PENGERTIAN DAN SYARAT RAWI
1.
Pengertian Rawi
Rawi
berasal dari kata ,روي يروي ريا فهو راو merupakan isim fa’il yang berarti “ memindahkan atau meriwayatkan ‘’.[1]
Sedangkan
menurut istilah, rawi ialah “ orang yang menyampaikan atau menuliskan
dalam suatu kitab apa yang pernah di dengar atau di terimanya dari seseorang (
gurunya ).[2]
Dalam
buku Ulumul Hadis karya Dr Nuruddin yang dimaksud dengan rawi adalah:
الراوى من تلقى الحد يث واداه بصيغة من
صيغ الاداء
.
Rawi
adalah orang yang menerima hadi>s dan menyampaikannya dengan salah satu
bahasa penyampaiannya.[3]
2.
Syarat
periwayat
“jumhur
imam hadi>s dan fikih sepakat bahwa syarat bagi orang yang dapat dipakai
hujah riwayatnya hendaknya adil dan dhabit hadi>s yang di riwayatkanya.
Adapun syarat periwayat menurut jumhur imam hadi>s dan fikih ialah:
a.
Muslim
b.
Baligh
c.
Berakal sehat
d.
Tidak fasik
e.
Tidak terdapat
tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah)
f. Mampu
menyampaikan hadis yang telah di hafalnya.
g.
Sekiranya dia
memiliki catatan hadi>s, maka catatan itu dapat di percaya.
h.
Mengetahui
dengan baik apa yang merusak maksud hadi>s yang diriwayatkanya secara makna.[4]
Jika di
perhatikan, Dari Semua sifat diatas berpangkal pada dua hal, yaitu keadilan
dan ke-dhabith-an. Berikut ini penjelasan dari kedua hal tersebut.
1). Keadilan ( al- ‘Adalah )
“Adalah”
merupakan suatu watak dan sifat yang sangat kuat yang mampu mengarahkan
orangnya kepada perbuatan takwa, menjauhi perbuatan mungkar dan segala sesuatu
yang akan merusak harga dirinya.
Menurut
Ali bin Muhammad al- jarjani ‘adalah ialah seorang rawi harus baligh,
muslim, berakal, selamat dari sebab- sebab kefasikan dan yang merusak muru>ah.[5]
Adapun
faktor- faktor “Adalah” ialah sebagai berikut:
a).
Beragama Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah:
مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء[6]
“Dari
saksi- saksi yang engkau ridhai”.
Sementara
orang yang tidak beragama Islam pasti tidak mendapatkan keridhaan seperti itu.
b). Balig.
Hal ini karna merupakan suatu paradigma akan kesanggupan memikul tanggung jawab
mengemban kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang di larang.
c)
Berakal sehat.
Sifat ini harus di miliki oleh seorang periwayat agar dapat berlaku jujur dan
berbicara tepat.
d)
Takwa. Yaitu
menjauhi dosa-dosa besar dan tidak membiasakan perbuatan-perbuatan dosa kecil.
Dalil
di syaratkanya takwa adalah firman Allah Swt, Qs. Al-Hujurat : 6.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Hai
orang-orang yang beriman , jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah dengan teliti”
e)
Berprilaku yang
sejalan dengan muru’ah ( harga diri yang
agamais) serta meninggalkan hal-hal yang mungkin merusaknya, yakni meninggalkan
sesuatu yang bisa menjatuhkan harga diri manusia menurut tradisi masyarakat yang
benar seperti mencaci maki atau menghina seseorang.
2.
Kuat Hafalan
(dha>bith)
Dhabit
ialah seorang rawi yang kuat hafalan dan tidak pelupa.[7] Dhabit-nya seorang rawi
terbagi atas dua macam, yaitu: dha>bit shadr, yakni meriwayatkan hadi>s
melalui apa yang dihafalnya, dan dha>bit kitab, yaitu meriwayatkan hadi>s
melalui kitabnya.[8]
Maksudnya,
para perawi itu memiliki daya ingat hafalan yang kuat dan sempurna. Daya ingat
dan hafalan yang kuat ini sangat di perlukan, mengingat tidak seluruh hadi>s
tercatat pada masa awal perkembangan islam. Atau jika tercatat, catatan
tulisanya harus selalu benar, tidak terjadi kesalahan.[9]
Yang di
maksud dengan dha>bith oleh muhaddis\in
adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan apabila hadi>s
yang di riwayatkan berdasarkan hafalanya, benar tulisanya apabila hadi>s
yang di riwayatkanya berdasarkan tulisan, sementara apabila ia meriwayatkan
hadi>s secara makna maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk
di gunakan.
