Sabtu, 23 Januari 2016

PENGERTIAN HADIS DAN SUNNAH

Tidak ada komentar:
BABI
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Al-Qur’an dan sunnahmerupakan dua hal yang tidak akan terpisahkan dari agama Islam,karena keduanya adalah pedoman dan petunjuk bagi orang yang beragama Islam. Hal ini dibuktikan dengan firman Allah swt.bahwa:
ãöky­tb$ŸÒtBuüÏ%©!$#tAÌRé&ÏmŠÏùãb#uäöà)ø9$#WèdĨ$¨Y=Ïj9;M»oYÉit/urz`ÏiB3yßgø9$#Èb$s%öàÿø9$#ur4`yJsùyÍky­ãNä3YÏBtök¤9$#çmôJÝÁuŠù=sù(`tBurtb$Ÿ2$³ÒƒÍsD÷rr&4n?tã9xÿy×o£Ïèsùô`ÏiBBQ$­ƒr&tyzé&3߃̍リ!$#ãNà6Î/tó¡ãŠø9$#Ÿwur߃̍ãƒãNà6Î/uŽô£ãèø9$#(#qè=ÏJò6çGÏ9urno£Ïèø9$#(#rçŽÉi9x6çGÏ9ur©!$#4n?tã$tBöNä31yydöNà6¯=yès9uršcrãä3ô±n@ÇÊÑÎÈ
Terjemahnya:
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimudan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. al-Baqarah:185).[1]
            Dalam surah yang lain, al-Nisa ayat 59,Allah swt. berfirman  bahwa:
$pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqß§9$#Í<'ré&ur͐öDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêôãt»uZs?Îû&äóÓx«çnrŠãsùn<Î)«!$#ÉAqß§9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#ur̍ÅzFy$#4y7Ï9ºsŒ×Žöyzß`|¡ômr&ur¸xƒÍrù's?ÇÎÒÈ
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
            Hal ini juga sesuai dengansabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Malik bin Anas dalam kitab al-Muwat}t}a’bahwa:
وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ[2]
Artinya:                                                                                   
Dan menceritakan kepada saya dari Malik sesungguhnya ia telah menyampaikan bahwa Rasulullah saw. bersabdaSaya tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akantersesat selamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya,yakni al-Qur’an dan sunnahNabi-Nya. (HR. Malik)
            Sunnah merupakan subtansi dari hadis.Itulah sebabnya untuk menerapkan sunnah dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan hadis sebagai rujukan untuk menjelaskan sunnah tersebut. Dalamhal ini, karena setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, hanya sahabatlah yang bisa mengikuti sunnahnya sebagai orang-orang yang pernah hidup bersama beliau, sedangkan umat yang tidak pernah melihat perbuatan dan mendengar perkataan beliauakan tersesat dalam mengamalkan sunnah.
            Pentingnya hadis juga dapat kita lihat dari fungsinya terhadap al-Qur’an. Menurut Mustafa al-Siba’iy fungsi hadis atau sunnah terhadap al-Qur’an ada beberapa poin yaitu; a) memperkuat hukum yang terkandung didalam al-Qur’an baik yang global maupun yang terperinci; b) menjelaskan hukum-hukum yang terkandung didalam al-Qur’an yakni mentaqyid yang mutlak, mentafshil yang mujmal dan mentakhshish yang‘am; c) menetapkan hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an.[3] Fungsi tambahan selain ketiga diatas adalah menambah wawasan atas apayang terjadi pada masa lalu (sejarah).
            Ironisnya, pada zaman sekarang ini, yang sering disebut zaman moderen masih banyak orang yang tidak paham dengan pasti apa itu hadis,meskipun mereka menghafal dan mampu melafadzkan matan (teks) hadis tesebut, tetap saja dibutuhkan pemahaman yang lebih dari sekedar menghafal.Apalagi jika berbicara tentang yang serupa dengan hadis seperti sunnah, khabar dan atsar pemahaman mereka terhadap hal demikian sangat terbatas adanya. Bahkan yang lebih memperburuk keadaan adalah masih ada segelintir orang yang tidak mengetahui hadis dan yang serupa denganya, baik secara pengertian maupun secara tekstual. Dengan demikian, untuk mengetahui fungsi, kedudukan, kehujjahan hadis dan sebagainya akan mengalami kendala ditengah jalan, apalagi untuk membedakan sumber berita.
            Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis merasa perlu untuk menulis sebuah makalah yang membahas tentang pengertian hadis,sunnah,khabar dan atsar. Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman atas ta’ri>f (defenisi) hadis, sunnah,khabar dan atsar terhadap orang-orang yang belum paham, khususnyabagi orang-orang yang ada pada zaman sekarang ini. Pada akhirnya, diharapkan tidak akan ada lagi orang yang mengatakan la>-a’rif (saya tidak tahu) ketika ditanya tentang masalah ini.
B.    Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1.         Apakah yang dimaksud dengan hadis?
2.         Apakah yang dimaksud dengan sunnah?
3.         Apakah istilah-istilah selain sunnah yang serupa denganhadis?


BABII
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
1.  Hadis
            Adapun kata hadis adalah kata serapan dari bahasa arab yaitual-h}adi>s\yang akar katanya berasal dari حدث يحدث حدوثا وحداثة[4], sedangkan jamaknya adalah احاديث, Dari kata tersebut terlahir beberapa arti antara lain;
a.    Al-Jadi>d
            Kata al-jadi>d dalam pengertian bahasa (lughah) adalahsesuatu yang baru, lawan kata dari al-qadi>m (lama).[5]Contoh dalam suatu perkataanal-‘a>lamh}adi>s\(alam adalah baru). Didalam kitab Tanwi>r al-Qulu>b,yang dimaksud dengan baru adalah sesuatu yang memiliki permulaan, sedangkan yang dimaksud dengan qadim adalah sesuatu yang tidak punya permulaan.[6]Makanya didalam ilmu kalam kata al-qadimselalu dihubungkan kepadaa Allah sebagai sifatnya, sedangkan kata al-Jadi>d (baru) disandarkan kepada makhluk-Nya.
            Didalam hadis Nabi saw. juga mengartiakan kata hadis dengan arti baru:
من أحدث فيأمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد[7]
Artinya:
Barangsiapa yang mengadakan perkara yang baru dalam urusan kami ini apa yang bukan bagian didalamnya, maka dia ditolak. (HR. Bukhari)
b.    Al-Khabr
            Kata hadis dapat juga diartikan dengan khabar (berita). Hal ini merujuk kepada ayat-ayat yang terdapat didalam al-Qur’an diantaranya:
ößÏö@ydy79s?r&ß]ƒÏymÏpuϱ»tóø9$#ÇÊÈ
Terjemahnya:
Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?. )QS. Al-Ghasyiah:1)
((#qè?ù'uù=sù;]ƒÏpt¿2ÿ¾Ï&Î#÷WÏiBbÎ)(#qçR%x.šúüÏ%Ï»|¹ÇÌÍÈ
Terjemahnya:
Maka hendaklah mereka mendatangkanberita yang semisal al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar. (QS. al-Tur:34)
yy7¯=yèn=sùÓìÏ»t/y7|¡øÿ¯R#n?tãöNÏd̍»rO#uäbÎ)óO©9(#qãZÏB÷sãƒ#x»ygÎ/Ï]ƒÏyÛø9$#$¸ÿyr&ÇÏÈ
Terjemahnya:
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada berita ini (al-Qur’an). (QS. al-Kahfi:6)
            Juga didalam kitab Mu’jam Lughat ‘Arabdiartikan pula seperti hal demikian[8].
c.    Al-Kala>m
            Didalam al-Qur’an banyak ayat yang menggunakan kata hadis yang memiliki arti sama denganal-kala>m, antara lain, QS. al-Tur:34, QS. al-Zumar:23 dan QS. al-An’am:68.
            Adapun pengertian hadis secara terminologi, terdapat perbedaan redaksidikalangan ulama didalam mendefinisikan hadis itu sendiri, sekalipun cakupan maknanya sama. Adapun redaksi-redaksinya antara lain:
1)        Hadis adalah setiap apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat khilqiyyah atau khuluqiyyah, dan setiap apa yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’i.Defenisi ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh al-thibi.
2)        Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat khilqiyyah atau khuluqiyyah. Dan ini khusus terhadap hadis marfu’ bukan mauquf dan maqtu’.
3)        Bahwa sesungguhnya setiap apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan atau perbuatan semata.[9]Pendapat ini dihubungkan kepada pendapat Abdul Wahab Ibnu Subki.
