disertai komentar dan bantahan muhaditsin kontemporer, dan bagaimana kontribusi orientalis terhadap hadits.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Orientalisme dan Orientalis
Orientalisme merupakan istilah yang diambil dari bahasa Perancis dengan asa kata ”orient” yang berarti timur dan ”isme” artinya faham, ajaran, cita-cita atau sikap.[13] Sedangkan menurut Mustolah Maufur bahwa kata ”orient” berasal dari bahasa Latin ”oriri” yang berarti terbit, dan dalam bahasa Inggris artinya ”direction of rising sun” (arah terbitnya matahari atau bumi belahan Timur).[14]
Menurut H.M. Joesoef Sou’yb[15] Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah berarti timur dan secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara etnologi berarti bangsa-bangsa di timur. Kata Orient itu memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Suku kata isme (Belanda) atau ism (Inggris) menunjukkan pengertian tentang sesuatu paham. Jadi Orientalisme adalah sesuatu paham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya.
Lawan kata orien dalam bahasa Perancis adalah occident, yang secara harfiah berarti Barat dan secara geografis berarti dunia belahan Barat, dan secara etnologi berarti bangsa-bangsa di Barat. Adapun kada Occidental berarti hal-hal yang berkaitan dengan dunia Barat beserta lingkungannya. Berbeda dengan orientalisme kata Occidental hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin ilmu.[16]
Secara istilah orientalisme mengandung beberapa pengertian, dalam konteks suatu kajian keilmuan Abdul Haq Ediver, mengartikan orientalisme secara umum, yaitu suatu pengertian sempurna yang terkumpul dari sumber pengetahuan asli mengenai bahasa, agama, budaya, geografis, sejarah, kesusastraan dan seni-seni bangsa Timur.[17] Adapun menurut Edward Said[18], orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman Barat Eropa dengan sebuah gaya pemikiran berdasarkan ontologi dan epistimologi antara Timur dan Barat pada umumnya; dan sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali dan mempunyai kekuasaan terhadap timur. Dalam pengertian yang sempit ialah kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam.[19]
Secara analitis pengertian orientalisme pada tiga hal; 1) keahlian mengenai wilayah Timur; 2) metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran; 3) sikap ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya terhadap dunia Islam.[20]
Adapun pengertian orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan ”Timur”, biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.[21] Atau juga orientalis adalah segolongan sarjana Barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya, dan mereka yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.[22]
Tidak ada keterangan yang jelas kapan dan siapa sebenarnya orang Barat yang pertama kali mempelajari Islam. Sebagian peneliti menyatakan kegiatan orientalis itu sendiri ada pada abad kesepuluh Masehi. Sebagian lain berpendapat muncul setelah Perang Salib yang berlangsung selama dua abad antara 1097-1295. Adapula yang menyatakan orientalisme telah memulai aktifitasnya pada abad XIII di Andalusia, ketika serangan kaum Salibi Spanyol terhadap Islam mencapai Puncaknya. Ada pula yang menyatakan bahwa kajian ketimuran yang kemudian dinamakan dengan orientalisme bersamaan dengan munculnya imperialisme dan kolonialisme Eropa ke dunia Islam abad XVIII Masehi, disaat melemahnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah yang dianggap sebagai garis pemisah antara Eropa dengan negara-negara Timur.[23]
Namun diantara kemunculan orientalisme disebabkan beberapa hal, yaitu : Pertama: terjadinya Perang Salib dan Imperialisme atau kolonialisme. Kedua : sentuhan Barat dengan perguruan-perguruan tinggi Islam. Ketiga : penyalinan naskah-naskah ke dalam bahasa latin pada setiap bidang ilmu pengetahuan.[24]
Kajian orientalisme mempunyai karakter khusus, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemahaman orientalisme itu sendiri,[25] diantaranya :
a. Orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan sangat erat hubungannya dengan kolonial Barat. Khususnya kolonial Inggris dan Perancis sejak akhir abad XIII hingga usainya perang dunia kedua. Kalau ada kolonialisme, disitu ada orientalisme.
b. Orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai ikatan yang kuat dengan gerakan kristenisasi. Antara lain untuk mempelajari dan memahami secara mendalam masalah-masalah yang mungkin dapat digunakan sebagai sarana mengotori citra Islam, menumbuhkan perselisihan dan pertentangan di kalangan sesama umat Islam serta menumbuhkan perasaan ragu terhadap ajaran Islam dan berusaha keras memurtadkan umat Islam.
c. Orientalisme merupakan kajian gabungan yang mesra antara kolonialisme dengan gerakan kristenisasi, yang validitas ilmiah dan objektivitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak, terutama dalam kajian Islam, yang dimulai dengan mengalihkan dan mengubah pandangan dari metode Islam kepada metode pengetahuan Barat.
d. Orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap potensial dalam politik dan dunia Barat untuk melawan Islam dan kaum muslimin.[26]
Dengan demikian di dunia Islam pemaknaan orientalise mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalisme dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat.[27] Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam. Kenyataan ini dapat dipahami lantaran kelompok orientalis yang murni sebagai pencari kebenaran sangatlah sedikit jika dibanding dengan yang lainnya.[28]
B. Hadits Dalam Pandangan Orientalis
Hadits adalah sebuah bangunan yang mengandung ucapan, perbuatan atau ketentuan-ketentuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., sehingga bagi orientalis hadits adalah merupakan kajian yang mudah bagi mereka untuk mendistorsikan hadits secara keseluruhan.
Ada beberapa faktor yang mendorong hadits menjadi kajian orientalis dalam menjelekan Islam, yaitu; Pertama : Faktor lebih mudahnya usaha memburukkan Islam melalui penyelidikan hadits daripada penelitian terhadap Al-Qur’an. Beberapa studi yang dibuat secara serius , objektif dan jauh dari polemik telah menunjukkan adanya keinginan kuat para orientalis untuk mendiskriditkan Islam. Kedua : Faktor lain yang juga kuat dalam mendorong perhatian terhadap penyelidikan hadits adalah banyaknya kontradiksi dalam materi corpus hadits sendiri.[29]
Tiga wilayah cakupan studi hadits yang telah dikenal umum oleh para muhadditsin untuk menentukan otentisitas hadits hadits yaitu pelacakan isnad hadits, ktirik matan dan metode kritik perawi, dibongkar kembali oleh para orientalis dan memunculkan tesis-tesis baru yang menyanggah kebenaran-kebenaran hadits; terutama kebenaran bahwa hadits berasal dari Muhammad.
Aspek-aspek yang dijadikan sebagai lahan kritik orientalis dalam penolakan mereka terhadap otentisitas hadits, diantaranya banyak argumen yang secara umum dikemukakan oleh mereka, yaitu :
1) Aspek Pribadi Nabi Muhammad
Argumen pertama dan paling utama orientalis meragukan otentisitas hadits adalah bahwa hadits-hadits itu buatan manusia dan bukan wahyu.[30] Menurut orientalis pribadi Muhammad perlu dipertanyakan, mereka membagi status Muhammad menjadi tiga, sebagai rosul, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Sesuatu yang didasarkan dari Nabi Muhammad baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.[31]
2) Aspek Asanid (Rangkaian Perawi).