Para
ulama mengklasifikasikan para rawi dari segi banyak dan sedikitnya hadi>s
yang mereka riwayatkan dan peran mereka dalam bidang imu hadi>s menjadi
beberapa tingkat dan setiap tingkat diberi julukan secara khusus, yaitu sebagai
berikut;
a.
Al-Musnid
Al-Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadis
beserta sanadnya baik ia mengetahui
kandungan hadi>s yang diriwayatkannya atau sekedar meriwayatkan.
b.
Al-Muhaddis\
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sayyidi al-Nas
,al-Muhaddis\ adalah orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap hadi>s
baik dari segi Riwayah maupun Dirayah, hafal identitas dan karakteristik para
Rawi, mengetahui keadaan mayoritas Rawi zamannya beserta hadi>s-hadi>s
yang mereka riwayatkan.
c.
Al-Hafiz}
Gelar ini lebih tinggi daripada gelar al-Muhaddis\.
Para Ulama menjelaskan bahwa al-Hafiz} adalah gelar orang yang sangat luas
pengetahuannya tentang hadi>s dan ilmu-ilmunya sehingga hadi>s yang
diketahuinya lebih banyak daripada yang tidak diketahui.
A.
ADAB MUHADDIS|
Adab
yang dimaksud di sini adalah adab yang di butuhkan oleh setiap orang yang akan
memimpin suatu majelis ilmu atau mengajar. Para muhaddis\in menganggap penting
adab ini, hususnya bagi orang yang akan mengajarkan hadi>s rasulullah Saw.
Tata cara adab tersebut dapat di ringkas sebagai berikut.
1.
Ikhlas dan niat
benar
Membersihkan hati dari cinta dunia seperti halnya
cinta kepemimpinan atau ke mashuran.[10] Ikhlas adalah ruh dan
inti setiap amal para Nabi diutus dan di perintahkan untuk mendakwahkanya,
sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Bayyinah : 5
وَمَا أُمِرُواالالِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
“Dan
mereka tidak di perintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agama dengan lurus.”
Orang
yang alim tentang hadi>s semestinya menjadi orang yang paling jauh dari
sifat riya’ dan cinta dunia.
2.
Hendaklah menghiasi
diri dengan kemulian ahlak.[11]
Ilmu- ilmu syari’at adalah ilmu- ilmu mulia yang
selaras dengan ahlak mulia dan perangai yang baik. Ilmu- ilmu tersebut menuntut
pencarinya agar memiliki sifat istiqamah dan prilaku yang baik. Akan tetapi,
ilmu hadi>s adalah ilmu yang paling berhak untuk menuntut semua itu.
Sepatutnya, seorang muhaddis melebihi orang lain dalam hal ini sebagaimana yang
di lakukan oleh ulama’ hadi>s terdahulu, agar ia pantas menyandang
penisbatan itu. Seorang penyair berkata :
“ ahli
hadis adalah keluarga Nabi. Meskipun fisik mereka tidak bersama dengan beliau,
tetapi jiwa mereka bersama beliau “
3.
Menghormati
orang yang lebih utama darinya (guru).[12]
Hal ini merupakan bagian dari kesempurnaan ahlak
para ulama. Mereka menghindari untuk tidak mendahului orang-orang yang lebih
banyak memiliki keutamaan daripada mereka, baik karena usianya yang lebih tua
maupun ilmunya yang lebih tinggi.