4)        Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat.[10]
5)        Segala ucapan Nabi saw., segala perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau. Termasuk segala keadaan beliau adalah sejarah hidup beliau, yakni waktu kelahirannya, keadaan sebelum dan sesudah beliau diangkat sebagai rasul dan sebagainya.[11]
            Dari beberapa defenisi tersebut yang sering dipopulerkan dan digunakan dikalangan masyarakat adalah defenisi yang terakhir. Karena ia merupakan defenisi yang dipilih oleh mayoritas ulama hadis dan lebih menunjukan kespesifikan istilah hadis terhadap diri Rasulullah saw.Akan tetapi, sebagian ulama hadis lainnya menyatakan bahwa yang lebih kuat adalah pengertian yang pertama, karena cakupan maknanya lebih umum dibandingkan yang lain.
            Kemudian, sebagian ulama hadis mengatakan, jika lafadz hadis yang disebut secara mutlak tanpa ada kaitan dengan yang lain, maka yang dimaksud adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., namun, apabila lafadz hadis diikutkan dengan kata sahabat atau tabi’i, maka yang dimaksud adalah sesuai dengan apa yang dihubungkannya[12].Makanya, suatu hadis adakalanya marfu>’, mauqu>f dan maqtu>’.
2.  Sunnah
            Adapun sunnah menurut pengertian etimologi berasal dari bahasa Arab yaituسن يسن سنة , bentuk jamaknya adalah سنن. Kata ini dapat diartikan dengan praktek yang diikuti, arah, model perilaku atau tindakan, ketentuan atau peraturan.[13]Namun, yang sering dipopulerkan dikalangan ulama termasuk Ibnu al-S}ali>h adalah الطريقةyaitu jalan.[14]Didalam kitab Mifta>h} al-Sunnah lebih diperjelas lagi arti sunnah menurut bahasa dengan menyatakan bahwa,sunnah adalah jalan yang dilalui,baik berupa kebaikan ataupun keburukan.[15]Arti ini juga dapat kita lihat dalam sebuah hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
من سن في الاسلام سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها بعده من غير ان ينقص من اجورهم شيئ و من سن في الاسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير ان ينقص من اوزاره شيئ.[16]
Artinya:          
Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan pahala orang yang menirunya setelah dia, dengan tidak mengurangi pahalanya sedikitpun. dan barang siapa melakukan perbuatan yang jelek, ia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang menirukannya, dengan tidak dikurangi dosanya sedikitpun.(HR. Muslim).
            Kemudian, kata sunnah juga banyak digunakan di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara tersurat. Seperti (al-Kahfi:55), (al-Isra’:77), (al-Anfal:38), al-Hijr:13), (al-Ahzab:38) dan masih banyak lainnya. Dalam ayat-ayat tersebut sunnah seringkali diartikan ketetapan. Namun bukan berarti lari dari arti t}ari>qah itu sendiri. Karena pada dasarnya, ketetapan Allah swt. pada makhluknya adalah jalan yang ditempuhnya.
            Adapun sunnah menurut pengertian terminologi, terdiri dari dua pendapat secara garis besarnya. pendapat pertama bahwa hadis dan sunnah sama saja dalam pengertianterminologi.Pendapat yang kedua mengatakan tidak sama karena kedua kata tersebut dikembalikan kepada arti bahasanya, bahwa sunnah adalah jalan agama yang dilalui oleh Rasulullah saw. selama hidupnya. Maka, apabila hadis mengandung perkataan nabi dan perbuatanya, maka sunnah hanya tertentu pada perbuatan Nabi semata. Oleh karena itu, kadangkala dijumpai perkataan ulama hadis dengan ungkapan Ha>z\a> al-h}adi>s\ mukha>lif li al-qiya>s wa al-sunnah wa al-ijma>’(hadis ini berbeda dengan qiyas, sunnah dan ijma’). Hal ini ditegaskan didalam kitab Nasyyat ‘Ulu>m al-H{adi>s\wa Tat\}awwuruha>.[17]
            Menurut ulama hadis, sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khilqiyyah atau sifat khuluqiyyah dan sejarah hidup Nabi saw., baik sesudah Muhammad saw.diutus menjadi rasul maupun belum diutus.
            Menurut ulama ushul fiqh,sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. selain al-Qur’anul karim, dari perkataan, perbuatan atau taqrir  yang dapat dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum syari’ah.
            Adapun sunnah menurut syari’at adalah segala sesuatu yang telah diperintahkan, dilarang dan dianjurkan oleh Rasulullah saw., baik berupa perkataan ataupun perbuatan.