Orientalis memiliki kesimpulan bahwa semua asanid itu fiktif atau bahwa yang asli dan yang palsu itu tidak bisa dibedakan secara pasti. Isnad yang sampai kepada Nabi Muhammad jauh lebih diragukan ketimbang isnad yang sampai kepada shahabat.[32]
3) Aspek Matan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ktirik isnad adalah satu-satunya metode yang dipraktekkan ahli-ahli hadits untuk menyaring mana hadits yang shahih dan hadits mana yang tidak shahih. Menurut orientalis matan hampir tidak pernah dipertanyakan; hanya jika isi sebuah hadits yang isnad-nya shahih jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, baru ditolak; kalau isinya dapat diinterpretasikan sedemikian sehingga menjadi selaras dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain, hadits itu tidak dikritik.[33]
Selanjutnya penulis akan menelusuri kajian yang dilakukan oleh orientalis yaitu Ignaz Goldziher dan Josepht Schahct atas keraguannya terhadap otentisitas hadits.
1. Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah orientalis Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M, Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo.[34] Pada tahun 1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904 menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest akhirnya ia meninggal pada 13 November 1921.[35]
Karya-karya tulisannya yang membahas masalah-masalah keislaman banyak di publisir dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis. Bahkan sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan yang paling berpengaruh dari karya-karya tulisannya adalah buku Muhammadanische Studien, dimana ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadits di Barat.[36] Di samping karyanya yang lain seperti: Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of Law is Islam), Introduction to Islamic Theology and Law, Etudes Sur La Tradition Islamique.[37]
Secara umum pandangan Ignaz Goldziher terhadap hadits adalah bahwa apa yang disebut hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw.[38] Menurut Goldziher, hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam.
Menurut Goldziher, literatur hadits harus dipandang sebagai hasil evolusi agama, sejarah dan sosial Islam selama dua abad pertama eksistensinya.[39] Ini berarti, hadits adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau.[40] Ataupun hadits tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat nabi yang didasarkan pada fenomene-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.[41]
Diantara yang turut mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris bernama Alfred Guillaume. Dalam bukunya mengenai sejarah hadits, mantan guru besar Universitas Oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai literatur hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi SAW.[42]
Keraguan Goldziher tentang keabsahan dan keotentikan hadits didasarkan atas beberapa alasan, diantaranya, ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama.[43] Ia mengatakan bahwa kesulitan data yang otentik diakibatkan karena kondisi masyarakat Islam pada abad pertama Hijriah sama sekali tidak mendukung budaya pemeliharaan data tersebut yang belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan,, memelihara ritus-ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang kompleks. Terlebih lagi pada saat itu buta huruf masih merajalela dimana-mana.[44]
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian ,menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan.[45] Metode kritik matan hadits oleh Goldziher itu berbeda dengan metode kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain.[46] Lebih jauh hal itu dilakukan guna menggambarkan sampai sejauhmana hubungan teks hadits dengan kondisi eksternal kondisi sosial politik dimana hadits itu muncul.[47]
Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadits yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al- Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (Syiria adan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Shakhra di al-Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.[48]
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadits dengan sanad yang bersambung ke Nabi SAW dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al-Haram (di Makkah), Masjid Nabawi (di Madinah) dan Masjid al-Aqsha (di al-Quds/Jerusalem).[49]
Jelaslah bagi kita, karena kondisi politik saat itu yang mendudukan rezim Umawiyah berada pada puncak kekuasaan, Imam al-Zuhri telah dimanfaatkan untuk memalsukan hadits sesuai dengan keinginan dan kebijakan politik mereka.[50]
2. Joseph Schacht
Josepht Schahct adalah seorang profesor kelahiran Silisie Jerman pada tanggal 15-3-1902. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa timur di universitas Berslaw dan universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor dari universitas Berslaw pada tahun 1923 ketika berumur 21 tahun.[51]
Pada tahun 1925 ia diangkat jadi dosen di Universitas Fribourg dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagi guru besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourgh dan 2 tahun kemudian ia meninggalkan negrinya jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (universitas Cairo) di Mesir. Ia tinggal di Mesir sampai tahun 1939 sebagai guru besar. Karena meletus perang dunia II Schacht pindah ke Inggris dan belajar lagi di Pasca Sarjana Universitas Oxford. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1952. Pada tahun 1954 ia pindah ke Belanda sebagai guru besar di universitas Leiden sampai tahun 1959. Ia pindah lagi ke universitas Columbia New York sebagai guru besar sampai ia meninggal pada tahun 1969.[52]
Adapun karya ilmiah yang pernah ditulisnya adalah The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxford: Claredon Press, 1950), An-Introduction to Islamic Law (Oxford: Claredon Press, 1964), Islamic Law dalam The Encyclopedia of Social Sciences (11932), Pre Islamic Background and Early Development of Jurisprudence dalam Law in Middle East: Original Development (Washington, DC. The Middle East Institute, 1995) dan karya terakhirnya adalah Theology and Law in Islam (Wiesbaden: Otto Harrosowitz, 1997)[53]
Namun karya tulisnya yang monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammad Jurisprudence yang terbit tahun 1950 dan bukunya An-Introduction to Islamic Law yang terbit tahun 1960. [54] Pandangan Josepht Schahct terdapat dalam dua karya tersebut, yang menyajikan hasil kajiannya tentang hadits nabawi, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah.[55] Ia mengatakan bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu hadits tidak pernah ada dalam satu kurun tertentu adalah dengan menunjukkan kenyataan bahwa hadits tidak pernah digunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha, sebab seandainya ada, pasti hal itu dijadikan referensi.[56] Alasan lain adalah para Khulafa al-Rasyidin sebagai pemimpin politik untuk umat Islam akan mengambilnya sebagai sumber hukum yang tertinggi, justru tidak terjadi, malahan mereka mengambil perbuatan-perbuatan mereka sendiri untuk dijadikan rujukan hukum.[57]
Dalam mengkaji Hadits Nabawi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad (transmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadits). Sementara kitab-kitab yang dipakai ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwatta karya Imam Malik, kitab al-Muwatta karya Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Um dan al-Risalah karya Imam al-ASyafi’i. Menurut Prof. Dr. M.M. Azami, kitab-kitab ini lebih layak disebut kitab-kitab fiqh daripada kitab-kitab hadits. Sebab kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, meneliti hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih hasilnya tidak akan tepat, penelitian hadits harus pada kitab-kitab hadits.[58]
Sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan menurut Schacht otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back,[59] yaitu menisbahkan (mengaitkan) pendapat para ahli Fiqih abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar mendapat legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi.[60] Menurutnya Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w 110 H) penegasan ini memberi pengertian apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para khalifah dulu tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Ummayah.[61]
Kira-kira pada akhir abad pertama Hijri (± 715-720 M) pengangkatan qadhi ini ditujukan kepada orang-orang spesialis yang berasal dari kalangan yang taat beragama. Karena jumlah orang-orang spesialis ini kian bertambah, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok Aliran Fiqih Klasik. Keputusan-keputusan hukum kepada qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya.[62]
Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat tersebut tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan kepada tokoh-tokoh terdahulu sekali, bahkan shahabat dan pada akhirnya pada Nabi Saw. yang memiliki otoritas paling tinggi.[63] Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh dibelakangnya.