Seperti halnya ketika Ibrahim al- Nakha’i dan al-
sya’bi berkumpul, maka Ibrahim tidak mau berbicara sepatah katapun . demikian
pula hendaknya apabila seorang alim di tanya tentang sesuatu dan pada saat yang
sama ia mengetahui ada orang alim lain yang lebih tua dan lebih utama untuk
menjawabnya, maka ia hendaknya menunjukkan yang bersangkutan untuk bertanya
kepada ulama lain tersebut.
4.
Mendatangi
majelis pengkajian hadi>s dan menghormati hadi>s.[13]
Hadis adalah ucapan Rasulullah Saw. Oleh karena
itu, hendaknya dalam hati seorang muhaddis\ tertanam rasa hormat kepadanya.
Bentuknya, antara lain mendatangi majelis pengkajian hadis dengan penuh
kesiagaan, termasuk yang berkenaan dengan pakaian dan kebersihan. Seorang muhaddis\
juga perlu memperhatikan gaya ungkap pembicaraanya karena hal ini di pandang
sangat penting. Di samping itu, ia dan pengajar pada umumnya harus menela’ah
beberapa karya ilmiah yang lain, dan mempersiapkan setiap metode pengajaran
untuk menyampaikan setiap materi secara sistematis, bahkan Seorang muhaddis\ harus menggunakan sarana dan
metode yang mempermudah pemahaman dan memberikan kesan yang dalam, sebagaimana
metode yang di tempuh Nabi Saw, dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat.
5.
Berhenti atau
diam jika takut salah
Hal ini merupakan suatu nilai yang jarang sekali
kita jumpai. Norma seperti ini menunjukkan betapa tertatanya berbagai persoalan
di bawah naungan islam Sebab para ulama lebih dahulu menetapkan suatu norma,
Mengingat begitu besar anugrah Allah bagi para muhaddis\in,
berupa usia yang panjang, maka masa pensiun bagi mereka di tetapkan pada usia
80 tahun, karena pada umumnya orang yang telah mencapai usia ini tidak normal fisik
dan daya ingatnya serta pola pikirnya berubah, maka hendaknya seorang muhaddis\
menghentikan kegiatany. Misalnya bilamana khawatir terjatuh kedalam kesalahan
meskipun ia belum mencapai usia tersebut.[14]
6.
Hendaklah
menyibukkan diri untuk mentakhrij dan mengarang atau menulis.
Bagi orang yang memiliki keahlian menulis karya
ilmiah, telah terbuka baginyasegala pintu ilmu. Medan segala ilmu terhampar
luas di depan matanya tanpa ia duga dulu sebelumnya, mengingat bahwa setiap
kurun waktu menuntut pembaruan metode, tema, dan pola pikir sejalan dengan
perkembangan pemikiran, etika, dan ilmu manusia.[15] Bagi orang yang telah
melangkah dalam bidang penulisan, hendaknya ia memberikan sesuatu yang baru,
baik dengan mengemukakan ide yang baru berdasarnya ijtihadnya , dengan
memecahkan masalah dan menjelaskan kesulitanya. Di samping itu, para penulis
hendaknya tidak menulis sesuatu yang kurang ia kuasai dengan baik, meskipun
belum ada yang menulisnya.
7.
Memelihara
kecakapan mengajarkan hadi>s
Arti menjaga kecakapan di sini adalah bahwa seorang
muhaddis} semestinya tidak mau menghadiri suatu majelis untuk mengajarkan hadi>s
kecuali apabila ia benar-benar siap untuk itu.
Ciri-ciri kecakapan terebut adalah seperti yang di
jelaskan oleh Ibnu al-Shalah: “ apabila hadis yang ia kuasai itu di butuhkan,
maka ia dengan senang dan siap untuk meriwayatkanya dan menyebarkanya, pada
usia berapapun.”
Sedangkan
menurut Imam al-Gahazali dalam bukunya al-Adab Piddin bahwa adab-adab muhaddis
adalah pertama jujur, menghindari dosa, mengeluarkan hadi>s yang masyhur,
meriwayatkan dari orang-orang yang jujur dan meninggalkan kemungkaran- kemungkaran.[16]
B.