            Menurut ulama fiqh, sunnah adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi saw. yang tidak tergolong fardhu dan tidak juga wajib[18]. Defenisi yang lain dari ulama fiqh adalah; Sesuatu yang apabila dikerjakan lebih baik dari pada ditinggalkan, kelebihan ini tidak berarti larangan (ancaman) karena meninggalkannya, seperti sunah-sunah dalam shalat dan wudhu. Pekerjaan sunah ini membawa kemanfaatan, sehingga dianjurkan untuk mengerjaannya, namun, tidak ada yang mengharamkan meninggalkannya. Jelaslah bahwa yang mengerjakan akan mendapatkan pahala dan yang meninggalkan tidak akan mendapat siksa.[19]
            Sedangkan menurut ulama maw’iz}ah(‘Ulama>’ al-waz}i> wa al-irsya>d), sunnah adalah kebalikan dari bid’ah.[20]
            Perbedaan dikalangan ulama yang bervarian didalam memberikan defenisi terhadap sunnah,disebabkan oleh berbedanya pandangan mereka terhadap sosok kepribadian Nabi saw. Ulama hadis memandang atau menganggap Nabi saw.sebagai imam yang memberi petunjuk dalam segala hal. Hal ini didasari dengan firman Allah sendiri yang memberitakan kepada manusiabahwa Nabi saw. adalah suri tauladan yang baik.
ôôs)©9tb%x.öNä3s9ÎûÉAqßu«!$#îouqóé&×puZ|¡ym`yJÏj9tb%x.(#qã_ötƒ©!$#tPöquø9$#urtÅzFy$#tx.sŒur©!$##ZŽÏVx.ÇËÊÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab:21)
            Maka atas dasar itu, mereka menukilkan setiap apa yang berkaitan dengan Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, berita, akhlak ataupun sejarah beliau, apakah menetapkan hukum syari’ah atau tidak adalah sunnah.
            Ulama ushul fiqh memandang sosok kepribadian Nabi saw. dari sisi bahwa seungguhnya beliau adalah pembawa syari’ah yang menjelaskan kepada manusia aturan kehidupan serta meninggalkan kaidah-kaidah terhadap ulama mujtahid sesudah beliau wafat. Jadi, segala sesuatu yang tidak menunjukan hal demikian, maka dianggap bukan termasuk sunnah. Didalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjadi penguat argumentasi mereka, diantaranya;
!!$¨Buä!$sùr&ª!$#4n?tã¾Ï&Î!qßuô`ÏBÈ@÷dr&3tà)ø9$#¬TsùÉAqß§=Ï9urÏ%Î!ur4n1öà)ø9$#4yJ»tGuŠø9$#urÈûüÅ3»|¡yJø9$#urÈûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#ös1Ÿwtbqä3tƒP's!rߊtû÷üt/Ïä!$uŠÏYøîF{$#öNä3ZÏB4!$tBurãNä39s?#uäãAqß§9$#çnräãsù$tBuröNä39pktXçm÷Ytã(#qßgtFR$$sù4(#qà)¨?$#ur©!$#(¨bÎ)©!$#߃Ïx©É>$s)Ïèø9$#ÇÐÈ
Terjemahnya:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota,maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. al-Hasyr:7).
ÏÏM»uZÉit7ø9$$Î/̍ç/9$#ur3!$uZø9tRr&ury7øs9Î)tò2Ïe%!$#tûÎiüt7çFÏ9Ĩ$¨Z=Ï9$tBtAÌhçRöNÍköŽs9Î)öNßg¯=yès9uršcr㍩3xÿtGtƒÇÍÍÈ
Terjemahnya:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitabdan Kami turunkankepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. al-Nahl:44)
            Ulama fiqh memandang sosok kepribadian Nabi Mahammad saw. sebagai manusia yang dimana perbuatannya menujukan hukum dalam syari’ah. Dan para ulama fiqh pokokpembahasannya adalah hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan hamba, ada yang berbentuk wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Oleh karena itulah, apabiala mereka bekata, perkara ini sunnah, maksudnya mereka memandang bahwa pekerjaan itu mempunya nilai syariat yang dibebankan oleh Allah swt. kepada setiap orang yang balig dan berakal dengan tuntutan yang tidak mesti[21].
            Terlepas dari itu, pada hakikatnya letak perbedaan para ulama adalah subtansi hukum dari sunnah itu sendiri. Akan tetapi, semua ulama tersebut didalam memberikan defenisi, menitik beratkan penyandaran sumbernyakepada Rasulullah saw. tidak kepada yang lain. Sehingga, melahirkan kesimpulan bahwa sunnah merupakan sesuatu yang murni datang dari Nabi Muhammad saw.