Pada bagian lain ia menilai bahwa sanad hadits hanya merupakan semacam pembenaran teoritis terhadap apa yang diyakini sebagai kepercayaan naluriah. Menurutnya munculnya aliran fiqih klasik ini membawa konsekuensi logis, yaitu munculnya kelompok oposisi yang terdiri dari ahli-ahli hadits. Pemikiran dasar ahli hadits ini adalah bahwa hadits yang berasal dari Nabi Saw. harus dapat mengalahkan aturan-aturan yang dibuat ahli fiqih. Untuk mencapai tujuan tersebut kelompok oposisi ini membuat penjelasan hadits seraya mengatakan bahwa hal tersebut pernah dilakukan atau diucapkan oleh Nabi Saw. dengan sanad bersambung dan perawi terpercaya.[64]
C. Bantahan Ulama Terhadap Pandangan Orientalis
Dari pandangan orientalis yang menanggapi keraguan otentisitas hadits yang dilontarkan dua tokoh orientalis tersebut, sedikitnya telah disanggah oleh para ahli Hadits kontemporer. Diantaranya adalah Prof. Dr. Mustafa al-Siba’i (Guru Besar Universitas Damaskus) dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islam, Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin, Prof Dr. Muhammad Mustafa Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Saud Riyadh) dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.[65]
Bahwa banyak hadits yang diyakini ditulis satu abad setelah wafat nabi tahun 632 ini adalah tidak benar. Ulama Islam seperti Mustafa al-A’zami dan Mustafa As-Syiba’i mengkritik tesis dan fremis orientalis itu. Al-‘Azami berpendapat bahwa para shahabat nabi menuliskan hadits-hadits dan bahwa periwayatannya pun dilakukan secara tertulis hingga hadits-hadits itu dikodifikasikan pada abad ke tiga hijriah. Menurut Tirmidzi, ada beberapa shahabat yang memiliki dokumen hadits antara lain Ibnu Sa’ad Bin Ubadah Al-Ansary, Abdullah bin Abi Aufa, yang menulis shahifah sendiri, dan Samrah bin Zundar. Orang yang pertama menuliskan kitab hadits yang dikenal dengan Ibnu Syihab Az-Zuhri.[66] Selain itu tidak kurang dari 52 shahabat memiliki naskah-naskah catatan hadits. Demikian pula tidak kurang dari 247 Tabi’in (generasi sesudah shahabat) juga memiliki hal serupa.[67]
Mengenai tuduhan terhadap Imam al-Zuhri yang bersekongkol dengan penguasa Umayah dalam memalsukan hadits, Menurut Azami, tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H, Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abd al-Malik bin Marwan sebelum tahun 81. Pada tahun 68 orang-orang dari Dinasti Bani Umayah berada di Mekah pada musim haji. Dari Prof. Dr. Azami berkesimpulan bahwa Abd al-Malik bin Marwan baru berfikir untuk membangun Qubbah Sakhra yang konon akan dijadikan pengganti Ka’bah itu pada tahun 68 H.[68]
Apabila demikian halnya, maka al-Zuhri pada saat itu baru berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai seorang intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Mekkah ke Jerusalem.[69] Selain itu kata Mustafa As-Syiba’i, bahwa Az-Zuhri bukanlah abdi Umayyah yang taat dan rendah hati, yang segera melakukan apa yang disuruhkan kepadanya, tetapi seorang ulama yang lurus dan teguh yang tak seorang pun pernah mendapati ia mengucapkan kepalsuan yang bertentangan dengan agama atau hati nurani keulamannya.[70]
Argumen lain yang juga meruntuhkan teori Goldziher ini adalah tek Hadits itu sendiri sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih al-Bukhari. Disitu tidak ada satu isyarat pun yang menunjukkan bahwa haji dapat dilakukan di al-Quds (Jerussalem), yang ada hanyalah isyarat pemberian ‘keistimewaan’ kepada Masjid al-Aqsha.[71] Dalam hal ini orientalis memiliki pengetahuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami matan hadits. Mereka pada umumnya memahami matan hadits tanpa mempertimbangkan hal-hal dibalik teks.[72] Metode untuk memahami hadits ini namakan “Metode Kesatuan” (al-Munasabah) yang diadopsi dari metode tafsir namun dalam kontek yang lebih luas. Dalam pengoperasiannya metode ini menghubungkan matan hadits dengan matan-matan lainnya. Atau bahkan dengan ayat Qur’an dan riwayat hidup nabi.[73]
Selanjutnya untuk menghancurkan teori Schacht (Projecting back), Azami melakukan penelitian tentang hadits-hadits nabawi, diantaranya naskah milik Suhail bin Abi Shalih (w. 138 H). Abu Shalih adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi s.a.w. Karenanya, sanad (transmisi) Hadits dalam Naskah itu berbentuk : Nabi s.a.w–Abu Hurairah–Abu Shalih – Suhail.[74] Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga (Suhail) jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang. Sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadits yang mereka riwayatkan redaksinya sama.[75] Maka azami berkesimpulan, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadits palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadits, kemudian generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadits yang mereka buat itu sama.[76]
D. Kontribusi Orientalis Terhadap Hadits
Dalam sejarah yang panjang dikalangan orang Islam, orientalis dikenal sebagai orang Barat yang menekuni masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam, dengan berbagai kajian ketimuran, baik konsumsi politik penjajahan maupun dalam bentuk penelitian ilmiah yang terselubung dengan membawa misi kristenisasi, zionesme dan sebagainya.
Walaupun demikian, masih terdapat orientalis yang hanya menggunakan pendekatan ilmiah atau setengah ilmiah, khususnya ketika pengkajian Islam di berbagai lembaga di Barat tidak lagi dibawah organisasi keagamaan atau fakultas teologi, dan setelah orientalis tidak lagi sepenuhnya berasaal dari kalangan tokoh-tokoh agama semata. Ini secara khusus dalam perkembangan terakhir orientalisme mengenai Islam.[77]
Dari kalangan inilah lahir hasil karya yang banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian Islam dikalangan muslim dan bukan muslim. Saham terbesar adalah karya dalam bidang penyusunan berbagai indeks, kamus, leksikon dan ensiklopedi secara kolektif dan perorangan.
Kontribusi karya orientalis yang banyak digunakan ilmuwan dan ulama Islam khususnya dalam bidang hadits adalah indek hadits Consordance et Indices da la Traadition Musulmane, dibawah asuhan orientalis Belanda A.J. Wensinck, terdiri atas 7 jilid.[78]
Hingga sekarang belum ada indeks hadits yang lebih baik dan sistematis, disusun berdasarkan kitab-kitab hadits yang digunakan umat Islam, terutama Kutubus Sittah. Dengan mempergunakan indeks ini, kita dapat mencari perawi sebuah hadits, kutipan pokok “matan” (teks) hadits dan dalam kitab mana kita dapat menemukannya. Ini sangat penting, mengingat matan hadits tidak dapat di cek kebenarannya secara mudah seperti mengecek kebenaran ayat Al-Qur’an.