ADAB BELAJAR
HADIS
Yang di
maksud dalam bab ini sebenarnya tidak
berbeda dengan adab belajar hadi>s pada umumnya, yakni tata cara yang harus
di tempuh untuk mendapatkan ilmu yang di maksudkan. Hanya saja para muhaddis\in
secara khusus membahas adab belajar hadi>s mengingat begitu pentingnya
kedudukan hadi>s.
Adapun
adab belajar hadis yaitu:
1.
Ikhlas, niat
karna Allah Swt
Keihlasan adalah sifat utama yang harus dimiliki
oleh pelajar hadi>s. Oleh karna itu, ia harus menempatkan seluruh usahanya
dalam belajar hadi>s itu semata- mata untuk mendapatkan ridha Allah Swt, dan
pahala yang besar dari-Nya.[17] Sebagaimana hadis
rasulullah Saw:
عنْ أَبِيَ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk Allah, namun ia tidak menuntutnya kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat ia tidak akan mendapatkan bau surga”.[18]
2. Mengambil manfaatan dari hadis tersebut .[19] Misalnya dengan cara menulis, atau meriwayatkanya.
3. Belajar atau mengambil hadis dari orang yang siqah serta mengamalkan apa yang dia dengarkan dari hadi>s-hadi>s ibadah, adab dan fadilah-fadilah.[20] Para pencari hadis mesti meningkatkan kesungguhan dan ketekunannya dalam mempelajari hadi>s dari orang-orang yang masyhur ilmu, agama dan wara’nya. Al-Qur’an mengumpamakan orang yang tidak mengamalkan ilmunya dengan perumpamaan yang paling jelek. Selain itu, ia juga menjadi contoh (ibarat) yang abadi di dalam al- Qur’an. Qs Al-jumu’ah : 5
ã@sVtB tûïÏ%©!$# (#qè=ÏdJãm sp1uöqG9$# §NèO öNs9 $ydqè=ÏJøts È@sVyJx. Í$yJÅsø9$# ã@ÏJøts #I$xÿór& 4 }§ø©Î/ ã@sWtB ÏQöqs)ø9$# tûïÏ%©!$# (#qç/¤x. ÏM»t$t«Î/ «!$# 4 ª!$#ur w Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏHÍ>»©à9$#
ÇÎÈ
“Perumpamaan orang-orang yang dipukulkan kepadanya
Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti seekor keledai yang
membawa kita-kitab tebal.
4. Menghiasi diri dengan akhlak mulia.
5. Menghormati dan memuliakan gurunya. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " [21]«لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
Para pencari harus menghormati guru-guru dan setiap orang yang menjadi sumber hadi>s mereka. Hal ini harus mereka lakukan demi mengagungkan hadi>s dan ilmu. Selain itu, mereka harus menjaga nama baik para guru, baik ketika mereka ada maupun ketika tidak ada, dan jangan sekali-kali ia mencari-cari kesalahan mereka. Semua ini hendaknya dilakukan demi Allah. Jangan pula mereka terhalang oleh rasa malu atau kesombongan sehingga tidak mau mencari ilmu dan bertanya. Mujahid r.a berkata:"Orang yang pemalu dan orang yang sombong tidak dapat mempelajari ilmu.” Sehingga mereka tidak dapat mencari ilmu yang berada ditangan orang yang lebih rendah daripadanya.
6. Memberikan ilmu yang di kuasainya kepada sesama rekan pencari hadi>s.[22]
Tindakan ini merupakan faedah pertama mencari hadis
dan ilmu. Barang siapa menyembunyikan suatu ilmu yang dikuasainya dan tidak mau
mengerjakannya kepada teman-temannya dengan tujuan agar ia tidak ada duanya
dalam bidang ilmu yang bersangkutan, maka sikapnya menunjukkan bahwa ia tidak
dapat memenfaatkan ilmunya itu. Demikan disebutkan oleh para ulama. Malik r.a
berkata, “ Salah satu berkah hadis adalah apabila ahli hadis saling mengajarkan
hadis kepada sebagian yang lain.”