            Dengan demikian, kebalikan atau antonim sunnah adalah bid’ah. Hal ini dapat diketahui melalui dengan pengertian bid’ah sendiri bahwa:
ما خالف الكتاب والسنة أو إجماع سلف الأمة منالاعتقادات والعبادات المحدثة في الدين[22]
Artinya:
Bid’ah adalah segala sesuatu yang berbeda dengan al Qur’an dan sunnah atau kesepakatan ulama salaf dari keyakinan-keyakinan dan ibadah-ibadah yang telah di tetapkan didalam agama Islam.
            Khususterkaitdenganbid’ah, iamerupakanhal yang harusdihindariserta wajib untukditinggalkanolehseluruhumatmuslim. Mengingatdampak yang ditimbulkandariperbuataninidapatmerusakketentuan-ketentuan yang telahditetapkan Allah swt. Dalamagamanya. Tidakhanyasebatasitu, bagi yang melakukanperbuatanbid’ahakanmendapatkankesengsaraan yang sangat yang akan ditimpakan Allah swt. padanya. SebagaimanasabdaRasulullah saw. bahwa:
أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّار.[23]
Artinya:
Ut}bahbin‘Abdillahtelahmemberitakankepada kami diaberkatatelahmemberitakankepada kami Ibnu Muba>rakdariSufyandariJa’far Ibn Muhammad daribapaknyadariJa>bir Ibn ‘Abdillahdiaberkata; AdalahRasulullah saw. bersabda di dalamkhutbahnya, diamemuji Allah, danmemanjatkanpujiankepada Allah sebagaimanadialahpemilikpujian. KemudianRasulullah saw. bersabda “barangsiapa yang Allah berikanpetunjuk, makatidakseorangpun yang dapatmenyesatkannyadanbarangsiapa yang disesatkanoleh Allah makatidakadaseorangpun yang dapatmemberikanpetunjuk. Sesungguhnyasebaik-baikperkataanadalahkitab Allah dansebaik-baiknyapetunjukadalahpetunjuk Muhammad saw. Dan sejelek-jeleknyaurusan adalahperkara-perkara yang barudansetiapperkara yang baruadalahbid’ahdansetiapbid’ahakanmasukkedalamneraka”.(HR. al-Nasai).
3.  Khabar
            Kata الخبرmerupakan bentuk isim masdar dari kata خبر يخبرsearti dengan kata النبأ, adapun bentuk pluralnya adalah اخبار. Menurut pengertianbahasaserupa maknanya dengan makna hadis, yakni segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.[24] Didalam kamusMu’jam al-Waji>z khabar adalah sesuatu yang dipindahkan atau diberitakan baik berupa perkataan ataupun tulisan.[25]Jadi,khabaradalahsuatuberita yang dipindahkandari orang lain untuk orang lain baikbersumberdariNabi Muhammad saw. Maupundariselainnya.
            Adapun pengertian khabar menurut terminologi, teradapat banyak versi yang terkait dengan definisinnya. Bahkan dikalangan ulama hadis sendiri masih terdapat  perbedaan redaksi. Diantara redaksi-redaksi tersebut sebagai berikut;
a)         khabar adalah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khilqiyyah ataupun khuluqiyyah, atau apa yang disandarkan kepada sahabat atau tabi’in dari perkataan ataupun perbuatan.
b)        Khabar adalah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khiliqiyyah ataupun khuluqiyyah.15
c)         khabar adalah apa yang datang dari selain Nabi saw.[26]
            Meskipun demikian, masih ada sebagian ulama mendefenisikan khabar berbeda dengan tiga redaksi tersebut, yaitu sesuatu yang datang dari Nabi saw. dan dari yang lainnya seperti dari para sahabat, tabi’in, pengikut tabi’in atau orang-orang setelahnya. Pendapat ini lebih umum pengertiannya dibandingkan pengertian-pengertian yang lain.
            Dari beberapa versi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa redaksi pertama dari defenisi khabar tersebut sama dengan salah satu defenisi hadis yang terlebih dahulu dijelaskan, yang dalam hal ini, sesuai dengan pendapat mayoritas ulama hadis bahwa hadis dan khabar adalahmura>dif(sinonim).