Dalam indeks ini, kita tidak lagi direpotkan untuk meneliti satu persatu daftar isi semua kitab hadits untuk menemukan hadits yang dicari, tetapi cukup dengan mencari pokok atau kata kunci dalam sebuah hadits, kemudian dapat dicari langsung pada sumber yang ditunjukkannya.[79] Kesulitan kecil yang ditemukan adalah indeks ini disusun berdasarkan kitab-kitab hadits sebelum tahun 1939, sementara kitab-kitab hadits tersebut telah diterbitkan lagi dalam berbagai edisi, sehingga kadang-kadang, halaman dan jilid buku hadits yang ditunjuk oleh indeks tidak lagi persis. Selain itu akhir-akhir ini telah terbit kitab-kitab yang menyaring kembali hadits-hadits menurut shahih dan dha’ifnya, seperti beberapa jilid tebal oleh Nashiruddin Al-Albani.
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, bahwa di dunia Islam pemaknaan orientalis mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalis dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat. Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam.
Goldziher dan Schacht sebagai orientalis yang terkemuka dan berpengaruh memiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw. menurut mereka hadits adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher menawarkan metodenya dengan menggunakan kritik matan. Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW menurut otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back.
Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan bahwa adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya sebagai orientalis yang setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri untuk menyudutkan Islam dibalik kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami hadits dengan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Tajul, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech), 2009
Ash Shiddieqy, M. Hasybi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra), 1999
Buchari, Mannan, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah), 2006
Darmalaksana, Wahyudin, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press), 2004
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), 2002
E. Said, Edward, Orientalisme, (Bandung: Pustaka), 2001
Hanafi, A., Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits), (Jakarta: Pustaka Al-Husna), 1981
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang),
1992
Juyhnbool, G.H.A., The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt, terj. Ilyas Hasan, (Bandung : Mizan), 1999
Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits Di Mata Orientalist (http://fai-unisma-malang.blogspot.com, 20 Oktober 2009
Maufur, Mustolah, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), 1995
Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis, (http://moenawar.multiply.com /journal/ item/5), Selasa, 20 Oktober 2009
Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits, http://www.inpasonline.com,
21 Oktober 2009
Sou’yb, Joesoef , Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang), 1995
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus), 1996
[1] M. Hasybi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999) Cet. IV) hlm. 154
[2] Ibid.
[3] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm. 28
[4] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1996), Cet. 2, hlm. 8
[5] Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits, http://www.inpasonline.com, 21 Oktober 2009
[6] Ibid
[7] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009). Hlm 11
[8] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 8
[9] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 11
[10] Ibid, hlm. ix
[11] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 8
[12] Ibid, hlm. 9
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), jil. 4, hlm. 55
[14] Mustolah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), hlm. 11
[15] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995) cet. 3 hlm 1
[16] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 7
[17] Mustolah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), hlm. 11
[18] Edward E. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. IV, hlm 2-3
[19] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995) cet. 3 hlm 2
[20] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), jil. 4, hlm. 55
[21] Joesoef Sou’yb, Op. Cit. hlm 1
[22] A. Hanafi, Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits), (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), hlm 8
[23] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 55
[24] Ibid, hlm 65
[25] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 14
[26] Ibid, hlm. 14-16
[27] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 9
[28] Ibid, hlm. 10
[29] Ibid, hlm. 81
[30] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009). hlm 11
[31] Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis, (http://moenawar.multiply.com/journal/ item/5), Selasa, 20 Oktober 2009
[32] Tajul Arifin, Op. Cit. hlm, 7
[33] G.H.A. Juyhnbool, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt,, trj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999), hlm 202
[34] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 14
[35] Wahyudin Darmalaksana, Op. Cit, hlm. 92
[36] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit. hlm. 14
[37] Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits Di Mata Orientalist (http://fai-unisma-malang. blogspot. com). tanggal 21 Oktober 2009
[38] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm. 14
[39] G.H.A. Juyhnbool, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt, trj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999), hlm 153
[40] Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits http://www.inpasonline.com/ tanggal 21 Oktober 2009
[41] Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits Di Mata Orientalist (http://fai-unisma-malang. blogspot. com. 20 Oktober 2009)
[42] Syamsuddin Arif , Op. Cit.
[43] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 97
[44] Ibid, hlm.97-98
[45] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 15
[46] Ibid
[47] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 100
[48] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm 15
[49] Ibid
[50] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 103
[51] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 19
[52] Ibid
[53] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press), hlm. 110
[54] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm. 20
[55] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2, hlm. 20
[56] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm 114
[57] Ibid
[58] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 21
[59] Wahyudin Darmalaksana, Op. Cit, hlm. 115
[60] Ali Mustafa Yaqub, Op.cit, hlm. 27
[61] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 21
[62] Ibid
[63] Ibid, hlm. 116
[64] Ibid, hlm 117
[65] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 16
[66] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009), hlm 5-6
[67] Ali Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm. 30
[68] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 16
[69] Ibid
[70] G.H.A. Juyhnbool, Kontroversi Hadits di Mesir, (Bandung : Mizan, 1999), hlm 160
[71] Mustafa Yaqub, Op. Cit, hlm 17
[72] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009), hlm 18
[73] Ibid, hlm 10
[74] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hlm. 28
[75] Ibid
[76] Ibid
[77] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 110
[78] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1, hlm. 110
[79] Ibid, hlm. 111
sumber: http://alsyihab.blogspot.co.id/2010/07/hadits-dalam-pandangan-orientalis.html
Selasa, 29 November 2016
MAKALAH: AL-JARH WA AL-TA'DIL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang.
Para periwayat hadis mulai dari generasi
sahabat nabi Saw. samapi sampai generasi Mukharrij al-hadis(periwayat sekaligus
penghimpun hadis) telah tidak dapat dijumpai secara fisik karena mereka telah
meninggal dunia. Untuk mengetahui keadaan pribadi mereka, baik itu kelebihan
maupun kekurangan mereka dibidang periwaayatan hadis, diperlukan informasi dari
berbagai kitab yang ditulis oleh ulama kritik rijal al-hadis (para periwayat
hadis).
Kritik
terhadap para periwayat hadis yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kritik
hadis itu tidak hanya bekenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tapi juga
berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal-hal yang tercela itu dikemukakan
bukan untuk menjelek-jelekkan mereka melainkan untuk dijadikan bahan
pertimbangan ladam hubungannya dengan dapat diterima atau tertolaknya riwayat
hadis yang mereka sampikan.ulama ahli kritik hadis tetap menyadari bahwa
mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan
yang lebih besar yaitu kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebagai
salah satu sumber ajaran agama islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi
periwayat hadis dalam kaitannya dengan periwayatan hadis sangat perlu
dikemukakan.
B.
Rumusan
masalah.
Dari deskripsi masalah di atas maka
pemakalah merumuskan masalah terkait dengan penelitian perawi baik dari sifat
yang terpuji maupun sifat yang tercela, atau sering di sebut ilmu jarh wa
ta’dil. Yaitu:
1.
Pengertian ilmu
al-jarh wa al-Ta’dil.
2.