7. Memakai
metodologi yang berlaku dalam pencarian hadis
Suatu hal yang paling penting untuk di perhatikan
oleh pencari hadis adalah bilamana ia menemukan hadis yang tidak ia ketahui,
maka ia harus mencari, meneliti, dan mengkajinya.
DAFTAR PUSTAKA
‘Ali> bin
Abu> Bakr Abu> al-H}asan. Mujma’ al-Zawa>id wa Manba’
al-Fawa>id, juz 1. Qa>hirah:
Maktabah al-Qudsi>, 1414 H
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulu>mul
Hadis. Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
Abdurrahman
M. dan Sumarna Elan. Metode Kritik Hadis. Cet.1; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011.
Al-‘Ira>qi
Zainuddin Abdurrahim bin Husain >, Al-takyi>d wa al-I<d}oh
Beirut : Da>r al-Kutubi al- Alamiyah,1420
Al-Bughda>di>,
Abu> Bakr Ahmad bin Ali. Al-
Ja>mi’ Li> Akhla>q al- Ra>wi> Wa A<da>b al- Sa>mi’.
Riyad : Maktabah al- Ma’arif, t.th.
Departemen
Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahanya Jakarta: CV Darus Sunnah
Dimaskhi>,
Al- Hafi>z Ibnu Katsi>r al- Baitsul al- Hatsisu. Sya>rh Ikhtishoril
ulu>m al- Hadi>s Da>r al- Kitab Alami>ah, t.th.
Ghalf, S>yaikh. Kitab Shorof . Bonde: Sholih, 2005.
Ha>syim,
Ah}ma>d ‘Umar. Maba>h}is\ fi> al-H}adi>s\ al-Syari>f .
Cet. 2; Mesir: Maktabah al-Syaru>k al-Dawliyah, 1431 H.
Ismail
M. Syuhudi, Ilmu Hadis . Cet.10; Bandung: Angkasa, 1994.
Jarjani,
Ali> bin Muhammad al-Zain. Al- Di>ba>j al- Muz\ahhab fi> Mustalah
Al- Hadis. Mesir: Matba>’ah
Mustafa al- Ba>bi> al- Hali> wa Auladi>h, 1350 H.
Al-Kha>tib
Muhammad ‘Ajja>j. Usu>l Al- Hadis. Da>r al-Fikr, 1409.
Al-Khat}i>b
Muh}ammad ‘Ajja>j, Us}u>l al-H}adi>s\ ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}ah Beirut:
Da>r al-Fikr, t. th.
Khon, Abdul Majid. Ulu>mul Hadis . Cet.2;
Jakarta: Amzah, 2013.
Al-Nawa>wi,
Abu> Zakariya> Muh}yiddi>n. Al- Taqri>b wa al-Taysi>r li>
Ma’rifah Sunan al- Basyi>r al- Nazi>r fi> Us}u>l al-
Hadi>s. Beirut: Da>r al- Kutub al-‘Arabi>, 1405 H.
Al-Qazu>ni,
Ibnu Ma>jah Abu> Abdullah Muh}ammad bin Ya>zi>d. Sunan
Ibn Ma>jah, juz 1, Da>r
Ih}ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.
Al-Qo>simi,
Muhammad Jama>l al- Di>n. Qawa>’id al- Tahdi>s. Da>r
Ihya>’al- Kutub al- ‘Arabiyah, 1380 H.
Al-Shalih,
S{abih. ‘Ulu>m al-Hadis} wa musthalaha, Beirut: Da>r al’’ilm, 1384
Al-Suyu>t}i
Jala>luddi>n Abdurrahma>n. Tadri>b al- Rawi> fi> Syarh
Taqri>b al- Nawa>wi> Beirut : Da>r al- Fikr, 1427 H
Syakir,
Ahmad Muhammad, Al- Ba’i>s Al- H{as\i>s\ Beirut: Da>r Al-Kutub
al-‘Alamiyah, t.th.
Tohan, Muhammad. Mus{t}alah} al-H}}adi>s.
Da>r al-Fikr, 2000.
[1]S>yaikh Ghalf,
Kitab Shorof (Bonde-Sholih, 2005), h.15.