4.  Atsar
            Adapun atsar menurut etimologi adalah bekas sesuatu atau sisanya.[27]Maksudnya peniggalan atau bekas Nabi, karena hadis itu adalah peninggalan beliau.Juga,atsar dapat pula diartikan al-manqu>l(yang dipindahkan), seperti kalimat yang sering dilafadzkan dimasyarakat al-du’a>u ma’s\u>run dari kata as\arayang artinya do’a yang disumberkan dari Nabi saw[28].
            Adapun atsar menurut pengertian terminologi, terdapat banyak pendapat yang bervariasi sekalipun secara garis besarnya hanya ada dua saja, yaitu ada yang mengatakan atsar dan hadis sama artinya (sinonim) dan kedua, ada yang mengatakan tidak sama. Adapun yang berpendapat bahwa atsar dan hadismura>dif  (sinonim) adalah pendapat kebanyakan ulama hadis.Sedangkan yang berpendapat tidak sama, antara lain;
a)         Ulama fuqaha, yang berpendapat bahwa atsar adalah perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain.
b)        Imam al-Zarkasyi memakai kata atsar untuk hadis maukuf, namun ia membolehkan memakainya untuk perkataan rasulullah saw.
c)         Al-Tahawi memakai kata atsar untuk yang datang dari Nabi dan sahabat.[29]
d)        Ulama fiqh khurasan menyebut bahwa atsar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (mauquf) sedangkan khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. (marfu’).[30]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Adapunpengertianhadis menurutetimologi adalahal-jadi>d (baru),al-khabr (berita), al-kala>m (pembicaraan). Sedangkan hadis menurut terminologi terdapat beberapa macam pengertian, antara lain:
1)        Hadis adalah setiap apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat khilqiyyah atau khuluqiyyah, dan setiap apa yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
2)        Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat khilqiyyah atau khuluqiyyah.
3)        Bahwa sesungguhnya setiap apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan atau perbuatan semata.
4)        Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat.
            Adapun sunnah menurut pengertian etimologi adalah jalan yang baik atau yang buruk. Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak versi dikalangan ulama sesuai dengan disiplin ilmu yang digelutinya, yaitu:
a)         Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khilqiyyah atau sifat khuluqiyyah dan sejarah hidup Nabi saw., baik sesudah Muhammad saw.diutus menjadi rasul maupun belum diutus. Pengetian ini adalah pendapat mayoritas ulama hadis.
b)        Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. selain al-Qur’anul karim, dari perkataan, perbuatan atau taqrir  yang dapat dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum syari’ah. Pengertian ini adalah pendapat ulama ushul fiqh.
c)         Sunnah adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi saw. yang tidak tergolong fardhu dan tidak juga wajib. Pengertian ini adalah pendapat ulama fiqh.
d)        Sunnah adalah segala sesuatu yang telah diperintahkan, dilarang dan dianjurkan oleh Rasulullah saw., baik berupa perkataan ataupun perbuatan.
e)         Sunnah adalah kebaliakan dari bid’ah.Pengertian ini adalah pendapat ulama mau’iz}ah
            Adapun khabar menurut etimologi adalah berita. Sedangkan menurut terminologi terdapat defenisi yang bervariasi,  yaitu
1)        khabar adalah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khilqiyyah ataupun khuluqiyyah, atau apa yang disandarkan kepada sahabat atau tabi’in dari perkataan ataupun perbuatan.
2)        Khabar adalah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khiliqiyyah ataupun khuluqiyyah.
3).   khabar adalah apa yang datang dari selain Nabi saw.
4).  Adalah sesuatu yang datang dari Nabi saw. dan dari yang lainnya seperti dari para sahabat, tabi’in, pengikut tabi’in atau orang-orang setelahnya.
            Adapun atsar menurut etimologi adalah bekas, sisa atau yang dipindahkan. Sedangkan menurut terminologi banyak redaksi yang bervarian antaralain:
a)         Atsar dan hadis sama pengertiannya menurut istilah
b)        Atsar adalah perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain.
c)         Atsar untuk hadis mauquf, namun dibolehkan memakainya untuk perkataan Rasulullah saw.
d)        Atsar untuk yang datang dari Nabi saw. dan sahabat.
e)         Atsar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (mauquf) sedangkan khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. (marfu’).


