Lafal-lafal
dalam al-jarh wa al-Ta’dil.
3.
Metode dalam
Jarh Wa Ta’dil
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ilmu
al-Jarh} wa al-Ta’dil.
Menurut bahasa kata al-Jarh}
merupakan masdar dari kata جرح- يجرح yang berati “melukai dan menjadikan cacat”keadaan luka dalam
hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam,
ataupun berkaitan dengan non-fisik misalnya luka hati kerena kata-kata kasar
yang dilontarkan oleh seseorang.
Menurut istilah ilmu
hadis kata al-Jarh} berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang
tidak adil, atau yang buruk dibidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan
itu mengakibatkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh
periwayat tersebut. Kata al-Tajrih} menurut istilah berarti
mengungkapkan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang
menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikan oleh periwayat
tersebut. Sebagian besar ulama menyamakan penggunaan kata al-Jarh} dan
al-Tajrih, }dan sebagian lagi membedakan penggunaan kedua kata ini, dengan
alasan bahwa kata al-Jarh} berkonotasi tidak mencari-cari kecacatan
seseorang. karena kecacatan tersebut memang telah tampak pada diri seseorang,
sedangkan kata al-Tajrih} berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan
mengungkap sifat tercela seseorang.
Adapun kata al-Ta’di>l
adalah masdar dari kata kerja عدّل- يعدّل yang
berarti “meluruskan, berbuat adil” yaitu mengemukakan sifat-sifat adil yang
dimiliki seseorang[1].
Menurut istilah ilmu
hadis kata al-Ta’di>l berarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada
pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi
periwayat dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima.
Kritik yang berisi celaan dan pujian terhdap para
periwayat hadis tersebut dikenal dalam ilmu hadis dengan istilah al-Jarh} wa
al-Ta’di>l. Jadi Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’dīl
merupakan suatu ilmu yang membahas segala hal yang berhubungan dengan para
periwayat hadis dari segi periwayat dapat diterima, atau sebaliknya ditolak
periwayatannya[2].
Ilmu ini lebih menekankan
pada pembahasan kualitas pribadi periwayat hadis, khususnya dari kekuatan
hafalannya, kejujurannya, integritas pribadinya terhadap ajaran Islam, serta
berbagai keterangan lainnya yang berhubungan dengan penelitian sanad hadis.
Ilmu ini termasuk bagian dari cabang ilmu Rija>l al-Hadi>s \
Esensi
ilmu al-jarh wa al-ta’dīl ini adalah:
(1)
Untuk mengetahui syarat-syarat periwayat yang diterima;
(2)
Untuk mengetahui bagaimana metode menetapkan keadilan dan ked}abitan
para periwayat;
(3)
Untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan pembahasan sanad[3].
B.
Ulama Kritikus Hadis
Ulama yang ahli dibidag kritik para
periwayat hadis disebut sebagai “al-jarh wa al-ta’dīl
“. Jumlah mereka relatif sedikit sebab syarat-syarat untuk menjadi dan diakui
sebagai kritikus hadis memang tidak ringan[4].
Ulama telah mengemukakan
syarat-syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jarh wa
al-ta’dīl
. penjelasan ulama itu dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Syarat-syarat yang berkenaan
dengan sikap peribadi,yakni:
a.
bersifat adil (sifat adil dalm hal ini ialah
menurut istilah ilmu hadis)
b.
Tidak bersikap
fanatik terhadap aliran atau mazhab yang dianutnya.
c.
Tidak bersikap
bermusuhan dengan priwayat yang dinilainya, termasuk terhadap periwayat yang
berbeda aliran dengannya.
2.
Syarat-syarat yang
berkenaan dengan penguasaan ppengetahuan, dalam hal ini harus memiliki
pengetahuan yang lluas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan :
a.
Ajaran Islam
b.
Bahasa Arab
c.
Hadis dan Ilmu Hadis
d.
Peribadi periwayat
yang dikeritiknya
e.
Adat-istiadat yang
berlaku
f.
Sebab-sebab yang
melatarbelakangi sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat5.
Dalam
mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik hadis ada yang ketat, ada yang
longgar dan ada yang berada antara ke dua sikap itu, yakni moderat. Ulama yang
dikenal sebagai mutasyaddid ataupun mutasyahil, ada yang berkaitan dengan sikap
dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai
kelemahan atau kepalsuan hadis. An-Nasa``i (wafat 303 H/915 M) dan Ali bin
Abdillah bin Ja’far Al-Sa’di Al-Madini, yang dikenal dengan sebutan Ibnul
Madini(wafat 234H/849M), misalnya, dikenal sebagai mutasyaddid dalam menilai
ketsiqhat-an periwayat, yang berarti juga dalam menilai kesahihan suatu hadis.
Al-Hakim Al-Naisaburi (wafat 405H/1014M) dan Jalaluddin Al-Syuyuti (wafat
911H/1505M) dikenal sebagai mutasyahid dalam menilai kesahihan suatu hadis,
sedang Ibnul Jauzi (wafat 597H/1201M)dikenal sebagai Mutasyahid dalam
menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan Al-Zahabi (wafat 748H/1348M) dikenal
sebagai mutawasit dalam menilai periwayat dan kualitas hadis6[5].
penggolongan itu, tentu bersifat umum dan tidak untuk setiap penelitian yang
mereka hasilkan.
Dengan
adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam menilai periwayat dan kualitas
hadis terseebut berarti bahwa dalam penelitian hadis yang dinilai tidak hanya
para periwayat hadis saja, tetapi para kritikusnya. Sekiranya terdapat
perbedaan dalam mengkritik, maka sikap kritikus harus menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih objektif
C.
Metode dalam Jarh
Wa Ta’dil
Kritik
terhadap para periwayat hadis yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kritik
hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga
berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal-hal yang tercela dikemukakan
bukanlah untuk menjelek-jelekkan mereka melainkan untuk dijadikan pertimbangan
dalam hubungannya dengan dapat diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis
yang mereka sampaikan. Ulama ahli kritik hadis tetap menyadari bahwa
mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan
yang lebih besar, yakni kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebagai
salah satu sumber ajaran Islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi
periwayat dalam kaitannya periwayatan hadis sangat perlu dikemukakan. Kejelekan
atau kekurangan yang dikemukakan hanyalah terbatas yang ada hubungannya dengan
kepentingan penelitian periwayatan hadis.
Metode yang dipakai ulama dalam
melakukan jarh dan ta’dil sangat beragam.
Adakalanya para ulama sependapat dalam menilai pribadi periwayat hadis tertentu
dan adakalanya berbeda pendapat. Selain itu, adakalanya seorang kritikus juga
mempunyai penilaian yang berbeda terhadap diri seseorang, misalnya pada suatu
saat dia menilai dengan ungkapan laisa bihi ba’s, tapi di
lain kesempatan dia menilai da’if terhadap periwayat yang sama. Padahal kedua
ungkapan itu memiliki pengertian dan peringkat yang berbeda. Sehingga dengan
adanya metode yang telah ditetapkan para ulama, diharapkan dapat dihasilkan
penilaian yang lebih obyektif.