[2]M. Syuhudi Ismail,
Ilmu Hadis (Cet.10; Bandung: Angkasa, 1994), h. 17.
[3]Nuruddin ‘Itr, ‘Ulu>mul
Hadis (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 66.
[5]Ali> bin Muhammad al-
Zain Jarjani>, Al- Di>ba>j al- Muz\ahhab fi> Mustalah Al- Hadis(Mesir:
Matba’ah Mustafa Al- Ba>bi> Al- Hali> Wa Auladi>h, 1350 H), h. 49.
[6]Departemen Agama RI, Al-
Qur’an Dan Terjemahanya (Jakarta: CV Darus Sunnah ), h. 49.
[7]Ali> bin Muhammad al-
Zain Jarjani>, op, cit., h. 49.
[8]M. Abdurrahman dan Elan
Sumarna, Metode Kritik Hadis (Cet.1; Bandung: Remaja Rosdakarya,2011),
h. 49.
[9]Abdul Majid Khon, Ulu>mul
Hadis (Cet.2; Jakarta: Amzah, 2013), h. 170.
[10]Muhammad Tohan, Mus{t}alah}
al-H}}adi>s (Da>r al-Fikr, 2000), h. 176.
[11]Abu> Bakr Ahmad bin ‘Ali al-
Bughda>di>, Al- Ja>mi’ Li> Akhla>q al- Ra>wi> Wa
A<da>b al- Sa>mi’ (Riyad : Maktabah al- Ma’arif, t.th), h.
92.
[12]Zainuddin Abdurrahim bin Husain
Al- ‘Ira>qi>, Al-takyi>d wa al-I<d}oh (Beirut : Da>r
al-Kutubi al- Alamiyah,1420), h. 190.
[13]Muhammad ajja>j al-
kha>tib, Usu>l Al- Hadis (Da>r al-Fikr, 1409), h. 440.
[14]Jala>luddi>n
Abdurrahma>n al- Suyu>t}i>, Tadri>b al- Rawi> fi> Syarh
Taqri>b al- Nawa>wi> (Beirut : Da>r al- Fikr, 1427 H), h. 568.
[15]Abu> Zakariya>
Muh}yiddi>n al- Nawa>wi>, Al- Taqri>b Wa al-Taysi>r li>
Ma’rifah Sunan al- Basyi>r al- Nazi>r fi> Usu>l al-
Hadi>s (Beirut : Da>r al- Kutub al-‘Arabi>, 1405 H), h. 82.
[16]Muhammad Jama>l al- Di>n
al- Qo>simi>, Qawa>’id al- Tahdis (Da>r Ihya>’al- Kutubi
al- ‘Arabiyah,1380), h. 233.
[17]Ahmad Muhammad Syakir, Al-
Ba’i>s Al- H{as\i>s\ (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Alamiyah), h. 152.
[18]Muh}ammad ‘Ajja>j
al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>s\ ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}ah (Beirut:
Da>r al-Fikr, t. th), h. 441.
[19]Ah}ma>d ‘Umar Ha>syim, Maba>h}is\
fi> al-H}adi>s\ al-Syari>f (Cet. 2; Mesir: Maktabah al-Syaru>k
al-Dawliyah, 1431 H), h. 31. Lihat juga Dr. S{abih al-Shalih, ‘Ulu>m
al-Hadis} wa musthalaha, (Beirut: Da>r al’’ilm, 1384), h. 53.
[20]Ibnu Ma>jah Abu> Abdullah Muh}ammad bin Ya>zid
al-Qazu>ni>, Sunan Ibn Ma>jah, juz 1 (Da>r Ih}ya>
al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), h. 92.
[21] Abu> al-H}asan ‘Ali> bin
Abu> Bakr, Mujma’ al-Zawa>id wa Manba’ al-Fawa>id , juz
1(Qa>hirah: Maktabah al-Qudsi>, 1414 H), h. 127.
[22]Al- Hafi>z
Ibnu Katsi>r Dimaskhi>, Al- Baitsul Al- Hatsisu Sya>rh Ikhtishoril
ulu>m al- Hadi>s (Darul kitab Alami>ah, t.th), h. 33.