DAFTAR PUSTAKA
al-‘Arabiyyah,  Jumhuriyah Mis}r. Mu’jam al-Waji>z. Juz I. Mesir: Maktabah al-syuru>q al-Dahliyyah. 1433 H. h.198.
al-‘Arabiyyah,  Jumhu>riyyah Mis}r. Mu’jam al-Washi>t}. Juz I. Mesir: Maktabah al-Syuru>q al-Dahliyyah, 1432 H. h. 5.
al-‘Ulama>’, Nakhbah min. Kita>b Us}u>l al-Ima>n fi> D}au>’ al-Kita>b wa al-Sunnah. Cet. I; Arab Saudi: Wuza>rah al-Syuu>n al-Isla>miyyah wa al-Auqa>f wa al-Da’wah wa al-Irsya>d, 1421 H. h.387.
Ahmad, La Ode Ismail. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. II; Surakarta: Zahadaniva.2013.  h. 36.
Anas ,Ma>lik bin. Al-Muwat}t}a’. Juz V. Cet. I; Muassasah Za>yid bin sult}a>n A<l Nah}ya>n. 1425 H. h. 1323.
al-D{ari>, H{ari>s\ Sulaima>n. Muh}a>d{ara>t fi> ‘Ulu>m al-H}adi>s\.  Juz I. t.t: Da>r al-Nafa>is li al-Nasyr wa al-Tauzi>’. 1420. h. 14.
al-Hajja>j, Muslim Ibn. S{ah}i>h Muslim. Juz II. Bairu>t: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Arabi>. t.th. h. 704.
Hasyim, Ah}mad Umar. Muba>h}is\ fî  H{adi>s\ al-Syari>fah. Mesir: Maktabah al-Syuru>q al-Dahliyyah. 1432 H. h. 13.
al-Irbili>, Muh}ammad Ami>n al-Qurdi>.Tanwi>r al-Qulu>b. Semarang: Karya Thaha Putra. t.th. h. 12.
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Cet. II; Bandung: Angkasa. 1994. h. 2.
al-ju’afi>, Muh}ammad bin Isma>’i>l Abu> ‘Abdilla>h al-Bukha>ri>>. Al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar. juz II. Cet. III; Bairu>t: Da>r Ibnu Kas\i>r. 1987. h. 959.
al-Khat}i>b, Muhammad  ‘Ajja>j. Us}u>l al-H{adi>s\ ‘Ulu>muhu> wa Mus}t}alah}uhu>. Bairu>t: Da>r al-Fikr. 1409 H. h. 28.
al-Khauli>, Muh}ammad ‘Abd al-‘Azi>z. Mifta>h} al-Sunnah. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah. t.th. h. 5.
Khon, Abdul Majid. Ulumul  Hadis. Jakarta: Amzah. 2012. h. 7.
Manz}ur, Ibnu. Lisa>n al-‘Arab. Juz II. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah. 1424 H. h. 147.
Mudasir. Ilmu Hadis. Cet. V; Bandung: Pustaka Setia. 2010. h. 28.
al-Nasa>i>, Abū‘Abd al Rah}ma>n Ah}mad Ibn Syu’aib. Sunan al-Nasa>i> bi Syarh} al-Syuyu>t}i> wa Hasyiyah al-Sanadiyyi. Juz III. Cet. V; Bairu>t: Da>r al-Ma’rifah. 1420. h. 209.
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an Terjemah Per-Kata. Jakarta: Syamil Cefita Media. 2007. h. 28.
al-S{ali>h}, Subh}i. ‘Ulu>m al-H{adi>s\  wa Mus}ta}lah}uhu>. Bairu>t: Da>r  al-‘Ilm li al-Malaya>n. 1378 H. h. 6.
al-Shiddi>qi>, Sa>jid al-Rah}ma>n. Nasyyat ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Tat}awwuruha>. t.t: Maktabah al-Adab. 1425 H. h. 21.
ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009. h. 15.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Cet. VIII; Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008. h. 15.
T{ah\h\a>n, Mah}mu>d. Mus}t}ala>h\ al-H{adi>s\\. Bairu>t: Da>r al-Fikr. t.th. h. 14.
Umar, Ah}mad  Mukhta>r.Mu’jam Lughat al-‘Arab al-Mu’a>shirah. Juz I. t.t: ‘Ali>m al-Kita>b. 1429 H. h. 452.



[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, (Jakarta: Syamil Cefita Media, 2007), h. 28.
[2]Ma>lik bin Anas, Al-Muwat}t}a’, Juz V, (Cet. I; Muassasah Za>yid bin Sult}a>n al-Nah}ya>n, 1425 H), h. 1323.