Berikut ini beberapa kaidah atau
sebagai metode penyelesaian yang ditetapkan para ulama, jika terjadi perbedaan
penilaian atas diri seorang periwayat. Kaidah-kaidah ini juga perlu dijadikan
bahan oleh peneliti hadis ketika melakukan kegiatan penelitian, khususnya
berkenaan dengan penelitian para periwayat hadis:
1.
Al-Ta’dil Muqaddamun ‘ala al-Jarhi (Ta’dil
didahulukan atas jarh)
Maksudnya bila seorang periwayat
dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus
lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat baiknya. Karena sifat dasar
periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang
datang kemudian. Maka sifat yang dominan adalah sifat terpuji.
2.
Al-Jarhu Muqaddamun ‘ala al-Ta’dil
(Al-jarh didahulukan atas ta’dil)
Maksudnya bila seorang dinilai
tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka
yang didahulukan adalah sifat yang dinilai celaan. Alasannya karena kritikus
yang menyatakan celaan lebih paham pribadi periwayat yang dicelanya. Kemudian
yang menjadi dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari
pribadi kritikus hadis dan persangkaan baik itu harus dikalahkan bila ternyata
ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat bersangkutan.
Kalangan ulama hadis, ulama fiqih, dan ulama usul fiqh banyak yang menganut
teori tersebut. Dalam pada itu, banyak juga ulama kritikus hadis yang menuntut
pembuktian atau penjelasan yang menjadi latar belakang atas ketercelaan yang
dikemukakan terhadap periwayat tersebut.
3.
Iza Ta’aradha al-Jarihu wa al-Mu’addilu fa al-hukmu li al-Mu’addil illa iza
subita al-jarhu al-mufassar
Maksudnya, Apabila terjadi
pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus
dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela
disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.
Dalam hal ini apabila seorang
periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus
lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji,
kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti
ketercelaan periwayat yang bersangkutan.
Kritikus yang mampu menjelaskan
sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap
pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian
terhadap periwayat yang sama. Jumhur ulama mengatakan bahwa penjelasan
ketercelaan yang dikemukakan itu haruslah relevan dengan upaya penelitian.
Kemudian bila kritikus yang memuji telah mengetahui sebab-sebab ketercelaan
periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa sebab-sebab ketercelaan
itu memang tidak relevan ataupun tidak ada lagi, maka kritikan yang memuji
tersebut yang harus dipilih.
4.Iza
Kana al-Jarihu dha’ifan fala yuqbalu jarhuhu li al-siqqah (Apabila
kritikus yang mengungkapkan ketercelaan adalah orang-orang yang tergolong
da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak diterima).
Maksudnya apabila yang
mengkritik adalah orang yang tidak siqah, sedangkan yang
dikritik adalah orang yang siqas, maka kritikan orang yang tidak siqah
itu ditolak. alasannya orang yang bersifat siqah dikenal lebih
berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak siqah.
5.
La yuqbalu al-jarhu illa ba’da al-tasabbuti khasyah al-asybah fi al-majruhina (Al-jarh tidak diterima
kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran
terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya).
Maksudnya apabila nama periwayat
mempunyai kesamaan atau kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah satu
dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat
diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan
akibat dari kesamaan atau kemiripan dari nama tersebut.
Suatu kritikan harus jelas
sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik
haruslah jelas dan terhindar dari keraguan-keraguan atau kekacauan.
6.Al-jarhu
al-Nasyi’u ‘an ‘adawatin dunyawiyyatin la yu’taddu bihi (Al-jarh yang dikemukakan oleh
orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu
diperhatikan).
Maksudnya apabila kritikus yang
mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah
keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka
kritikan itu harus ditolak. Alasannya adalah pertentangan masalah pribadi
tentang urusan dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif.
Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik
dengan celaan dapat berlaku subyektif karena didorong oleh rasa kebencian.
Dari sejumlah teori yang
disertai dengan alasannya masing-masing itu, maka yang harus dipilih adalah
teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objective terhadap para
periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya. Dinyatakan demikian karena
tujuan penelitian yang sesungguhnya bukanlah untuk mengikuti teori tertentu,
melainkan bahwa penggunaan teori-teori itu adalah dalam upaya memperoleh hasil
penelitian yang lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran itu sendiri sulit
dihasilkan.[6]
Kritik ekstern atau penelitian sanad dalam kajian hadis Nabi saw.
merupakan kegiatan yang sangat urgen dalam rangka penentuan status kehujjahan
Hadis Nabi saw. Sanad yang secara terminologi berarti rangkaian periwayat yang
menyampaikan matan hadis[7],
dengan sendirinya menjadi objek yang signifikansinya tidak lagi
diperselisihkan. Maka tidak mengherankan jika seorang ‘Abdullah ibn
al-Muba>rak (W. 181 H/797 M) menyatakan bahwa “sanad
hadis merupakan bagian dari agama, yang sekiranya sanad
tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya.”[8]
Bahkan dalam ungkapan lain meski secara implisit Muhammad bin Sirin (W 110 H/728
M) menyatakan bahwa “sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka
perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu”.[9]
Sanad hadis sebagaimana disebutkan terdiri
dari rangkaian nama-nama periwayat yang berawal dari sahabat sampai ke mukharrij.
Rangkaian periwayat tersebutlah yang kemudian dalam proses penelitian yang
menjadi objeknya. Jika ke-s}ah}i>h-}an sebuah hadis menjadikan ke-‘adil-an
dan ke-d}abit}-an[10]
semua individu yang terangkum dalam sanad hadis tersebut sebagai standarnya[11],
maka penelitian sanad hadis berarti penelitian terhadap masing-masing periwayat
yang bersangkutan dalam hal terpenuhinya kriteria ke-‘adil-an[12]
(kualitas pribadi) ke-d}abit}-an[13]
(kapasitas intelektual) yang telah digariskan ulama, yang seringkali kedua
istilah ini dirampingkan ke dalam satu istilah yaitu s\iqah[14].
Kriteria-kriteria ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an
yang telah dijelaskan ulama, selanjutnya menjadi acuan dalam menentukan
diterimanya riwayat setiap periwayat yang terdapat dalam rangkaian sanad sebuah
hadis. Namun, kriteria-kriteria tersebut tidaklah mudah untuk.
diterapkan dalam menentukan ke-‘adil-an
dan ke-d}abit}-an seorang periwayat. Oleh karena itu, ulama hadis
mengemukakan cara penetapan ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an
periwayat, yang salah satunya adalah berdasarkan penerapan kaidah al-jarh}
wa al-ta‘di>l informasi dan kesaksian ulama kritikus dan sejarawan.
Berdasarkan
pada cara menentukan diterima atau tidaknya riwayat seorang periwayat yang
dikemukakan ulama, bahwa dibutuhkan metode yang kemudian disebut kaidah al-jarh}
wa al-ta‘di>l, setidaknya memberikan indikasi akan signifikansi kaidah
ini dalam kerangka penelitian hadis. Namun, meski signifikansi ilmu al-jarh}
wa al-ta‘di>l ini telah diakui dan dikukuhkan oleh banyak ulama[15],
namun di sisi lain ternyata ada sebagian pihak yang justru berpandangan
sebaliknya, bahwa ilmu ini tidak lebih bermanfaat daripada mudharatnya karena
merupakan bagian dari gibah yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
C.
Lafal-lafal Al-Jarh wa al-ta`dil
فلان أوثق الناس ( Fulan orang yang paling dipercaya)
فلان لا يسأل عنه ( Fulan tidak
dipertanyakan)
ثقة حافظ
( terpercaya )
Adapun cara untuk mengetahui
kecacatan perawi, antara lain :
فلان أكذب الناس ( Fulan adalah orang
yang paling pendusta )
فلان متهم بالكذب ( Fulan tertuduh dusta )
فلان لا محجة (
Fulan bukan hujjah )
Dalam
melakukan al-Jarh Wa al-Ta’di>l para ulama menempuh beberapa metode
berikut:
1.
Bersikap amanah dan menjelaskan para periwayat apa
adanya.
2.
Bersifat mendetail dalam mengkaji dan menghukumi
keberadaan periwayat.
3.
Menerapkan etika dalam melakukan penilaian negatif.
4.
Dalam men-ta’di>l dilakukan secara global
dan dalam men-tarji>h dilakukan secara terperinci.
Adapun
cara-cara mengetahui keadilan seseorang adalah keadilan seorang perawi bisa
diketahui melalui satu diantara dua hal berikut:
1.
Kepopuleran keadilannya dikalangan ahli ilmu seperti,
Malik ibn Anas, Sufya>n al-Tsauriy, Syu’bah ibn al-Hajja>j, dan
lain-lain. Sehingga tidak abash mempertanyakan mereka karena yang diketahui
berdasarkan kepopuleran semacam itu lebih tinggi dibanding yang diketahui
berdasarkan Tazkiyah(penilaian positif).
2.
Adakalanya dengan Tazkiyah, yaitu penta’dilan orang
yang telah terbukti adil terhadap orang yang belum dikenal keadilannya.
Tazkiyah sudah cukup dilakukan dengan satu orang yang berstatus adil. Karena
jumlah tidak disyaratkan dalam penerimaan khabar, sehingga tidak disyaratkan
pula dalam jarh dan ta’dil perawinya.
Dalam melakukan al-Jarh wa al-Ta’di>l, para
ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi kritikus periwayat yaitu al- Jarh
dan Mu’addi>l, kaidah-kaidah al-Jarh Wa al-Ta’di>l, redaksi
al-Jarh Wa al-Ta’di>l, dan sebagainya sebagaimana akan dijelaskan di
bab penelitian kritik hadis. Para ulama telah menuliskan kitab-kitab yang
membahas tentangmasalh ini. Diantaranya adalah kitab al-Jarh Wa
al-Ta’di>l karya Abu al-Hasan Ahmad ibn ‘Abdillah al-Ilji al-Kuf>I
yang wafat pada tahun 261 H dan masih banyak lagi kitab yang lain yang membahas
masalh ini yang tidak dapat pemakalah sebutkan satu-satu.\
Dan
riwayat-riwayat tersebut bergantung pada sejauh mana ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an
para periwayatnya.[16]
Bahkan argumen bahwa ilmu ini merupakan gi>bah dibantah dengan dalil yang
menyatakan bahwa ilmu ini tergolong gibah yang dibolehkan, misalnya dengan
hadis:
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم -
فَلَمَّا رَآهُ قَالَ « بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ ، وَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ
» . فَلَمَّا جَلَسَ تَطَلَّقَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى وَجْهِهِ
وَانْبَسَطَ إِلَيْهِ ، فَلَمَّا انْطَلَقَ الرَّجُلُ قَالَتْ لَهُ عَائِشَةُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ حِينَ رَأَيْتَ الرَّجُلَ قُلْتَ لَهُ كَذَا وَكَذَا ، ثُمَّ
تَطَلَّقْتَ فِى وَجْهِهِ وَانْبَسَطْتَ إِلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - « يَا عَائِشَةُ مَتَى عَهِدْتِنِى فَحَّاشًا ، إِنَّ شَرَّ
النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ
اتِّقَاءَ شَرِّهِ.[17]
Artinya:
Bahwa seorang laki-laki meminta izin kepada nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam, ketika beliau melihat orang tersebut, beliau bersabda: "Amat buruklah saudara Kabilah ini atau seburuk-buruk saudara Kabilah ini." Saat orang itu duduk, beliau menampakkan wajahnya yang berseri-seri, setelah orang itu keluar 'A`isyah berkata; "Wahai Rasulullah, ketika anda melihat (kedatangan) orang tersebut, anda berkata seperti ini dan ini, namun setelah itu wajah anda nampak berseri-seri, Maka Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai 'A`isyah, kapankah kamu melihatku mengatakan perkataan keji? Sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut akan kekejiannya."
Hadis
ini menunjukkan bahwa Nabi saw. menghadapi orang tersebut dengan raut wajah
mencela, dengan alasan syar‘i>, baginda Rasul seakan memberi
peringatan akan kejelekan moral orang tersebut untuk dihindari mendengar
riwayatnya. Inilah yang dikehendaki dari ungkapan :
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ
مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ
Riwayat
ini juga diperkuat oleh riwayat lain, yaitu:
عن فاطمة بنت
قيس أن أبا عمرو بن حفص طلقها البتة ....... فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم أما أبو فَلاَ
يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ
انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ.[18]
Artinya:
Dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga......... lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid."
Dalam
hadis ini, terlihat bahwa Rasulullah menceritakan kekurangan dan kelebihan dari
dua sahabat yang berbeda. Rasulullah menyampaikan kepada Fa>t}imah binti
Qais tentang kekurangan Mu‘a>wiyah dan sebaliknya menyampaikan kelebihan
Usa>mah, dan menyarankan Fa>t}imah menikah dengan Usa>mah. Hal ini
dilakukan Nabi dengan alasan syar‘i> yang menginginkan Fa>t}imah
menikah dengan orang yang tepat dan bukan sama sekali bermaksud untuk mencela
sahabat dan memuja yang lain tanpa alasan yang diperkenankan.
Dengan
dmikian hal-hal yang tercela dikemukakan bukanlah untuk menjelek-jelekkan
mereka melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat
diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis yang mereka sampaikan. Ulama
ahli kritik hadis tetap menyadari bahwa mengemukakan kejelekan seseorang
dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, yakni
kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebagai salah satu sumber ajaran
Islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat dalam kaitannya
periwayatan hadis sangat perlu dikemukakan. Kejelekan atau kekurangan yang
dikemukakan hanyalah terbatas yang ada hubungannya dengan kepentingan
penelitian periwayatan hadis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Setelah pemakalah
membahas beberapa masalah tentang ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l , pemakalah
berkesimpulan bahwa:
1.
Ilmu al-Jarh}
wa al-Ta’di>l adalah suatu ilmu yang membahas segala hal
yang berhubungan dengan para periwayat hadis dari segi dapat diterima, atau
sebaliknya ditolak periwayatannya.
2.