[3]La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. II; Surakarta: Zahadaniva, 2013), h.36.
[4]Ibnu Manz}ur, Lisa>n al-‘Arab, Juz II, (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah, 1424 H), h. 147.
[5]Ah}mad  Mukhta>r Umar, Mu’jam Lughat al-‘Arab al-Mu’a>s}irah, Juz I, (t.t: ‘Ali>m al-Kita>b, 1429 H), h.452.
[6]Muh}ammad Ami>n al-Qurdi> al-Irbili>, Tanwi>r al-Qulu>b, (Semarang: Karya Thaha Putra, t.th), h.12.
[7]Muh}ammad bin Isma>’i>l Abu> ‘Abdilla>h al-Bukha>ri> al-ju’afi>, Al-Ja>mi’ al-s}ah}i>h} al-Mukhtas}ar, juz II, (Cet. III; Bairu>t: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987), h. 959.
[8]Ah}mad Mukhta>r Umar, Mu’jam Lughat al-‘Arab al-Mu’a>s}irah, Juz I, h.452.
[9]H{ari>s\ Sulaima>n al-D{ari>, Muh}ad{ara>t fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\,  Juz I, (Da>r al-Nafa>is li al-Nasyr wa al-Tauzi>’, 1420), h.14.
[10]Mah}mu>d T{ah\h\a>n, Mus}t}ala>h\ al-H{adi>s\, (Bairu>t: Da>r al-Fikr, t.th), h.14.
[11]M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis Metodologi Penelitian HadisNabi, (Cet. II: Bandung: Angkasa, 1994), h. 2.
[12]Muhammad  ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\ ‘Ulu>muhu> wa Mus}t}alah}uhu>, (Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1409 H), h. 28.
[13]La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis, h. 3.
[14]Subh}i al-S{ali>h}, ‘Ulu>m al-H{adi>s\  wa Mus}t}alah}uhu>, (Bairu>t: Da>r  al-‘Ilm li al-Malaya>n, 1378 H), h.6.
[15]Muh}ammad ‘Abd al-‘Azi>z  al-Khauli>, Mifta>h} al-Sunnah, (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah, t.th), h.5.
[16]Muslim Ibn al-Hajja>j, S{ah}i>h} Muslim, Juz II, (Bairu>t: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th), h.704.
[17]Sa>jid al-Rah}ma>n al-S{iddi>qi>, Nasyyat ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Tat}awwuruha>, (t.t: Maktabah al-Adab, 1425 H), h. 21.
[18]Muh}ammad  ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\ ‘Ulu>muhu> wa Mus}t}alah}uhu>, h.18-19.
[19]Mudasir, Ilmu Hadis, (Cet. V; Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 28.
[20]Abdul Majid Khon, Ulumul  Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 7.
[21]Mudasir, Ilmu Hadis, h. 28-29.
[22]Nakhbah min al-‘Ulama>’, Kita>b Us}u>l al Ima>n fi> D}au>’ al-Kita>b wa al-Sunnah, (Cet. I; Arab Saudi: Wuza>rah al Syuu>n al Isla>miyyah wa al-Auqa>f wa al-Da’wah wa al-Irsya>d, 1421 H), h.387.
[23]Abū‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad Ibn Su’ai>b al-Nasa>i>, Sunan al-Nasa>i> bi Syarh} al-Syuyu>t}i> wa Hasyiyah al Sanadiyyi, Juz III, (Cet. V; Bairu>t: Da>r al-Ma’rifah, 1420 H), h. 209.
[24]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Cet. VIII; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h.15.
[25]Jumhuriyah Mis}r al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Waji>z, Juz I, (Mesir: Maktabah al-Syuru>q al-Dahliyyah, 1433 H), h.198.
[26]Mah}mu>d al-T{ah}h{a>n, Mus}t}alah} al-H}adi>s\, h. 14.
[27]Jumhu>riyyah Mis}r al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Was}i>t}, Juz I, (Mesir: Maktabah al-Syuru>q al-Dahliyyah, 1432 H), h. 5.
[28]Abdul Majid Khon, Ulumul  Hadis, h. 11.  
[29]Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h.15.
[30]Ah}mad Umar Hasyim, Muba>h}is\ fî  H{adi>s\ al-Syari>fah, (Mesir: Maktabah al-Syuru>q al-Dahliyyah, 1432 H), h.13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Translate

Pengikut

 
back to top