Lafal-lafal Al-Jarh wa al-ta`dil
a)
فلان أوثق الناس ( Fulan orang yang paling dipercaya)
b)
فلان لا يسأل عنه ( Fulan tidak
dipertanyakan)
c)
ثقة حافظ ( terpercaya )
Adapun
cara untuk mengetahui kecacatan perawi, antara lain :
a) فلان أكذب الناس (
Fulan adalah orang yang paling pendusta )
b) فلان متهم بالكذب (
Fulan tertuduh dusta )
c) فلان لا محجة ( Fulan bukan hujjah )
3. Metode Al-Jarh wa al-ta`dil
a)
Al-jarhu
al-Nasyi’u ‘an ‘adawatin dunyawiyyatin la yu’taddu bihi
b)
La yuqbalu al-jarhu illa ba’da al-tasabbuti
khasyah al-asybah fi al-majruhina
c)
Iza
Kana al-Jarihu dha’ifan fala yuqbalu jarhuhu li al-siqqah
d)
Iza Ta’aradha al-Jarihu wa al-Mu’addilu fa al-hukmu li al-Mu’addil illa iza
subita al-jarhu al-mufassar
e) Al-Jarhu Muqaddamun ‘ala al-Ta’dil
(Al-jarh didahulukan atas ta’dil)
f) Al-Ta’dil Muqaddamun ‘ala al-Jarhi (Ta’dil
didahulukan atas jarh)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru dalam Memahami
Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Jakarta:
Renaisan, 2005.
Dimyati, Ayat. Pengantar Studi Sanad Hadis. Bandung:
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati. 1997.
Hasyim, Ahmad ‘Umar. Qawa>‘id Us}u>l
al-H{adi>s\ .Beirut: Da>r al-Fikr. (t.th).
Ibn al-S{ala>h}, ‘Ulu>m al-H{adi>s\. al-Madi>nah
al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah. 1972.
ibn Asy‘as\, Abu> Da>wud Sulaima>n. Sunan Abi> Da>wud
wa Ma‘a>lim al-Sunan (Beirut: Da>r Ibn H{azm,
1997.
Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad
Hadis. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang. 1988.
_______,
Metodologi Penelitian hadis nabi. Jakarta: Bulan bintang. 1992.
Itr, Nu>r al-Di>n. al-Madkhal ila> ‘Ulu>m al-H{adi>s\. al-Madi>nah
al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah. 1972.
Sulaiman, Nur. Antologi Ilmu
Hadis. Jakarta: Persada Prees. 2008.
al-Suyu>t}i>, Tadri>b
al-Ra>wi> fi> Syarh Taqri>b al-Nawawi>. Beirut:
Da>r Ihya>’ al-Sunnah al-Nabawiyyah. 1975.
Abdurrahman, M. Metode Kritik Hadis : Rosda,
Bandung. 2011.
[3] Ayat Dimyati, Pengantar Studi Sanad Hadis (Bandung: Fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati, 1997), h. 25.
4lihat Al-Asqalani, Nuzhatun Nazar Syarh Nukbah
Al-Fikr, hh.67
6 Al-Zahabi,Zikr Man Yu’tamad Qauluhu fi Al-jarh wa Al-ta’dil
(kairo:Al-Matbu’ah Al-Islamiyah, h. 159:
7 Sesungguhnya telah banyak teori atau solusi yang ditawarkan ulama untuk
menyelesaikan pertentangan atau perbedaan pendapat antara satu ulama dengan
ulama lainnya dalam hal penilaian atas diri seorang periwayat. Keenam teori yang dikutip di atas adalah merupakan teori yang banyak
dikemukakan dalam beberapa kitab-kitab ulum al-hadis.
Misalnya, al-Suyuti, dalam Tadrib al-Rawi,juz I. hlm. 305-314. Ibnu Salah, hlm.
99. Asqalani, dalam Nuzhatun Nazar, hlm. 69. Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadis, (Beirut:
dar al-Qur’an al-Karim, 1979), hlm. 142-147
[8] Abu> Da>wud
Sulaima>n ibn Asy‘as\, Sunan Abi> Da>wud wa Ma‘a>lim al-Sunan (Beirut:
Da>r Ibn H{azm, 1997), Juz. V, h. 234.
[10] Standar kes}ah}i>h}an
hadis dalam kesepakatan jumhur yaitu: 1) sanad bersambung; 2) periwayat yang ‘a>dil;
3) periwayat yang d}a>bit}; 4) terhindar dari sya>z\;
dan 5) terhindar dari ‘illat. Lihat: Ibn al-S{ala>h}, ‘Ulu>m
al-H{adi>s\ (al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah,
1972), h. 10.; Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawa>‘id Us}u>l al-H{adi>s\ (Beirut:
Da>r al-Fikr, [t.th], h. 39.
[11] Di samping standar kes}ah}i>h}an
matan, yang juga dijabarkan dari 5
kriteria kes}ah}i>h}an yang dijelaskan sebelumnya.
[12] Setidaknya ada 15 kriteria ‘a>dil
yang diajukan oleh ulama, yaitu: 1)beragama Islam; 2) ba>ligh; 3)
berakal; 4) taqwa; 5) memelihara muru>’ah; 6) teguh dalam agama; 7) tidak
berbuat dosa besar; 8) menjauhi dosa kecil; 9) tidak berbuat bid’ah; 10) tidak
berbuat maksiat; 11) tidak berbuat fasik; 12) menjauhi hal-hal mubah yang
merusak muru’ah; 13) baik akhlaknya; 14) dapat dipercaya beritanya; dan 15)
biasanya benar. Kriteria tersebut dirampingkan menjadi 4, yaitu: 1) beragama
Islam; 2) mukallaf; 3) melaksanakan ketentuan agama; 4) memelihara muru’ah.
Lihat: Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1988), h. 113-118 dan 134.
[13] Kriteria d}a>bit} adalah:
a) periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang diterimanya, b) periwayat
memahami dengan baik riwayat yang diterimanya, dan c) periwayat itu mampu
menyampaikan riwayat yang telah diterimanya kapan saja dikehendaki. Lihat: Ibid.,
h. 120.
[14] Sejumlah kitab menjelaskan
secara tegas bahwa siqah merupakan gabungan dari sifat ‘a>dil dan d}a>bit}.
Lihat: al-Suyu>t}i>, Tadri>b
al-Ra>wi> fi> Syarh Taqri>b al-Nawawi> (Beirut:
Da>r Ihya>’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1975), juz I, hlm. 63.
[15] Salah satu indikator
utamanya—selain ungkapan para ulama dalam berbagai kesempatan—adalah bertebarannya
karya-karya ulama, khususnya terkait rija>l al-h}adi>s\ yang
memuat biografi para periwayat hadis, dari kalangan sahabat sampai ke kalangan
mukharrij, serta informasi-informasi terkait kehidupan pribadi mereka, kualitas
hafalan, kapasitas keilmuan, dan sebagainya.
[16] ‘Abd al-‘Azi>z ibn
Muh}ammad ibn Ibra>hi>m al-‘Abd al-Lat}i>f, D{awa>bit} al-Jarh}
wa al-Ta‘di>l (Madinah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyah, 1412H.), h.
16-17.
[17] Al-Ima>m
al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1987),
Juz. V, h. 2244.
Langganan:
Komentar (Atom)